10.01.2019

@bende mataram@ Bagian 219

@bende mataram@
Bagian 219


"Aku kenal namanya, karena muridku yang memperkenalkan," ujar Suryaningrat.
Kemu-dian dia menjelaskan mengapa tiba-tiba bisa datang ke tempatnya.
Sesungguhnya, waktu itu dia menerima kabar bahwa muridnya ber-ada di Desa
Gebang. Segera ia menyusul, karena mengkhawatirkan keselamatannya.
Dugaannya benar. Di tengah jalan ia bertemu dengan Sondong Majeruk yang
mengabarkan bahwa Gusti Retnoningsih hampir saja kena bahaya. Gntunglah,
dia ditolong oleh seorang pemuda yang bernama Sangaji. Sebagai anak murid
Kyai Kasan Kesambi yang diajar meng-hargai budi, segera ia menyusul jejak
Sangaji untuk menyatakan terima kasih. Di luar dugaan, ia melihat kakaknya
seperguruan ter-ancam bahaya. Ia heran kakaknya seperguru-an itu memperoleh
seorang pembela yang gagah berani sepak terjangnya. Sama sekali tak
diduganya, bahwa pembela kakaknya seperguruannya adalah Wirapati. Maka ia
bersembunyi di atas pohon agar bisa menga-mat-amati lebih cermat lagi. la
heran, menga-pa gerak gerik penolong itu mengingatkannya kepada kakaknya
seperguruan Wirapati. Baru saja ia hendak mencongakkan diri. Bagus Kempong
sudah bisa mencium dirinya.


"Betapa pun cermat engkau bersembunyi, Kangmas Bagus Kempong sudah
mengetahui keberadaanmu semenjak tadi. Aku sendiri sa-ma sekali tak tahu,"
potong Wirapati dengan tertawa. "Suryaningrat!" sambung Bagus Kem-pong.
"Kakakmu ternyata kian segar-bugar. Rupanya belum berumah-tangga pula.
Hm-bukankah kita dahulu mengira, dia bersembunyi untuk memelihara seorang
bidadari?"




Suryanignrat tertawa cekikikan. Mau tak mau Wirapati tertawa juga
kemalu-maluan. Kata Bagus Kempong lagi, "Tetapi tahukah engkau adikku
Wirapati? Sebentar lagi, engkau bakal mempunyai adik-ipar. Karena itu
pulangmu adalah kebetulan sekali. Pertama-tama, kita sudah bersiap sedia
merayakan hari ulang tahun guru yang ke-83. Setelah itu ikut pula mengecap
sepotong paha ayam malam perayaan perkawinan Suryaningrat. Bukankah bagus?"


"Hai Bagus! Bagus! Bagus sekali!" seru Wirapati girang sambil
bertepuk-tepuk tangan. "Siapakah mempelai wanitanya? Pastilah seorang
puteri jempolan."


Muka Suryaningrat merah-padam sampai tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Buru-buru Bagus Kempong menolong, "Calon adik-iparmu adalah puteri
kesayangan Kanjeng Pangeran Arya Panular. Siapa namanya, baiklah kita tak
usah tergesa-gesa minta keterangan."


"Wah... kalau begitu apabila Suryaningrat berani nakal seperti dahulu, dia
bisa dikeroyok keluarga Sri Sultan," sahut Wirapati.


Bagus Kempong tersenyum. Mendadak wajahnya berubah muram dan nampak lesu.
Katanya setengah berbisik* "Calon adik-ipar-mu terkenal dengan nama Gusti
Ayu Kistibantala. Apalah itu namanya yang benar, tak tahulah aku. Tetapi
dia seorang puteri yang berjiwa ksatria. Seringkali dia ikut dalam
pasukan-pasukan keamanan. Hm—mudah-mudahan saja puteri berkedok yang kita
jumpai kemarin petang, bukan dia."


Wirapati terkesiap. Terloncatlah perkataan-nya, "Apakah dia seorang wara
prajurit?" Bagus Kempong mengangguk.


"Tetapi dara yang kita jumpai, kepandaian-nya masih dangkal. Kurasa bukan
diajeng Kistibantala. Bila benar dia, celakalah aku. Orang bisa menuduh aku
membela engkau dan tak mau memihak Suryaningrat dengan melindungi
kekasihnya. Betapa seorang kakak-seperguruan bisa berlaku kurang adil."


Wirapati terdiam. Diam-diam ia khawatir, "Jangan-jangan puteri yang
berkedok kemarin adalah kekasih Suryaningrat." Tetapi Surya-ningrat nampak
ayem. Pemuda itu berkata tenang-tenang sambil tertawa perlahan, "Terima
kasih terima kasih atas perhatian Kangmas sekalian. Kangmas sekalian cukup
cerdik dan cerdas. Hanya satu hal yang mungkin belum pernah diperhitungkan."


"Apakah itu?" Wirapati menungkas.


"Kata orang, seorang calon mempelai sudah jauh-jauh hari dipingit. Nah,
legakan hati Kangmas sekalian. Dua hari yang lalu, aku datang dari Yogya.
Itulah sebabnya aku mendengar kabar tentang beradanya muridku di Gebang."


"Ah!" Bagus Kempong tersentak girang. Pa-ras mukanya berubah seketika itu
juga. "Nah, marilah kita angkat tangan dalam hal ini."


Buru-buru Suryaningrat menolak maksud itu. Segera ia menghampiri Sangaji
dan terus meraba lengannya, la bermaksud hendak membalas budi dengan
menolong mengusir racun. Tetapi ia heran benar, karena lengan Sangaji
ternyata tiada luka.


"Kangmas Wirapati!" serunya kagum. "Terang sekali bekas cengkeraman ini
mengandung racun. Tetapi muridmu sama sekali kebal dari racun."


Suryaningrat tak tahu, bahwa Sangaji per-nah menghisap getah sakti pohon
Dewadaru. Karena itu kebal dari segala racun. Kalau semalam badannya
menjadi panas, adalah disebabkan karena cengkeraman itu merubah letak
urat-uratnya.


Wirapati segera datang pula memeriksa. Begitu melihat lengan Sangaji,
dengan sebat ia lantas bekerja. Suryaningrat tak mau ketinggalan. Dengan
ilmu ketabiban yang diperoleh


dari gurunya, ia mengurut-urut letak urat. Sebentar saja Sangaji telah
pulih kembali.


"Hm, semenjak kemarin petang kita senanti-asa diuber-uber suatu ketegangan,
sampai melalaikan dia," kata Wirapati penuh sesal.


"Siapakah orangnya yang bisa melukai Kangmas Bagus Kempong?" tanya
Surya-ningrat heran.


Wirapati tak segera menjawab, la segan ter-hadap kakaknya seperguruan yang
terang kena dilukai. Tetapi Bagus Kempong dengan dada terbuka menyahut,
"Orang itu memiliki tenaga pukulan besi sampai bisa menembus tulang. Nanti
kita tanyakan kepada Guru. Dan bahwasannya Sangaji masih bisa bertahan dan
hanya salah urat, bukankah berarti lebih tangguh daripadaku sendiri?"


Suryaningrat tercengang sejenak. Kakaknya yang satu itu selamanya tak
pernah memuji orang. Dia jarang berbicara dan tak pernah bergurau. Setiap
perbuatan dan kata-katanya mengandung kesungguhan. Itulah sebabnya, lantas
saja ia menyiratkan pandang kepada Sangaji. Kemudian kepada Wirapati.


"Jika demikian, tak sia-sialah Kangmas Wirapati meninggalkan perguruan
selama itu. Dia sudah menemukan ahli warisnya."


Sambil berbicara mereka melanjutkan per-jalanan. Karena Sejiwan sudah di
depan mata, maka belum lagi lewat luhur telah sampai. Sepanjang perjalanan
Wirapati nampak gembira, meskipun agak prihatin juga mengingat luka Bagus
Kempong. Maklumlah, dua belas tahun lamanya dia meninggalkan perguruan
seperti terenggut dewa sakti. Kini bisa kembali tanpa kurang suatu apa.
Diam-diam ia membayangkan betapa girangnya dapat bertemu kembali dengan
saudara-saudara seperguruannya, terutama gurunya yang dipuja sepanjang zaman.


Sampai di atas gunung, mereka melihat di luar pagar perguruan empat ekor
kuda ter-tambat pada pohon-pohon kelapa. Keempat kuda itu terang bukan
milik perguruan. Maka terloncatlah perkataannya, "Hai, kuda siapa ini?"


"Marilah kita lewat belakang. Agaknya kita mempunyai tamu," kata
Suryaningrat. "Di se-rambi belakang kita lebih tenang memperbin-cangkan
orang yang menyamar sebagai ser-dadu yang melukai Kangmas Bagus Kempong.
Siapa tahu, Kangmas Gagak Handaka dan Kangmas Ranggajaya kebetulan berada
di belakang."


Rupanya, diam-diam Suryaningrat mencoba meraba-raba asal-usul orang yang
menyamar sebagai serdadu itu. Tetapi, tetap ia tak ber-hasil.


Rumah perguruan mereka berada di atas dataran sebuah bukit. Bukit itu
bernama Kalinongko. Lengkapnya orang menyebut dengan Gunung Damar
Kalinongko. Tanahnya terdiri dari bongkahan batu dan tanah liat. Karena itu
apabila hujan, licinnya bukan kepalang.


Sambil memapah Bagus Kempong, Sur-yaningrat mendahului berjalan. Sedangkan
Wirapati berjalan di belakangnya diikuti Sangaji. Sebentar-sebentar
Wirapati mene-rangkan kesan kanak-kanaknya kepada mu-ridnya. Tatkala tiba
di dapur, semua penghunipadepokan ) jadi sibuk. Pertama-tama melihat Bagus
Kempong pulang dengan terluka parah. Kedua, kembalinya Wirapati setelah
hilang tiada kabar-beritanya selama dua belas tahun lebih. Para cantrik,
pembantu rumah tangga dan pelayan-pelayan girang bukan main. Mereka segera
merubung menanyakan kesehatannya. Seorang pelayan bernama Wirasimin yang
melayani Wirapati semenjak kanak-kanak menangis kegirangan. Tanpa
segan-segan lagi terus saja dia memeluk dan mencium kakinya. Tatkala
Wirapati menanyakan tentang gurunya, cepat ia menjawab.


"Sang Panembahan masih dalam semadi. Apakah perlu hambamu membangunkan?"
Wirapati segera menyanggah. Dengan berjingkit-jingkit ia memasuki ruang
tengah dengan




diikuti Sangaji. Mereka langsung ke paseban dan mengintip tiap kamar
saudara-saudara seperguruannya.


"Dimanakah Kangmas Gagak Handaka dan Kangmas Ranggajaya? Apakah mereka
sedang turun gunung?"


"Mereka sedang menemui tamu di paseban," jawab Wirasimin.


"Eh, tamu macam apakah sampai mereka menemui dengan berbareng?" Wirapati
heran. "Semuanya empat orang. Galaknya bukan main. Tampangnya seperti
tukang landeng."


Tatkala itu, Suryaningrat telah menidurkan kakaknya seperguruan, kemudian
bergegas mencari Wirapati. Begitu mendengar kakak-nya minta keterangan
tentang tamu yang datang segera ia memberi penjelasan.


"Mereka mengaku sebagai hamba kadipaten Bumi Gede. Dan memperkenalkan diri
dengan nama, Manyarsewu, Sawungrana, Abdulrasim dan Cocak Hijau,"


Mendengar nama mereka. Wirapati terper-anjat. Begitu pulalah Sangaji. Ih,
cepat benar mereka menyusul, pikirnya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar