4.07.2019

๐Ÿ‘Œ๐Ÿฏ๐Ÿฅ CANTING PART 15




๐Ÿ‘Œ๐Ÿฏ๐Ÿฅ
CANTING PART 15


"Sudah, Nduk, abaikan bapakmu. Cepat berkemas. Kanjeng Ibu membutuhkanmu,"
kata Simbok.


Sekar tak kuasa membendung tangisnya. Perkataan Bapak betul-betul membuat
hatinya nelangsa.


"Kami pamit, Mbok, Pak."


Sekar dan Hadi mencium tangan Simbok bergantian. Sayang, Bapak mengabaikan
mereka saat keduanya hendak mencium tangannya juga. Airmata Sekar kembali
menetes karenanya. Hadi merangkulnya, mencoba menguatkannya meski ia
sendiri kalut rasanya. Namun, ia tidak boleh kalah oleh keadaan. Ia harus
tetap tenang karena Sekar sedang membutuhkan pundak dan rengkuhannya untuk
bertahan.


Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Pikiran mereka berkelana
ke mana-mana. Sekar sangat terpukul dengan perkataan Bapak tadi. Ia tak
menyangka Bapak bisa tega mengucapkan kalimat keji seperti itu di depan
Hadi, tanpa menjaga perasaannya sama sekali. Airmatanya kembali menetes.


Perlahan, diliriknya sosok di sebelahnya yang tampak sesekali memijat
dahinya. Meski tampak tenang, Sekar tahu bahwa suaminya tidak baik-baik
saja. Sekar mengalihkan pandangan ke jendela. Sungguh, sikap Bapak tadi
membuatnya begitu malu di hadapan Hadi.


"Mas...," panggil Sekar perlahan.


"Ya," jawab Hadi, sambil sejenak melirik istrinya. Ia masih terlihat dalam
ketenangan paripurna.


"Apa Kanjeng Ibu baik-baik saja?" tanya Sekar.


Ia sangat mengkhawatirkan Kanjeng Ibu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
Kanjeng Ibu menghadapi musibah ini sendirian, tanpa dirinya dan Hadi di
sampingnya.


"Tenanglah. Kanjeng Ibu baik-baik saja. Beliau di rumah saat musibah itu
terjadi. Kejadiannya malam hari. Hubungan arus pendek penyebabnya," jelas Hadi.


Sekar sedikit lega mendengarnya, setelah tahu bahwa Kanjeng Ibu baik-baik
saja. Sungguh, Sekar teramat mengkhawatirkannya lantaran ia menyayanginya
layaknya ibunya sendiri. Dahulu saat ia masih teramat belia, Kanjeng Ibu
tak keberatan untuk menemani dan menjaganya saat Simbok harus berbelanja.
Kanjeng Ibu juga akan ikut panik dan tidak bisa tidur saat tahu Sekar kecil
demam. Kanjeng Ibu pula yang pertamakali mengenalkan Sekar pada dunia
batik, sesutu yang ternyata ia sangat berbakat untuk melukiskannya.


Angan Sekar kembali berkelana ke masa itu.


"Kanjeng Ibu, ini apa?" tanya Sekar kecil yang kala itu masih berusia 7
tahun pada Kanjeng Ibu yang tengah membatik.


Kanjeng Ibu berhenti sejenak. Ia mengambil sebuah dingklik kecil untuk Sekar.


"Duduk sini, Nduk. Sini Kanjeng Ibu ajari," katanya, dengan kelembutan
layaknya seorang Ibu pada putrinya.


Sekar mendekat sambil berjingkrak, hingga rambut kucir duanya
bergerak-gerak. Lucu sekali.


"Ini alat-alat untuk membatik. Sekar ingin tahu apa namanya?" tanya Kanjeng
Ibu. Sekar kecil mengangguk antusias.


"Ini namanya gawangan, gunanya untuk meletakkan kain mori ini agar kita
bisa membatik di atasnya." Kanjeng Ibu memulai penjelasannya, sembari
memegang gawangan kayu yang berada di hadapannya. Sekar memperhatikan
dengan seksama.


"Seperti meja! Meja khusus untuk membatik!" sahutnya antusias. Kanjeng Ibu
tersenyum melihatnya, karena gawangan tidak berbentuk seperti meja,
melainkan seperti papan jemuran.


"Iya, seperti meja, tapi tidak berat. Agar mudah dibawa dan mudah
dipindah-pindah," jelasnya lagi.


"Kalau yang ini, Sekar pasti tahu apa namanya," sambung Kanjeng Ibu lagi.
Sekar memperhatikan sebuah benda yang berada di sebelah Kanjeng Ibu.


"Seperti wajan untuk memasak. Tapi ini kecil. Seperti wajan mainan Sekar,"
jawab Sekar polos. Kanjeng Ibu tertawa mendengarnya hingga ia mencubit
pelan pipi gembil Sekar.


"Benar. Ini namanya wajan, dibuat dari tanah liat. Gunanya untuk mencairkan
malam agar kita bisa menggunakannya untuk membatik," jelasnya sambil
membelai rambut Sekar.


"Malam yang sudah cair, berarti nanti jadi seperti cat air ya?" tanya
Sekar. Kanjeng Ibu lagi-lagi tertawa mendengarnya.


"Iya, jadi seperti cat air untuk menggambar di atas kain mori ini. Nah,
kalau yang ini namanya anglo. Gunanya untuk menyalakan api dan memanaskan
malam agar malamnya bisa cair. Bahan bakarnya memakai arang, bukan memakai
kayu. Begini cara membesarkan apinya," jelas Kanjeng Ibu sambil
menggerakkan kipas anyaman bambu untuk membuat api di anglo itu membesar.


Sekar terus serius mendengarkan penjelasan Kanjeng Ibu.


"Kalau yang ini namanya canting, alat yang digunakan untuk menggambar,
seperti kuas cat air Sekar," jelasnya. Sekar mangut-mangut, ia tampak puas
dengan penjelasan Kanjeng Ibu.


"Sekar mau coba?" tawarnya.


"Bolehkah?" tanyanya. Kanjeng Ibu mengangguk.


"Iya, Sekar mau coba!" Ia berjingkrak kegirangan saat Kanjeng Ibu
menawarinya untuk mencoba.


Kanjeng Ibu memangku Sekar, lalu membimbing tangan mungilnya untuk
menggerakkan canting itu, hingga gerakannya membentuk sebuah pola cantik.
Dan betapa bahagianya Sekar saat keesokan harinya, Kanjeng Ibu
menghadiahkan sebuah gawangan kecil yang dibuat khusus untuknya, lengkap
dengan kain mori yang sudah dipotong kecil, dan peralatan lainnya yang juga
berukuran kecil. Sejak hari itu, Sekar terus belajar membatik, hingga ia
berhasil menghasilkan batik pertamanya. Sebuah hasil yang menakjubkan dari
goresan anak berusia 7 tahun, sampai-sampai Kanjeng ibu membingkainya, dan
mengabadikannya di dinding rumahnya. Sampai sekarang, batik pertama Sekar
itu masih ada.


Airmata Sekar kembali menggenang mengingatnya. Namun, ia berusaha
menyembunyikannya agar Hadi tidak khawatir padanya.


Sementara itu, meski tampak tenang, pikiran Hadi berkecamuk tidak karuan.
Terbayang wajah Kanjeng Ibu yang panik sendirian, juga amanah pada pemesan
batik-batiknya yang sepertinya akan gagal ia tunaikan. Gudang yang terbakar
itu adalah gudang utama untuk penyimpanan barang-barang ekspor, barang siap
kirim yang semua pembayaran sudah di tangan. Gudang terbakar, artinya uang
pembayaran harus ia kembalikan. Nilainya hampir 2 milyar. Sayang, bangunan
gudang tersebut adalah bangunan baru yang memang belum sempat ia asuransikan.


Tetiba bayangan wajah teduh ibunya datang. Hadi selalu ingat bagaimana
wajah teduh itu selalu berlinang airmata saat menceritakan awal mula The
House of Sundari berdiri. Orang tua Kanjeng Ibu hanyalah pedagang batik
keliling. Sundari kecil turut serta, digendong kesana kemari oleh ibunya
sambil menjajakan batiknya ke rumah demi rumah. Meski hidup mereka serba
kekurangan, namun mereka selalu percaya bahwa Gusti paring dalan kanggo
uwong sing ngelam ndalan, bahwa akan ada jalan bagi mereka yang berada di
jalan kebenaran, termasuk jalan dalam mencari rejeki halal. Perlahan,
kegigihan mereka berbuah hasil. Dari yang awalnya pedagang keliling, mereka
kemudian punya kios sederhana. Semakin hari usahanya semakin jaya, hingga
lahirlah The House of Sundari, brand batik mereka sendiri.


Kepala Hadi mendadak pening, membuat pandangannya sedikit kabur. Sejurus
kemudian, ia reflek banting stir ke kiri saat ada motor menyalipnya dari
sisi kanan. Hadi oleng. Ia menarik tuas rem, namun terlambat. Kejadiannya
begitu cepat. Sebelum kesadarannya hilang, ia sempat mendengar suara Sekar
melengking berteriak. Sejurus kemudian, ia merasakan sakit yang teramat
sangat di sekujur tubuhnya, dadanya sesak. Rasanya seperti ia tak bisa
bernapas lagi.


Lalu senyap.
Gelap.


**********


Sekar berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. Ia merasakan perih
di tangan dan kepalanya. Sayup-sayup, terdengar orang-orang berteriak.
Pandangannya masih belum begitu jelas, namun ia bisa melihat bahwa ada
beberapa tangan yang tengah memukul-mukul kaca mobilnya. Sekar masih terus
berusaha membuka matanya. Rasanya seperti mimpi, namun sangat sulit baginya
untuk bangun dari mimpi ini.


Gusti... bangunkan aku, tolong bangunkan aku.


Jiwanya terus meronta, berusaha mengembalikan kesadarannya. Ia masih tak
sadar ada apa, namun ia bisa merasakan saat ada beberapa tangan kokoh
mengangkat tubuhnya.
Perlahan, manik matanya kian terbuka, kesadarannya kian sempurna, namun
perih di tangan dan kepalanya juga semakin terasa.


Tetiba nafasnya tersengal, saat ingatannya telah sempurna mengingat apa
yang terjadi padanya.


"Mas Hadi... mana Mas Hadi...."


Sekar berusaha bangkit dan mengabaikan rasa sakitnya. Namun seseorang
berusaha menahannya.


"Mbak, tenang, Mbak. Ini minum dulu."


Sosok itu menyodorkan sebotol air mineral padanya. Tangan-tangan kokoh tadi
rupanya mengeluarkannya dari dalam mobil dan membawanya ke pinggir jalan.
Sekar menampiknya. Ia berusaja sekuat tenaga untuk bangkit. Rasa sakit itu
tak lagi dipedulikannya, ia hanya ingin tahu di mana lelaki tercintanya.


"Mas Hadi mana... Mas Hadi mana...."


Tangisnya meledak. Ia panik luar biasa. Ia terus berusaha bangkit sambil
mengedarkan padangannya. Sejurus kemudian tangisnya berubah menjadi jeritan
menyayat hati, saat melihat mobil yang ditumpanginya bersama Hadi tak
berbentuk lagi. Beberapa orang berada di sana, entah apa yang dilakukannya.


"Mas Hadi!"


Sekar berteriak sekuat tenaga. Beberapa orang terus berusaha
menenangkannya, tapi ia terus meronta. Ingin rasanya ia berlari ke mobil
itu, ingin memastikan apakah belahan jiwanya masih di situ, namun ia
terlalu lemas untuk melakukan itu.


"Suami saya... suami saya di mana...." tanyanya pada orang-orang di
sekelilingnya.


Tak ada jawaban, namun sorot mata beberapa orang yang tengah bersamanya
menunjukkan sorot mata iba. Beberapa terlihat menitikkan airmata.


Seorang wanita berusia sekitar 40an tetiba merengkuhnya, membiarkan darah
yang mengucur dari kepalanya mengotori jilbab putihnya.


"Istighfar, Mbak. Istighfar. Suami Mbak masih di dalam mobil. Orang-orang
sedang berusaha mengeluarkannya dari sana."


Sosok itu mengeratkan pelukannya, mencoba menenangkan Sekar, sekaligus
mencoba memberinya kekuatan.


"Kenapa suami saya masih di sana? Apa yang terjadi dengannya?" tanyanya,
setengah berteriak di antara isak tangisnya.


"Itu... tubuh dan kaki suami Mbak terjepit...."


Tangis Sekar semakin menjadi-jadi mendengarnya. Ia terus meronta, namun
sosok itu semakin mengeratkan pelukannya, sambil terus berbisik padanya
agar ia beristighfar.


Gusti... lelakon apalagi ini?


Di tengah tangisnya, ia merasa seperti ada alunan tembang megatruh
diperdengarkan untuknya, sebuah tembang tentang fase perjalanan kehidupan
manusia. Megat berarti terpisah, ruh berarti jiwa, sebuah tembang yang
menggambarkan terpisahnya jiwa dan raga.


Sekar merasa seperti seluruh tulangnya terlepas satu persatu, saat
sekelebat pikiran tiba-tiba datang.


Bagaimana jika jiwa Hadi telah terpisah dari raganya saat orang-orang itu
berhasil mengeluarkannya?
Bagaimana jika rengkuhan Hadi saat tadi pagi bersama menikmati terbitnya
mentari adalah rengkuhan terakhirnya?
Bagaimana wejangan-wejangan Hadi tak akan pernah lagi didengarnya?
Bagaimana jika takdir kebersamaannya dengan Hadi hanya sampai disini saja?


Erangan Sekar semakin berkurang. Ia kembali hilang kesadaran.


**********
(Bersambung)




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar