4.12.2019

@bende mataram@ Bagian 29




@bende mataram@
Bagian 29


"Biarlah aku minta keluar dengan terus terang kepada komandanku." "Apa
dalihmu?"
"Aku akan membuang senjataku. Dengan dalih aku kalah berkelahi melawan
Paman sehingga senjataku terampas, sudahlah cukup kuat. Aku akan dihukumnya
terlebih dahulu. Itu pasti. Tapi pada malam hari, kuharap Paman datang
mengunjungi perkemahan lagi. Bawalah aku lari."


"Hm. Masa aku segoblok pendapatmu," damprat Jaga Saradenta. "Kompeni
sekarang akan mempertebal kewaspadaannya setelah peristiwa semalam."


"Kalau begitu, berusahalah Paman mengikuti perjalanan mereka."


Jaga Saradenta melemparkan pandang kepada Wirapati. Ia menimbang-nimbang.
Akhirnya menyetujui. Kodrat bergembira. Segera ia mencium lutut pamannya
dan cepat-cepat kembali ke perkemahan.


"Janganlah Paman meninggalkan tempat ini. Sehari ini pasti mereka berusaha
menangkap Paman," serunya.


Jaga Saradenta mengiakan. Ia menunggu di tempat itu dengan Wirapati sambil
memperbincangkan cara mencari Rukmini dan Sangaji secepat mungkin agar tak
menghabiskan waktu. Harapan demikian terasa tebal dalam hatinya, mengingat
Kodrat telah menyanggupkan diri untuk menyertai.


Waktu itu fajar hari mulai tiba. Dingin pagi mulai pula meresapi tubuh.
Mereka berbaring di rerumputan sambil memandang bintang-bintang di langit.
Kemudian kelelahan terasa datang dengan diam-diam. Tertidurlah mereka tanpa
dikehendaki sendiri seperti kena bius.


Berapa lama mereka tidur hanya alam sekitarnya yang dapat menerangkan.
Tiba-tiba me¬reka bangun terkejut. Pendengarannya yang tajam mendengar
derap kuda yang mendekat. Tahu-tahu mereka telah terkepung rapat. Dua puluh
serdadu mengancamkan pandang bengis. Mereka bersenjata pedang. Ada pula
yang memperlihatkan tiga empat pucuk senapan.


Jaga Saradenta dan Wirapati serentak bangkit berdiri. Mereka menyapukan
pandangan. Mendadak dilihatnya Kodrat berada di antara mereka sambil
tersenyum menusuk hati. Melihat Kodrat, Jaga Saradenta lantas saja dapat
menebak. Sekujur badannya meng-gigil. Hatinya terasa hampir meledak. Dengan
pandang menyala ia membentak. "Kodrat! Apa artinya ini?"


Kodrat seolah-olah tak mendengar bentakannya. Ia menoleh kepada pasukannya.
Memberi perintah, "Maju! Kepung rapat. Kalau bisa, tangkaplah pengacau itu
hidup-hidup. Bila melawan habisi nyawanya."


Bukan main gusarnya Jaga Saradenta sampai mulutnya tak bisa berbicara. la
mengerling pada Wirapati. Pandangnya minta maaf dan belas kasih. Tapi
Wirapati nampak tenang. la berdiri tegak. Melihat para serdadu datang
mendekat, ia berkisar dari tempatnya.


"Apa dia Kodrat?" katanya pada Jaga Saradenta.


"Bukan! Bukan!"


"Dulu kaubilang, biar dia berganti rupa seribu kali sehari kau takkan
terkecoh."


"Aku menyesal. Mataku buta. Otakku tumpul. Hatiku gelap. Apa perlu aku
hidup lebih lama lagi. Hari ini, biarlah aku mati untuk menebus
kegoblokanku itu," sahut Jaga Saradenta. Hatinya penuh sesal, pedih dan
malu. Dua kali, ia kena diakali kemenakannya. Hati siapa takkan meledak.


Pada saat itu para serdadu sudah menerjang. Mana bisa mereka berdua
menyerah dengan begitu saja. Secepat kilat mereka melesat membuka gelanggang.


"Wirapati! Saksikan aku menghajar begundal Kodrat," kata Jaga Saradenta.
Lantas saja dia merangsak mengarah kepada keme¬nakannya.


Wirapati tersenyum pahit. Ia meloncati dua orang serdadu yang sedang
mengayunkan pedang berbareng kepadanya. Tangan kirinya membalik cepat,
terus menerkam gagang pedang. Sedang tangan kanannya menyodok tulang-rusuk
serdadu yang lain. Sekali dia menyerang, pedang lawan dapat dirampasnya
sambil melukai yang lain. Menyaksikan kegesitan itu serdadu-serdadu mundur
berserabutan. Tetapi mereka berada di atas kuda. Tak mudah mereka bergeser
tempat. Itulah sebabnya sebelum mereka dapat menguasai diri, Wirapati sudah
berhasil menikam tiga orang dengan pedang rampasan. Mengejutkan.


Mereka kini melindungi diri rapat-rapat. Pedangnya diputar kencang.
Wirapati undur selangkah. Kemudian meloncat dan menyambar dua serdadu
sekaligus. Mereka terjungkal ke tanah. Yang membawa senapan cepat-cepat
mengisi bubuk mesiu. Mereka berjumlah empat orang.


Wirapati bermata tajam. Secepat kilat ia merapat dan bersembunyi di
belakang gerombolan serdadu. Melihat Wirapati berlindung di belakang tubuh
teman-temannya, mereka tak dapat memetik senapannya.
Di tempat lain, Jaga Saradenta mengamuk seperti banteng. Ia berhasil pula
merebut pedang seorang serdadu dan terus merangsak. Kodrat melihat gelagat
buruk, hatinya menjadi jeri. Segera ia menjejak perut kudanya hendak
melarikan diri. Jaga Saradenta gusar sekaligus meledak. "Jangan biarkan
anjing itu lari!"


Wirapati mendengar teriakan Jaga Sara¬denta. Cepat ia meninggalkan
gerombolan serdadu. Ia mencegah larinya kuda. Di luar dugaan kuda Kodrat
melesat sangat cepat. Wirapati tak menjadi gugup. Tangannya menyambar ekor
kuda, terus menjejakkan kaki. Ia terbang ke udara, tangan kanannya membalik
menghantam punggung.


Kodrat terkejut bukan kepalang. Cepai-cepat ia menangkis. Tetapi mana bisa
ia menahan gempuran Wirapati. Seketika itu juga ia terpental dan jatuh
berjumpalitan ke tanah. Tatkala berdiri tegak tahu-tahu tinju Jaga
Saradenta mendarat di dadanya.


Kena hantaman tinju pamannya ia lontak darah. Tangan kanannya menggapai
pistol. Ia kalah cepat. Lehernya kena gempuran lagi. Seketika itu juga ia
jatuh terjungkal.


Mendadak Jaga Saradenta terkesiap. Bebe-rapa orang serdadu datang
menyerang. Sekejap saja ia melihat di antara mereka membidikkan senapan.
Melihat gelagat buruk, tanpa berpikir panjang lagi diangkatlah tubuh
kemenakannya. Senapan meletus dan tubuh Kodrat dibuatnya perisai.


Kodrat menghembuskan napas tanpa sempat berteriak lagi. Tubuhnya berlumuran
darah. Ia dilemparkan ke tanah. Derap kuda datang tidak dapat dikendalikan
lagi. Tubuh¬nya lantas saja tergulung-gulung dan terinjak-injak kuda.


Jaga Saradenta menutup mata. Tak tahan ia menyaksikan kemenakannya akhirnya
mati begitu hina. Tetapi justru saat ia menutup mata datanglah bahaya. Ia
diterjang beberapa orang serdadu. Pundaknya tersabet pedang. Ia ter¬kejut
dan cepat-cepat melesat pergi.


Wirapati segera datang menolong. Ia me-ampas kuda dan menghampiri cepat.


"Lompat!" teriak Wirapati.


Tetapi Jaga Saradenta menderita luka yang cukup parah. Dadanya mulai
terlumuri darah. Kepalanya pusing berputaran, tangannya menggapai. Gntung,
Wirapati tahu keadaannya. Disambarnya tangan itu dan ditariknya ke atas.


"Tembak! Tembak!" teriak serdadu-serdadu yang berusaha mengejar mereka.


Dua tembakan meletus di udara. Kemudian disusul satu kali lagi dan sekali lagi.

SAPARTINAH kaget waktu kena sambar si pemuda. Ingat akan anaknya ia
mendekapnya kencang. Ia menutup mata. Terasa hawa panas menusuk dirinya.
Tetapi hanya sekejap. Itulah waktu dia dibawa terbang si pemuda melintasi
api yang menyala-nyala sekitar rumah.


"Akan kaubawa ke mana aku?" ia memekik.


Si pemuda tidak menjawab. Dia hanya membekam mulutnya. Kemudian berhenti
sejenak. Sanjaya digendongnya di atas punggung, sedang dia sendiri segera
dipapah tanpa dapat berdaya sedikitpun.
Sapartinah kaget dan ketakutan. Ia sedih dan lelah pula. Seharian tadi dia
sibuk bekerja di dapur memasak empat ekor ayam. Kemudian datanglah
malapetaka itu. Suaminya bertempur melawan orang-orang Banyumas. Dan pada
petang hari terjadi pulalah peristiwa perebutan pusaka.


Kejadian demikian belum pernah dialaminya selama hidup 22 tahun di dunia.
Sekarang mendadak ia dipapah seseorang. Sedang anaknya nampak sangat
ketakutan. Saking takutnya sampai tak bisa berteriak atau menangis. Ia
terharu, sedih, pedih, kesal dan kaget. Karena rumun gejolak hati ia jatuh
pingsan.


Malam hari bergantilah pagi. Perlahan-lahan ia membuka mata. Pertama-tama
yang tampak di depan matanya adalah atap sebuah kamar. Dirinya terang
berada di dalam kamar. Berselimut dan terbaring di atas dipan. Ia menoleh.
Dilihatnya Sanjaya tidur mendengkur. Hatinya dingin oleh rasa syukur.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar