4.12.2019

CANTING PART 20




CANTING PART 20


Aja obah yen atimu kemrayah.
Aluwung meneng nganti atimu lerem.


Jangan bertindak saat hatimu didera emosi.
Lebih baik diam sampai hatimu tenang lagi.


**********


Sekar memejamkan mata, lalu menghela napas panjang, berusaha meredam api
hatinya yang masih terus membesar. Ubun-ubunnya terasa mendidih, dadanya
terasa begitu sesak, nafasnya tersengal, ia sungguh kesal. Ingin rasanya ia
berdiri dan menumpahkan segelas minumannya tepat di wajah Ajeng, lalu
menjambaknya, dan membentur-benturkan kepalanya di meja agar Ajeng sadar,
apa yang dilakukannya sangat menyakiti hatinya, agar semua orang tahu bahwa
perempuan di hadapannya adalah perempuan tak tahu diri yang terus mengejar
seorang lelaki yang telah beristri.


Tapi yang ia lakukan hanyalah diam, berusaha menenangkan diri, seperti yang
dilakukan Hadi saat didera emosi. Ia ingat wejangan Hadi agar jangan pernah
bertindak kala hati diselimuti emosi, sebab seringkali tindakan yang
dilakukan saat hati dipenuhi emosi tinggi justru akan merugikan diri sendiri.


Hening.


Ajeng masih berkutat dengan bulir-bulir beningnya, Sekar masih terus menata
letupan-letupan dahsyat di hatinya.


"Dengan semua yang Mbak lakukan selama ini, Mbak berharap aku aku berkata
iya? Yang benar saja." Sekar membuka pintu keheningan, sesaat setelah ia
berhasil membuat hatinya sedikit tenang.


Ajeng menundukkan kepala. Sejujurnya ia sadar jika rasanya memang tak
mungkin Sekar akan mengiyakan pintanya. Hanya saja ia akan terus mencoba
semua kesempatan yang ada, termasuk kesempatan untuk meminta langsung pada
Sekar seperti yang baru saja dilakukannya.


Berminggu-minggu lamanya Ajeng memantabkan diri untuk melakukan hal ini,
merendahkan diri, mengesampingkan gengsi, dengan harapan ia bisa menemukan
jalan untuk bisa bersama Hadi. Kadang, ia merasa lelah, ia ingin menyerah.
Namun rasa cinta di hatinya yang terus meluap setiap harinya, membuatnya
energinya untuk terus mencoba meraih Hadi rasanya kian melimpah.


Ajeng mendesah.


"Aku... aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Sekar. Aku tidak bisa begitu
saja menghapus rasa yang sudah bersemayam begitu dalam bertahun-tahun
lamanya," jelasnya. Isakannya masih terdengar, meski samar.


"Tolong, bantu aku menyembuhkan lukaku. Rasanya aku tidak sanggup lagi
dengan luka yang kian menganga ini."


Sekar menatap tajam sosok di hadapannya.


"Jadi, yang Mbak sebut dengan menyembuhkan luka itu dengan cara menorehkan
luka di hati yang lainnya? Begitu?" Sekar semakin menajamkan tatapannya.


Ajeng tersentak, tak menyangka Sekar akan menjawab seperti itu.


"Egois sekali. Lalu siapa nanti yang akan menyembuhkan lukaku yang tercipta
karena kehadiranmu? Asal Mbak tahu, kehadiran Mbak tidak akan pernah
menjadi madu. Khadiran Mbak hanyalah racun bagiku," ucap Sekar. Ajeng
kembali terhenyak. Hatinya mendadak nyeri.


"Mbak kira aku akan berkata iya pada racun yang sangat menggangguku? Tidak,
tidak akan pernah!" kata Sekar cukup keras, hingga beberapa pasang mata
kembali melirik mereka.


Ajeng kembali menundukkan kepala. Pelupuk matanya kembali menggenang seketika.


"Jadi kamu lebih memilih untuk membiarkanku terjebak dalam kubangan dosa?"
tanya Ajeng lirih.


Sekar memalingkan wajahnya. Ingin sekali ia mengambil garpu yang masih
tergeletak di lantai dan menyumpalkannya ke mulut sosok cantik di hadapannya.


"Mau Mbak tetap berkubang dalam dosa, itu bukan tanggung jawabku atau
tanggung jawab Mas Hadi. Itu tanggung jawab Mbak sendiri," jawab Sekar tegas.


"Mbak sudah cukup dewasa, jauh lebih dewasa daripada aku yang masih belia.
Seharusnya Mbak bisa memutuskan apakah akan tetap dalam kubangan dosa
dengan terus menjadi pengganggu pernikahan kami, atau mencoba menyembuhkan
luka dengan bangkit dan berdiri." Kali ini Sekar kembali memberikan tatapan
tajam.


"Tapi jika Mbak yang cendekia ini tidak mampu menggunakan daya
intelektualnya untuk mengerti bahwa sudah seharusnya Mbak berhenti mengejar
Mas Hadi, maka jangan harap aku juga akan berhenti untuk mempertahankan apa
yang kumiliki."


Sekar sungguh-sungguh dengan perkataannya. Hari demi hari, rasa cintanya
untuk Hadi semakin memuncak saja, hingga ia tak akan semudah itu menyerah
pada siapa saja yang mencoba merebut Hadi darinya. Ia mungkin masih belia,
tapi ia tahu harus bagaimana. Maka benarlah pepatah yang mengatakan cinta
itu menguatkan, hingga Sekar bisa menghadapi Ajeng dengan sebuah kekuatan
yang memunculkan ketegasan.


"Tega sekali kamu, Sekar. Tidakkah kamu mengerti posisiku sebagai sesama
perempuan?" Ajeng masih terus terisak. Spaghetti bolognaise di hadapannya
tak lagi disentuhnya, dibiarkan dingin begitu saja.


"Tega? Mbak bilang tega? Sebelum Mbak menuduhku tega, tidakkah sebaiknya
Mbak berkaca pada apa yang selama ini Mbak lakukan? Jika yang Mbak lakukan
itu bukan tega, lalu apa namanya?" Sekar terus membalas perkataan Ajeng
dengan ketegasannya.


"Dari sejak malam pernikahanku, Mbak terus saja mengganggu kehidupanku.
Mbak tidak tahu sesering apa aku mengeluarkan airmata kesedihan karena ulah
Mbak padaku. Lalu sekarang tiba-tiba saja Mbak memintaku memahami posisi
Mbak sebagai sesama perempuan? Keterlaluan kamu, Mbak. Keterlaluan!" imbuh
Sekar, terus mengeluarkan kekesalan yang memenuhi dadanya.


"Dimana naluri Mbak sebagai sesama perempuan saat Mbak malam-malam terus
menelepon seorang lelaki yang tengah bersama istrinya? Dimana naluri Mbak
saat Mbak dengan tanpa rasa berdosa mengirimkan pesan-pesan mesra pada Mas
Hadi dan aku yang membacanya? Mbak tahu bagaimana rasanya? Sakit, Mbak!
Sakit. Jadi maaf, Mbak. Bagiku, Mbak bahkan tidak layak disebut sebagai
seorang perempuan."


Airmata Ajeng kian deras mendengar perkataan Sekar.


"Cukup, Sekar, cukup," pinta Ajeng kemudian.


Hatinya teriris perih mendengarnya, terutama ketika Sekar menyebutnya tak
layak disebut sebagai seorang perempuan.


"Cukup katamu? Harusnya aku yang berkata begitu, Mbak. Cukup, cukup sudah
Mbak mengganggu suamiku!"


Sekar berusaha menahan tangisnya, sedang Ajeng hanya bisa tertunduk tanpa
bisa berkata. Keheningan kembali tercipta di antara keduanya.


"Maaf, Mbak. Aku harus segera pulang. Mas Hadi pasti sudah menungguku,"
ucap sekar kemudian sambil mengangkat tas warna coklatnya. Ia sudah tak
sanggup berada di tengah situasi ini bersama seseorang yang selama ini
menggoda suaminya.


Ajeng masih tak bersuara. Ia terus berlinang airmata hingga Sekar berlalu,
tak tampak lagi di hadapannya. Hatinya kian nelangsa. Jelas sudah, Sekar
tak akan pernah berkata iya.


**********


Semilir angin masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, melesak
manja, membelai wajah Hadi yang tengah serius membaca buku di ruang
bacanya, The 8th Habbit: From Effectiveness to Greatness karya Stephen R.
Covey. Ia sudah membacanya, namun entah mengapa ia ingin mengulangnya.


Hadi sengaja mendesain ruang bacanya sedemikian rupa, agar siapapun betah
berada di sana. Beberapa rak buku berukuran besar dan sedang tertata rapi,
berisi ratusan buku yang ia koleksi. Rak-rak buku ini ia pesan khusus,
terbuat dari kayu jati, dengan ukiran indah bernilai seni tinggi.


Ada sebuah meja panjang dengan beberapa kursi berukir, juga sebuah kursi
goyang di dekat rak yang paling besar. Namun karena kondisinya, Hadi tak
menempatkan diri di sana. Ia lebih memilih untuk duduk di sofa baca yang ia
tempatkan di dekat jendela, spot favoritnya, hingga ia bisa leluasa
meluruskan kakinya. Sudah beberapa hari ini ia tak memakai kursi roda. Ia
sudah mulai bisa berjalan dengan menggunakan kruk sebagai alat bantunya.


Hadi beringsut, memundurkan tubuh tegapnya hingga menyentuh bantal
penyangga punggung. Ia lalu merebahkan punggung dan kepalanya di sana tanpa
sedikitpun manit matanya beralih dari buku yang tengah dinikmatinya.


Perlahan, ia ia melebarkan jendelanya. Rupanya ia menikmati hembusan manja
yang sedari tadi menyapu wajah tampannya yang mulai ditumbuhi kumis dan
jambang tipis. Menyadarinya, seutas senyum tersungging di bibirnya. Ia
ingat bagaimana biasanya Sekar bereaksi kala melihat rambut-rambut tipis
itu bermunculan di wajahnya. Sekar tidak menyukainya.


"Jangan menciumku kalau Mas belum membersihkan rambut-rambut tipis itu,"
ucap Sekar kala itu, saat Hadi berusaha memberikan sebuah kecupan di
bibirnya. Hadi tertawa mendengarnya.


"Tega sekali. Suamimu ini masih harus menunggu lama untuk bisa berbuka.
Masa' sekadar mencium saja sekarang dilarang juga? Kamu tega membuat
suamimu kian nelangsa?" Hadi memasang wajah memelas. Sekar tak tahan untuk
tak tertawa.


Ia lalu berlalu, mengambil semangkuk air hangat, dan peralatan cukur untuk
suaminya. Hadi hanya menurut pasrah saat sejurus kemudian Sekar
mengutak-atik wajahnya.


"Kenapa tidak langsung saja?" tanya Hadi pada sang istri yang tengah piawai
membasuh wajahnya dengan air hangat.


"Membasuh wajah dengan air hangat akan membantu membersihkan kotoran,
membuka pori-pori, juga melembutkan rambut-rambut halus Mas ini," jelas
Sekar sambil jemarinya terus menari di atas wajah suaminya.


Perlahan, Sekar meraih sebuah handuk kecil yang memang sudah disiapkannya
untuk mengeringkan wajah suaminya. Hadi menikmatinya. Ia merasakan tiap
sentuhan istrinya mengandung pesan cinta untuknya.


Sekar meletakkan handuknya, lalu mengoleskan pre-shave oil di wajah Hadi.
Lagi-lagi, Hadi hanya bisa menurut saja. Ia terpana. Istrinya begitu
telaten mengurusnya. Bahkan untuk urusan cukur saja ia sampai sedemikian
detilnya. Selama ini, ia hanya membasuh wajah, dan langsung memakai krim
cukur saat ia mencukur sendiri.


"Mas tidak pernah memakai minyak ini ya saat bercukur sendiri?" tanya Sekar.


Hadi menggelengkan kepalanya. Ia tahu Sekar membelikan peralatan cukur
lengkap untuknya, hanya saja ia terlalu malas untuk melakukannya.


"Pantas saja kulit Mas sering tergores saat bercukur. Seharusnya Mas pakai
ini dulu. Pre-shave oil ini akan membantu melemaskan helai rambut dan juga
melembabkan kulit agar seretan pisaunya nanti berjalan mulus," jelas Sekar.
Hadi mendengarnya, dengan luapan keterpanaan yang masih menghinggapinya.


"Sik, sik. Itu bukan krim cukur yang biasanya, kan?" tanya Hadi saat
melihat Sekar akan mengaplikasikan krim cukur di wajahnya dengan krim yang
berbeda.


"Iya. Yang biasanya dipakai Mas sudah aku buang," jawabnya, tanpa rasa berdosa.


"Lah, kenapa?" Hadi penasaran.


"Krim yang biasanya Mas gunakan mengandung menthol. Itu tidak bagus, karena
bisa mengeraskan batang rambut dan juga menutup pori-pori kulit. Sudah aku
belikan yang baru, yang berbahan dasar gliserin," jelasnya.


Lagi-lagi Hadi tak bisa untuk tak terpana. Hatinya berdesir. Dari hal
seperti ini saja, ia betul-betul bisa merasakan tulusnya perhatian Sekar
untuknya. Bunga-bunga cinta mendadak semerbak memenuhi relung hatinya.


Manik matanya kini menatap wajah istrinya, wajah ayu yang selalu membuat
gejolak hatinya kian menggebu. Sedang Sekar tetap serius menggerakkan kuas
kabuki di tangannya untuk mengaplikasikan krim cukur di wajah lelakinya.


"Aku ambil air dingin dulu ya, Mas. Mas di sini saja. Jangan kabur
kemana-mana," kata Sekar, membiarkan Hadi dengan wajah dipenuhi krim cukur.


"Iya, Nyonya Hadi," jawab Hadi. Ia tertawa geli.


Kurang dari 5 menit, Sekar sudah kembali dengan segayung air dingin. Ia
kembali memosisikan diri untuk mengeksekusi wajah suaminya. Jemarinya
piawai, menggerakkan pisau cukur mulai dari daerah dekat telinga Hadi, lalu
bergerak ke arah pipi, area mulut, dan berakhir di area dagu.


Selesai, tapi Hadi masih terus mendongakkan kepala dengan tatapan mata
elangnya yang tertuju pada istrinya.


"Kenapa melihatku seperti itu? Nanti Mas semakin jatuh cinta padaku," kata
Sekar yang kini tengah kembali mengeringkan wajah Hadi setelah ia
membilasnya dengan air dingin.


"Aku memang semakin jatuh cinta padamu," jawab Hadi. Sekar tersenyum, lalu
memukul pelan hidung Hadi dengan jari telunjuknya.


"Gombal," katanya. Hadi sedikit tertawa.


Andai ia tak berada di kursi roda, ia pasti sudah meraih istrinya dan
menggelitikinya saking gemasnya. Tapi sungguh, ia memang semakin jatuh
cinta pada istrinya.


Kini giliran Sekar yang terpana. Sembari mengoleskan post-shave balm,
pelembab khusus kulit wajah pasca bercukur di wajah lelaki yang teramat
dicintainya, kedua matanya tak berkedip. Ia menatap wajah dengan rahang
kokoh di hadapannya dengan helai-helai lembut yang sudah tak ada lagi di
sana. Ia sungguh terpesona.


Mas Hadi tampan sekali.


Kini mata keduanya beradu pandang. Napas Sekar sedikit tersengal. Ia
mendadak gugup, salah tingkah lantaran panah tatapan mesra suaminya
menghunjam jauh ke hatinya.


"Pandanganmu menunjukkan jika kamu begitu terpesona denganku," kata Hadi.


Geletar-geletar di hati Sekar kian menjadi-jadi. Ia mengulum senyum, lalu
beringsut untuk membereskan peralatan cukur yang tadi digunakannya. Sayang,
Hadi lebih dulu berhasil memegang tangannya sebelum ia berhasil meraih
peralatan yang akan dibereskannya.


"Aku... aku mau membereskan peralatan cukurnya dulu, Mas," kata Sekar. Hadi
menggelengkan kepalanya.


"Nanti saja. Tinggallah di sini dulu bersamaku," pinta Hadi yang masih
terus memegang tangan istrinya.


Hadi membimbing Sekar untuk berdiri menghadapnya. Sekar semakin gugup
karenanya.


"Kamu tadi bilang, kan, kalau aku tidak boleh menciummu sebelum aku
mencukur rambut-rambut halusku?" tanya Hadi.


Sekar tersenyum mendengarnya. Ia tahu maksud suaminya.


"So?" tantang Sekar, yang langsung memosisikan diri, sedikit membungkukkan
badannya di hadapan Hadi hingga posisi wajah keduanya kini sejajar, berhadapan.


Kepala keduanya bergerak maju perlahan, hingga bibir mereka saling
bersentuhan, dan bergeming pada posisi itu dalam lebih dari 10 detik
keheningan.


Hadi masih terus tersenyum mengingat kejadian manis itu. Ia lalu memanggil
istrinya, berancana meminta jemari piawainya untuk mencukur kembali
rambut-rambut halus di wajahnya. Ia ingin mengulang suasana manis yang sama.


"Sekar? Sayang?" panggilnya lagi.


Tak ada jawaban. Ia lalu tersadar, rupanya Sekar belum juga pulang. Padahal
tadi ia hanya pamit pergi sebentar untuk melihat kain di toko kain kiloan.


Hadi meraih ponselnya, mencoba melihat kalau-kalau ada pesan dari istrinya.
Nihil, tak ada apapun di sana. Hadi baru saja akan melakukan panggilan
melalui ponselnya saat ia mendengar suara lembut Sekar mengucap salam.


Hadi tersenyum penuh arti. Ia segera meraih kruknya, berusaja berdiri untuk
menyambut istrinya, namun tiba-tiba saja sosok manis yang ditunggunya sudah
ada di pintu ruang baca. Hadi urung meraih kruknya. Ia kembali mendudukkan
diri di sofa bacanya, lalu memberikan isyarat agar Sekar mendekat padanya.


"Bagaimana? Sudah dapat kainnya?" tanyanya, pada sosok yang kini perlahan
berjalan ke arahnya.


Tak ada jawaban. Sekar justru mempercepat langkah dan menghambur ke
pangkuannya, dengan tangisan yang kemudian tumpah-ruah di sana, melepaskan
ribuan beban yang sedari tadi ditahannya.


Hadi bingung ada apa, tapi ia berusaha tenang. Perlahan, ia membelai kepala
istrinya yang masih tenggelam dalam tangisnya.


"Ada apa?" tanyanya.


Jemarinya memegang pundak Sekar, berusaha membimbingnya untuk bangkit dan
duduk di sebelahnya. Sekar mengabaikannya, ia tetap bergeming pada
posisinya, membenamkan kepala di paha Hadi, hingga celana suaminya kini
basah terkena linangan airmatanya.


"Baiklah, tumpahkan dulu semua bebanmu. Tapi setelah itu, tolong berbagilah
denganku," kata Hadi, kembali membelai kepala sang istri. Meski ia masih
diliputi tanda tanya, ia yakin istrinya pasti barusaja mengalami hal yang
sangat menyakiti hatinya, hingga ia tergugu seperti ini.


Apa ini ada hubungannya dengan Bapak?


Hadi mendesah. Beberapa hari yang lalu, Sekar juga tersedu. Rupanya Bapak
menghubunginya, memintanya meninggalkan Hadi dengan segera, lantaran Bapak
menganggap Hadi sebagai menantu cacat yang tak lagi ada gunanya, yang hanya
bisa merepotkan saja. Namun kesedihannya perlahan sirna setelah Hadi
diam-diam menghubungi Simbok, memintanya datang, untuk menenangkan putrinya
dari kesedihan yang menderanya. Tapi kini, entah mengapa istrinya tergugu
kembali.


Sudah seperempat jam berselang, namun Sekar masih terus menangis dalam
kesedihan, membuat Hadi semakin kebingungan.


Hadi merengkuh sosok yang kini duduk di sebelahnya, membiarkan kepalanya
bersandar di dadanya. Isakannya masih jelas terdengar.


"Ayolah, ceritakan padaku apa masalahmu. Biarkan aku ikut merasakan bebanmu."


Hadi terus mencoba membuat istrinya bicara, tapi gagal, Sekar masih terus
diam seribu bahasa. Hanya linangan airmata yang terus bercucuran yang
menjadi penegasan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.


"Kula nuwun...."


Sebuah suara mengagetkan Hadi yang masih terus berusaha menenangkan
istrinya, seiring dengan suara ketukan pintu yang terdengar setelahnya.


"Aku lihat dulu siapa yang datang, ya," kata Hadi pada Sekar.


Ia meraih kruknya, lalu mencoba berdiri dengannya. Sekar menahannya. Ia tak
tega melihat suaminya yang masih kesusahan untuk berjalan itu hendak
menemui si sumber suara.


"Aku saja, Mas," kata Sekar sembari buru-buru menghapus airmatanya.


Hadi yang sudah berdiri tegak, perlahan memegang pundak istrinya.


"Aku tidak akan membiarkan istriku menemui tamu dengan wajah sembab seperti
itu. Nanti dikira aku melakukan kekerasan padamu," kata Hadi. Tangannya
kini beralih, mengelus pipi sang istri.


"Sudah, sekarang basuh wajahmu dan tenangkan dirimu," kata Hadi kemudian,
lalu berlalu.


Sekar memandang iba suaminya yang berjalan tertatih dengan kruknya hingga
punggungnya tak lagi tampak di matanya. Ia lalu berjalan ke kamarnya
setelah membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri di sana.


"Eh, Pit. Rene mlebu," kata Hadi setelah membuka pintu rumahnya dan melihat
Pipit, teman SDnya berada di sana.


"Kene wae, Di. Sekar mana? Sudah sampai rumah?" tanyanya.


"Uwis. Kae nang njero. Piye? Arak ketemu po?" tanya Hadi. Sejujurnya ia
heran, kenapa Pipit menanyakan keberadaan Sekar. Mungkin mereka bertemu tadi.


"Ora, Di. Aku ke sini cuma mau mengantarkan ini. Punya Sekar. Tadi
ketinggalan di tempat kerjaku," kata Pipit sambil menyerahkan dua plastik
berukuran besar. Hadi langsung tahu apa isinya meski ia hanya melihat
sekilas saja.


Melihat keadaan Hadi yang tidak memungkinkan untuk membawa 2 kantong
plastik itu, Pipit segera masuk ke dalam, meletakkan plastik berisi kain
itu di kursi tamu Hadi.


"Sik, sik. Jadi tadi Sekar ke tempatmu?" tanya Hadi. Pipit mengangguk.


"Iya. Sekar tadi makan siang di tempat kerjaku, bersama seorang perempuan.
Mbuh sopo. Sepertinya mereka membicarakan hal yang sangat serius," jelas Pipit.


Desir rasa tak nyaman tiba-tiba saja datang.


"Perempuan itu tadi menangis waktu Sekar pergi. Aku tidak tahu apa yang
terjadi," kata Pipit kemudian, seolah menangkap rasa kebingungan Hadi.


"Perempuan itu... bagaimana rupanya?" tanya Hadi. Sepertinya ia sudah bisa
menebak siapa, namun ia ingin memastikannya.


Pipit berusaha menjelaskannya sedetil mungkin; bentuk wajahnya, gaya
busananya, perawakannya, hingga Hadi benar-benar yakin pada tebakannya
tentang siapa sosok yang tadi bersama istrinya.


"Yo wis, Di, aku pamit, ya. Salam untuk Sekar. Kamu juga semoga cepat
pulih, ya," pamit Pipit kemudian.


"Suwun yo, Pit," balas Hadi, lalu kembali menutup pintu rumahnya.


Duh Gusti... Ujian apalagi yang menerpa sigaraning nyawaku kali ini?


Hadi berusaha sekuat tenaga agar bisa cepat menggapai pintu kamarnya, ia
ingin segera merengkuh istrinya, kembali menguatkannya. Hatinya berdetak
begitu cepat. Pantas saja istrinya menangis sejadi-jadinya, sampai tak
sanggup mengukir kata untuk menceritakan ada apa sebenarnya.


Hadi menghela napas saat memasuki kamarnya, saat melihat istrinya
membenamkan wajah di atas bantal peraduannya. Ia tahu istrinya kembali
berlinang airmata.


Perlahan, Hadi mendekatinya, setelah meletakkan kruknya. Ia duduk di tepi
ranjang, sembari mengusap-usap punggung istrinya.


"Kainmu tadi tertinggal di tempat kerja Pipit. Pipit baru saja
mengantarnya," kata Hadi.


Sekar terkesiap mendengarnya, lalu bangkit, mengangkat wajahnya yang tadi
ia sembunyikan di atas bantalnya. Wajahnya masih basah oleh airmata.


"Mas... aku...." Sekar tercekat, kalimatnya terhambat.


"Ceritakan padaku, apa yang dikatakannya padamu hingga kamu terus menangis
tergugu," pinta Hadi, sembari memberikan tatapan hangatnya, berharap Sekar
jadi lebih nyaman untuk bercerita.


Lagi, tak ada kata terucap dari bibir sang kekasih hati. Hanya isak tangis
yang kembali menjadi jawaban. Namun beberapa saat kemudian, bibir Sekar
mulai bergerak. Meski terbata, Hadi tetap bisa jelas mendengarnya.


"Dia... dia memohon padaku agar... agar diijinkan menjadi... menjadi...
maduku."


Hadi terperangah. Tangisan Sekar kian pecah.


Bersambung.
Tunggu kelanjutannya di part 21 ya.


**********




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar