4.13.2019

CANTING PART 21




CANTING PART 21


Tanpa menunda, Hadi langsung merengkuh dan memeluk erat sosok di
hadapannya, membiarkannya kembali terisak dalam kubangan airmata, mencoba
turut merasakan derita hatinya. Sungguh, hati Hadi selalu ikut teriris kala
sigaraning nyawanya menangis. Ia tak tahu lagi harus bagaimana, karena ia
tahu hati istrinya tengah hancur porak poranda.


Hadi semakin mengeratkan pelukannya, Sekar kian deras berurai airmata.


Hingga beberapa menit keheningan, suasana masih sama. Keduanya bergeming di
posisi semula, tanpa sedikitpun kata terlontar dari bibir keduanya. Namun
perlahan, bulir-bulir bening Sekar mulai berkurang kapasitasnya, meski
napasnya jelas terdengar lantaran isakannya.


Sambil terus mengeratkan rengkuhannya, Hadi menempatkan dahunya di atas
kepala Sekar yang tengah terbenam di dadanya. Ia sungguh tak mengira, Ajeng
bisa begitu jauh mengambil jalannya.


Cinta? Yang benar saja.


Sejurus kemudian, sekelebat pikiran mengganggu angannya. Bertemu Ajeng,
jelas itu hal yang tak akan pernah diharapkan istrinya. Permintaan Ajeng
agar diijinkan menjadi madunya, tak usah ditanya. Itu adalah hal yang
teramat sangat menorehkan luka. Tapi apa yang kemudian membuat Sekar
menangis tanpa henti seperti ini? Betulkah semata karena permintaan Ajeng?
Ataukah....


Duh, Gusti....


Hadi memejamkan matanya. Ia menyadari satu hal yang tiba-tiba muncul di
benaknya.


Hadi melepaskan rengkuhannya, lalu jemarinya bergerak memegang kedua pipi
Sekar, hingga kini keduanya berhadapan, beradu pandang.


Ditatapnya manik mata sigaraning nyawanya yang masih basah oleh kristal
bening kesedihannya. Hidung mbangirnya memerah, lantaran terlalu lama ia
menumpahkan tangis gelisah.


Jemari Hadi kembali bergerak, menghapus basah di wajah istrinya, tanpa
sedikitpun mengalihkan tatapan hangatnya.


"Beritahu aku, apa yang membuatmu terus tergugu," kata Hadi, segera setelah
ia dapati wajah istrinya tak basah lagi.


Sekar mengernyitkan dahinya.


Kenapa Mas Hadi masih bertanya? Bukankah sudah sangat jelas apa penyebabnya?


Sekar mendesah. Ia kembali gundah.


"Mas sudah tahu apa sebabnya," jawab Sekar, sedikit kesal.


Jemari Hadi berpindah lagi. Kini jemarinya menggenggam erat jemari belahan
jiwanya.


"Aku yakin tangisanmu bukan semata karena permintaan Ajeng," kata Hadi.
Sekar memejamkan mata. Ia sungguh tak mengerti.


Ada apa denganmu, Mas?


"Aku tidak tahu maksud Mas. Aku sedang tidak bisa berpikir apa-apa, " kata
Sekar, lalu melepaskan jemarinya dari genggaman Hadi.


Sekar merebahkan dirinya, menghadap ke dinding ke kamarnya, menutup wajah
dengan guling di sampingnya. Tangisnya kembali pecah.


Hadi mendesah.


Ah, seharusnya ia tahu istrinya tengah resah, seharusnya ia mengerti
istrinya tengah tersakiti, seharusnya ia memahami istrinya butuh waktu
untuk bisa ia ajak bicara dari hati ke hati, sebab saat ini sang istri
masih digelayuti emosi yang begitu tinggi.


Hadi merutuki dirinya.


"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal dengan perkataanku,"
ucapnya tulus, sembari mengusap punggung Sekar yang masih terus terguncang.


Tak ada jawaban. Sekar masih tetap membenamkan kepalanya, hingga guling
bersarung motif batik itu basah oleh kristal beningnya.


Hadi kini maklum melihatnya.


"Baiklah, menangislah selama yang kamu mau, jika itu memang bisa sedikit
melegakan sesaknya dadamu," ucap Hadi lagi.


Sekar terus meratapi diri. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa kesal pada Hadi.


Sudah tahu apa sebabnya, kenapa masih bertanya juga? Tidakkah dirimu peka?


Sekar masih berkutat dengan suara-suara yang berkecamuk di hatinya saat ia
mendengar langkah-langkah kaki Hadi menjauh darinya, dengan suara seretan
kruk yang mengiringinya. Entah hendak kemana, tapi Sekar tak
mempedulikannya. Ia hanya ingin menangis menumpahkan kesedihan dan
kekesalannya.


Tiba tiba...


"Pyar!"


Suara sebuah benda kaca yang pecah karena bersentuhan dengan lantai
terdengar nyaring memekakkan telinga. Sepertinya dari arah dapur suara itu
bermuara.


Mas Hadi?


Reflek, Sekar segera bangkit dari posisinya, melompat dari tempat tidur,
lalu berlari menuju sumber suara. Ia khawatir ada apa, sampai-sampai ia
lupa menghapus sisa airmatanya. Ia bahkan membiarkan guling yang tadi
dipeluknya terlempar ke lantai begitu saja. Ia sungguh takut Hadi
kenapa-kenapa.


Sekar menutup mulutnya sesampainya ia di tempat sumber suara yang tadi
menghentakkannya. Ia trenyuh melihat suaminya tengah bersusah payah
memunguti pecahan gelas kaca yang tersebar di sekelilingnya.


"Biar aku saja, Mas."


Sekar langsung mendekat, tak tega melihat suaminya yang tengah terduduk di
lantai dengan kruk yang ia letakkan di hadapannya.


"Mas kenapa tidak bilang kalau mau minum? Aku bisa mengambilkannya," kata
Sekar kemudian, setelah serpihan gelas kaca itu tersingkir sempurna.


Hadi mengisyaratkan Sekar untuk membantunya berdiri.


"Aku mau mengambilkan air minum ini untukmu, untuk menenangkanmu. Tapi
rupanya terlalu sulit untuk membawanya dengan keadaanku seperti ini," jelas
Hadi, setelah ia berhasil berdiri tegak, lalu berdiri berhadapan dengan
istrinya.


Sekar kembali berlinang airmata. Bulir keharuan menyeruak di seisi relung
hatinya.


Mas Hadi, kamu manis sekali.


"Lho, lho, kenapa menangis lagi? Aku kira sudah selesai tadi." Hadi keheranan.


Tak ada jawaban, Sekar langsung mendaratkan sebuah pelukan. Ia memeluk
suaminya, erat.


"Maafkan aku, Mas. Aku mengabaikanmu tadi," ucap Sekar, tulus dari hatinya.
Hadi tersenyum mendengarnya.


"Tidak apa-apa. Aku bisa memakluminya. Kamu masih berselimut emosi.
Seharusnya aku memberikanmu waktu lebih lama lagi, tidak langsung
mengajakmu bicara serius seperti tadi," kata Hadi, sembari memberikan
sebuah kecupan di ubun-ubun istrinya.


"Sekar?" panggil Hadi kemudian, setelah beberapa detik hening tanpa percakapan.


"Ya?" jawab Sekar.


"Umm... bagaimana kalau kita duduk saja? Tidak nyaman rasanya berdiri
dengan kruk seperti ini sambil dipeluk erat sekali," kata Hadi.


Sekar tak langsung melepaskan pelukannya. Ia justru mendongakkan wajahnya
hingga bertatapan dengan suaminya.


"Kenapa tidak nyaman?"tanganya.


"Karena aku tidak bisa membalas pelukan eratmu. Tapi jika kita duduk, kedua
tanganku terbebas dari kruk ini dan aku bisa membalas pelukan eratmu tadi."


Hadi mengerling manja. Sekar sedikit tertawa, sambil menghapus sisa bulir
bening yang masih kentara di pelupuk matanya. Keduanya lalu beriringan,
berjalan menuju kursi di ujung ruangan. Sesekali Hadi mencuri pandang.
Sekar sudah tampak lebih tenang.


"Sudah siap untuk bicara serius?" tanya Hadi, sembari menatap lekat wajah
sang istri, segera setelah mereka mendudukkan diri.


Sekar mengangguk.


"Janji tidak menangis lagi?" goda Hadi. Sekar menjawabnya dengan sebuah
pukulan kecil di pundak Hadi.


Hadi meraih jemari Sekar, lalu menggenggamnya, erat, seperti yang biasa
dilakukannya.


"Aku tadi belum selesai bicara. Boleh aku lanjutkan?" tanya Hadi, sekaligus
kembali memastikan istrinya sudah tidak begitu digelayuti emosi.


Sekar kembali menganggukkan kepalanya, sebagai ganti jika ia berkata iya.


"Begini, Sayang. Dengarkan aku. Aku tadi belum selesai bicara. Ingat saat
tadi aku bilang bahwa tangisanmu bukan karena permintaan Ajeng semata?"


Sekar hanya bisa mengangguk, lalu menunduk. Sejujurnya ia masih belum
mengerti maksud suaminya.


Bukan semata karena permintaan perempuan pengganggu itu?
Lalu apa?


Sekar menghela napas untuk menghalau emosi yang hampir saja kembali muncul
di dadanya.


"Sekar, aku tahu, kamu menangis pilu karena Ajeng menemuimu. Aku juga
sangat tahu kamu terus tergugu karena permintaan konyol itu. Tapi, tidakkah
kamu menyadari sesuatu?" kata Hadi.


Sekar mengggerak-gerakkan bola matanya, berharap ia menemukan jawaban atas
pertanyaan suaminya, sesuatu yang mungkin ia tak menyadarinya.


Apa? Apa, Mas? Katakan saja.


Sekar mendesah, lalu kembali mengeleng-gelengkan kepalanya. Hadi tersenyum
melihatnya.


"Jujurlah padaku. Apa kamu takut aku akan mengiyakan permintaan itu?"tanya
Hadi. Sekar tersentak mendengarnya.


"Disadari atau tidak, kamu pasti mengkhawatirkan itu sehingga kamu tidak
bisa menghentikan tangisanmu. Ajeng menemuimu, kamu bisa dengan mudah
berlalu. Ajeng memintamu mengijinkannya menjadi madumu, kamu tinggal bilang
tidak jika sebagai jawaban atas ketidaksetujuanmu. Tapi kekhawatiranmu jika
aku akan mengiyakan permintaan itu, itulah yang sesungguhnya mengganggu
pikiranmu, mengusik hatimu dan mengaduk emosimu," jelas Hadi. Jemarinya
masih terus menggenggam jemari Sekar yang kini sedikit gemetar.


Sekar menundukkan pandangan.


Benar, dari tadi sisi-sisi hatinya bercengkerama, membisikkan sesuatu yang
membuatnya semakin gundah gulana.


Bagaimana jika Mas Hadi mengiyakan permintaan itu?
Bagaimana jika Mas Hadi setuju menjadikannya sebagai maduku?
Bagaimana jika Mas Hadi kalah oleh rasa kasihan sehingga tergerak untuk
menarik perempuan itu dalam sebuah ikatan?


"Benarkah tebakanku?" tanya Hadi, memecah kesunyian yang tercipta lantaran
Sekar terhanyut dalam angannya.


Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sebuah isakan yang tiba-tiba terdengar.


Tak perlu kata-kata, Hadi langsung mengerti arti isakan istrinya. Ia
bergeser, hingga pahanya berdempetan dengan paha istrinya, membuatnya
leluasa untuk kembali merengkuh istri tercinta, membenamkan wajah yang
kembali berurai airmata itu di dadanya.


"Sekar, sayangku. Kamu tahu bagaimana terbentuknya sebuah mutiara? Mutiara
sejatinya berawal dari sesuatu yang seolah remeh, tak ada harganya, seperti
butiran pasir yang tak ada nilainya. Namun siapa sangka ia akan menjelma
menjadi keindahan paripurna, setelah bertahun-tahun ia ditempa di dalam
gelapnya perut kerang yang berada di dalam pekatnya dasar lautan. Itulah
dirimu. Kamu lah mutiara itu. Mungkin kamu terlahir sebagai sosok biasa,
yang semua orang tak memandangmu sebagai sosok berharga. Namun
bertahun-tahun ditempa segala uji dan coba, keindahanmu justru semakin
memesonakan mata, membuatku terpikat karenanya."


Sekar mengangkat pandangannya. Kini ia mulai membalas tatapan mata suaminya.


"Susah payah aku mendapatkanmu hingga akhirnya aku bisa memilikimu.
Layaknya mutiara, ibaratnya aku harus berenang ke dasar lautan, lalu
mengeluarkanmu dari perut kerang sebelum akhirnya keindahanmu bisa
kupegang." Hadi menghela napas perlahan.


"Sekar, sudah ada sebuah mutiara indah yang kugenggam, yaitu kamu. Aku
tidak akan tergoda perhiasan lain meskipun itu berlian yang berkilauan.
Hanya kamu yang kuinginkan, aku tak peduli meski mungkin ada sosok lain
yang menyodorkan diri agar aku menjadikannya perhiasan tambahan.
Percayalah, aku sudah cukup denganmu, hatiku hanya berhenti di hatimu."


Hadi terus menatap istrinya dan mengeratkan genggamannya sembari memaparkan
jalinan aksaranya.


Seutas senyuman, sekaligus bulir bening keluar bersamaan. Sekar diselimuti
sebuah keharuan demi mendengar apa yang baru saja Hadi katakan.


"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku," isaknya. Hadi membalasnya dengan sentuhan
mesra di pundak istri tercinta.


"Maaf lagi-lagi ada ragu menggelayutiku, membuatku takut Mas Hadi akan
mengiyakan permintaan perempuan itu," ucap Sekar lagi, di tengah isakannya.
Namun kali ini isakannya berbeda, isakan kesedihan yang telah
bermetamorfosa menjadi sebuah isakan keharuan dan... kelegaan.


"Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Aku anggap reaksimu itu sebagai bukti
betapa besar cintamu padaku, betapa besar rasa takutmu untuk kehilanganku,"
hibur Hadi, lalu jemarinya menari, menghapus bulir-bulir sang istri.


Keduanya sejenak beradu pandang, lalu kemudian saling membenamkan diri
dalam pelukan, rengkuhan yang begitu menenangkan.


"Nanti malam ikutlah denganku," kata Hadi kemudian, setelah keduanya
berpindah dari kursi di sudut ruangan ke peraduan.


"Kemana?" tanya Sekar.


"Ikutlah saja. Nanti kamu akan mengetahuinya. Tapi berjanjilah padaku."
Hadi memegang dagu istrinya, mengangkatnya, hingga wajah ayu yang masih
sendu itu sedikit mendongak.


"Berjanji apa?" tanya Sekar lagi.


"Saat nanti malam kamu ikut denganku, aku tidak mau ada sedikitpun semburat
kesedihan di wajahmu," kata Hadi, membuat Sekar penasaran kemana suaminya
akan membawanya malam nanti.


"Janji?"


Telunjuk Hadi menyentil hidung Sekar, menyentaknya yang belum mengiyakan
janjinya.


"Janji?" ulang Hadi lagi.


"Baiklah, aku janji," ucap Sekar sembari mengangguk pasti.


"Sekarang, bersihkan dirimu. Masih ada waktu beberapa jam untuk
menghilangkan sembab di wajahmu," kata Hadi.


Wajah keduanya kini dekat berhadapan. Mereka tidak berciuman, namun mereka
bergeming, membiarkan hidung mereka saling bersentuhan, sembari manik mata
mereka beradu pandang.


Sejurus kemudian, Hadi tertawa, membuat Sekar terheran-heran karenanya.


"Kenapa?" tanyanya.


"Matamu... tampak seperti mata panda," jawab Hadi tanpa bisa menahan
tawanya, membuat Sekar secepat kilat mendaratkan cubitannya.


Kanjeng Ibu yang baru saja masuk rumah ikut tersenyum mendengarnya. Mereka
terlalu larut dalam suasaha, hingga keduanya tak menyadari saat Kanjeng Ibu
perlahan menutup pintu kamar mereka, yang sedari tadi dibiarkan setengah
terbuka.


**********


Setengah berdendang, Ajeng menata rambutnya sambil berkaca, memastikan
penampilannya telah sempurna. Ia meraih sebagian rambut dari sisi kanan dan
sisi kiri, lalu disatukan ke belakang dengan sebuah jepit berwarna hitam.
Sedang sisanya ia biarkan tergerai dengan sisa rambut di sisi sebelah
kirinya ia biarkan menjuntai ke depan.


Ia ada janji temu dengan seseorang dan ia ingin membuat penampilannya tanpa
cela.


Piawai, jemarinya meraih kotak transparan berisi koleksi perhiasannya,
mengambil sepasang anting model dangle yang didesain menjuntai jatuh ke
bawah telinga berwarna gold, senada dengan kalung yang dipakainya. Ajeng
masih terus berkaca sembari membenarkan letak kalungnya. Ia tersenyum.
Lehernya tampak begitu jenjang.


Ia lalu menyemprotkan parfum yang tersimpan rapi di dalam botol kaca
berbentuk kotak berpita ke sekujur tubuhnya. Kini ia beranjak dari kursi
riasnya, berputar sejenak, memastikan tak ada yang salah dengan pilihan
busananya; atasan hitam model batwing dengan bagian pundak yang sedikit
terbuka, dipadu dengan celana tribal bermotif berwarna kombinasi putih dan
abu-abu. Sebuah clutch atau tas bertali panjang dan juga heels warna hitam
membuat tampilannya semakin sempurna.


Ajeng berpose sekali lagi, lalu tersenyum penuh arti sebelum ia meraih
kunci mobil sedan mewahnya.


Tidak ada 5 menit, Ajeng sudah duduk di dalam mobilnya, lalu melaju, menuju
Sheraton Mustika Yogyakarta Resort di jalan Laksda Adisutjipto Yogyakarta,
tempatnya membuat janji temu. Entah, rasa bahagia kini menyelimuti relung
hatinya. Ia sudah membayangkan akan makan malam berdua dengan memilih
tempat duduk sebelah jendela hingga ia bisa leluasa menandang kerlap-kerlip
cahaya. Sesekali ia tersenyum, sambil mengaca pada spion tengah mobilnya.


Ia kembali berdendang mengikuti alunan lagu La Mer, lagu berbahasa Perancis
yang ia nyalakan, tanpa peduli antrian panjang kendaraan di sepanjang
perjalanan.


La mer
les a bercés
le long des golfes clairs
et d'une chanson d'amour,
la mer
a bercé mon cล“ur pour la vie.


**********


"Mas, apa yang kurang?" tanya Sekar.


Hadi yang sedang duduk membaca beberapa pesan di ponselnya mendongakkan
kepala. Mulutnya menganga, tak ada kedipan di matanya. Ia terpesona.


"Kamu... sempurna," ucapnya.


Manik matanya terus memandang istri tercinta yang baru saja keluar dari
pintu kamar. Ia sungguh menawan, dalam balutan gaun satin warna hijau tua
dengan aksen pita dan juga kerut di bagian perutnya. Hadi berdesir saat
jemari lentik Sekar bergerak, membenarkan pashmina warna putih dengan
bunga-bunga hijau tua yang membalut kepalanya. Penampilannya kian paripurna
dengan tas tangan dan juga heels 5 cm warna putih, gelang tumpuk yang
menghiasi tangan kanannya, juga kalung warna perak dengan liontin berbentuk
hati yang menjuntai panjang. Hadi masih tak berkedip memandang sosok yang
kini berjalan ke arahnya. Riasannya sederhana, namun rona keanggunan jelas
tampak di sana.


"Kalau begitu, ayo berangkat," kata Sekar, lalu membantu Hadi berdiri
dengan kruknya.


Sekar tersenyum. Meski dengan alat bantu kruk seperti itu, pesona Hadi
tetap tak terelakkan. Ia menggunakan kaos putih dipadu blazer slimfit semi
formal warna hitam dengan bagian lengan yang ia tarik ke atas sampai ke
bawah siku, hingga jam tangan yang melingkari tangan kirinya semakin tampak
keberadaannya. Celana skinny fit jeans warna midnight blue dan sepatu kulit
warna coklat tua menambah kesan maskulin pada penampilannya.


"Sebetulnya kita mau kemana sih, Mas?" tanya Sekar sembari membenarkan
letak kacamata berbingkai rectangle dengan gagang berbahan titanium di
wajah Hadi.


"Ikutlah saja. Tapi ingat, kamu harus selalu tersenyum bahagia," jawab
Hadi, lalu keduanya berjalan bersama. Taxi yang mereka pesan sudah menunggu
di halaman rumah mereka. Sekar semakin penasaran kemana Hadi akan membawanya.


"Kenapa membawa ransel, Mas?" tanya Sekar, segera setelah mobil yang
ditumpangi mereka berjalan. Sebelum masuk mobil tadi, Hadi meminta Sekar
untuk mengambil ransel yang tertinggal di dalam.


"Ssst, jangan banyak tanya. Menurutlah saja," jawab Hadi, masih tetap dalam
sikap misteriusnya.


Tepat pukul 7 malam, sampailah mereka di tempat tujuan.


"Mas mengajakku menginap di sini?" tanya Sekar. Hadi menganggukkan kepalanya.


Keduanya kembali berjalan beriringan menuju restoran di lantai atas,
setelah check in dan meletakkan ransel yang ternyata berisi pakaian ganti
itu di kamar garden view room yang Hadi pesan, sebuah kamar dengan
arsitektur Jawa yang mewah dan ornamen yang unik, yang menghadap langsung
ke sebuah taman dengan segala keindahan yang ditawarkan.


Mas Hadi romantis sekali.


"Kita temui seseorang dulu ya," kata Hadi, menghentak Sekar yang masih
terkagum pada pesona suaminya.


"Eh, iya, Mas. Kita akan bertemu siapa?" tanya Sekar.


"Kamu akan segera tahu. Tapi tolong, ingat janjimu," ucap Hadi.


Sekar penasaran, kebingungan. Entah siapa yang akan mereka temui hingga
Hadi membuatnya berdandan paripurna seperti ini, juga berjanji akan tetap
tersenyum apapun yang terjadi. Sejurus kemudian rasa penasaran di hatinya
sirna, berubah jadi getar dahsyat yang semakin susah diterjemahkan rasanya,
saat ia melihat sosok yang sebentar lagi akan mereka temui segera. Sosok
itu tengah duduk sendirian, sosok perempuan yang telah membuatnya menangis
seharian.


"Mas...."


Sekar memegang erat lengan Hadi. Sungguh rasanya ia ingin menangis saja.
Tapi ia sudah berjanji pada Hadi untuk tetap menyunggingkan senyumnya.


"Trust me, Love," bisik Hadi di telinga Sekar, saat jarak keduanya dengan
Ajeng hanya tinggal beberapa jengkal.


"Kamu cukup diam saja, tersenyum, dan bersikaplah seperti biasa. Biar aku
yang bicara," bisik Hadi lagi.


Ajang mendesah. Dadanya serasa ingin pecah. Beberapa saat yang lalu rasa
bahagianya begitu membuncah, saat ia membaca pesan Hadi yang mengajaknya
untuk bertemu malam ini. Ia kira Hadi akan datang sendiri, lalu mereka
berdua bisa makan malam romantis, dan bicara hingga dini hari. Ternyata
Hadi tidak sendiri, membuat rasa bahagia di hati Ajeng menguap begitu saja,
tanpa sisa.


"Sudah lama, Jeng?" tanya Hadi, lalu mendudukkan diri di kursi dengan
bantuan sang belahan hati.


"Thank you, Love," kata Hadi pada Sekar yang kini telah duduk di sebelahnya.


"You're welcome," jawab Sekar, tersenyum, lalu mengerling manja.


Ajeng mendengus. Tak tahan rasanya melihat tingkah romantis Sekar Hadi yang
terpampang nyata di hadapnya.


"Baru saja," jawab Ajeng kemudian, singkat.


"Ada apa mengajakku bertemu di sini?" tanya Ajeng kemudian. Ia sungguh
merasa kesal. Pada titik ini, bahagianya telah sempurna pergi, yang tersisa
hanyalah bias emosi.


"Kebetulan aku dan istriku akan menghabiskan malam di sini. Jadi sekalian
saja, aku mengajakmu untuk bertemu di sini," jelas Hadi.


Ajeng memalingkan muka, lantaran tiba-tiba saja Hadi meraih jemari
istrinya. Keduanya kini saling menggenggam.


"Aku ingin membicarakan tentang permintaanmu yang siang tadi kamu sampaikan
pada istriku." Hadi membuka percakapan setelah Ajeng hanya membisu dalam
keheningan.


Hati Ajeng tiba-tiba berdesir.


Mas Hadi mengajakku bertemu untuk membicarakan permintaanku tadi?
Ia juga membawa istrinya ke sini.
Apa itu berarti, permintaanku ia setujui?


Ajeng mengukir sedikit senyuman. Tiba-tiba saja rongga dadanya dialiri
angin kesejukan. Sedang Sekar semakin mengeratkan genggaman, berusaha
tampak tenang, meski sejujurnya hatinya berdegup kencang.


"Jadi?"


Ajeng menatap Hadi penuh harap.


Hadi menghela napas perlahan, lalu menyunggingkan sebuah senyuman.


"Jawaban yang sudah disampaikan istriku padamu, maka itu juga menjadi
jawabanku," kata Hadi. Sejenak, ia melirik Sekar yang ternyata juga tengah
meliriknya.


Napas Ajeng tersengal. Mendengar perkataan Hadi, rasanya bagai terkena
ribuan kubik lahar panas yang ditumpahkan langsung di atas kepalanya.


"Teganya kamu, Mas."


Ajeng mulai terisak. Sekar kembali memalingkan muka. Sejujurnya ia muak
melihat perempuan penggoda suaminya itu berlinang air mata.


Air mata buaya. Kamu pasti sengaja melakukannya agar suamiku menaruh rasa
tak tega, berharap suamiku berkata iya.


"Kamu salah, Jeng. Justru aku tega jika aku mengiyakan permintaanmu. Aku
tidak mencintaimu, sebab cintaku sudah sepenuhnya dimiliki oleh istriku.
Andai kamu menjadi istri keduaku, aku pasti akan menyia-nyiakanmu. Kamu
tidak akan pernah bahagia bersamaku," imbuh Hadi. Ajeng semakin berurai
airmata. Sekar masih memalingkan pandangannya.


"Tapi witing tresno jalaran saka kulina, Mas. Cinta bisa muncul karena
terbiasa." Ajeng belum mau menyerah juga.


"Benar, witing tresno jalaran saka kulina. Masalahnya, aku tidak mau
membiasakannya, karena aku tidak menghendaki cinta bersamamu itu ada. Aku
sudah punya cinta yang sempurna."


Betapa halus Hadi mengurai aksara, namun bagi Ajeng, perkataan Hadi terasa
bagai sayatan perih di hatinya.


Ajeng kian tergugu, membuat pelayan yang datang membawakan minuman keheranan.


"Tapi, Mas. Tidakkah kamu menginginkan syurga? Bukankah hal ini adalah
salah satu jalan menuju syurga yang dijanjikanNya?" kata Ajeng di tengah
isakannya.


Sekar mendengus perlahan. Piawai sekali Ajeng memainkan perkataan. Setelah
apa yang dilakukannya, bagaimana bisa perempuan itu bicara tentang syurga?


"Salah satu kan, kamu bilang? Berarti masih ada cara lainnya. Benar mungkin
jalan ini bisa menuntun seseorang menuju pintu syurga, tapi aku lebih
memilih melalui jalan lainnya."


Hadi kembali menatap Sekar, mengedipkan mata kanannya, berusaha
menyampaikan pesan padanya agar ia tenang saja. Hadi tahu sekar tak tenang,
sebab Hadi jelas meraskaan jemari Sekar yang digenggamnya mendadak terasa
dingin dan gemetar.


Ajeng menundukkan kepalanya, meratapi nasibnya. Ia nelangsa.


"Lagipula, Jeng, bagaimana mungkin aku berharap syurga jika di waktu yang
sama, ada seseorang yang hancur, lantaran tak ridha miliknya kamu miliki juga."


Kini giliran Sekar yang menatap Hadi. Sungguh, kalimat yang baru saja
teruntai dari bibir Hadi membuatnya melayang tinggi, di antara
dandelion-dandelion yang beterbangan diterpa angin musim semi.


Ajeng semakin tenggelam dalam tangisan, hatinya betul-betul hancur berantakan.


"Apa menurutmu syurga bisa diraih dengan cara kita berjalan sambil menabur
garam di atas luka orang lain yang menganga? Aku kira tidak, Jeng."


Hadi masih terus melanjutkan perkataannya. Sejujurnya Ajeng ingin berteriak
agar Hadi menyudahinya. Ia tak sanggup mendengarnya lebih lama.


"Tapi aku mencintaimu, Mas," isaknya, terbata. Hadi menggelengkan kepalanya.


"Bukan, Jeng. Kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya sedang diselimuti nafsu,"
kata Hadi.


"Mungkin benar kamu pernah mencintaiku. Sayangnya, cintamu telah menjelma
menjadi nafsu. Cinta itu seharusnya membawa kita pada kebaikan, bukan pada
kemaksiatan. Yang kamu lakukan selama ini? Tanpa malu menggangguku, tanpa
ragu mengirimkan pesan-pesan cinta untukku, kamu kira itu cinta? Tidak,
Jeng. Sekali lagi, itu nafsu, sehingga kamu menghalalkan segala cara untuk
meraihku, tanpa peduli pada sosok di sebelahku yang tiap hari berlinang
airmata karena ulahmu," imbuh Hadi, membuat isakan Ajeng semakin menjadi-jadi.


"Renungkan perkataanku. Saatnya kamu bangkit dan melukis bahagiamu. Jangan
lagi menghancurkan diri seperti ini. Ini bukan Ajeng yang kukenal selama
ini." Hadi menutup kalimatnya, dengan mencium tangan Sekar yang sedari tadi
masih digenggamnya.


"Ini, minumlah. Tenangkan dirimu, kami berdua pamit dulu," kata Hadi sambil
menyodorkan segelas minuman, lalu berlalu, meninggalkan Ajeng yang kian pilu.


"Aku benci kamu, aku benci kamu!"


Ajeng meracau di tengah isakannya, cukup keras hingga membuat Sekar hampir
mengentikan langkahnya. Namun Hadi menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan
pada Sekar untuk tak mempedulikannya, untuk tetap melangkahkan kakinya.


Sekar menuruti suaminya, lalu kembali berjalan, berdampingan.


"Terimakasih, Mas," ucapnya pelan.


(Bersambung)




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar