4.18.2019

@bende mataram@ Bagian 33




@bende mataram@
Bagian 33


Si pemuda nampak merenung. Hatinya tak tenteram, memikirkan perusuh yang
memasuki istana kepatihan. Dia tak dapat menebak siapa orang itu. Kalau
tadi mengira salah seorang kawanan rombongan penari, hanyalah karena
pikiran selintas yang berkelebat dalam benaknya. Lambat-laun setelah
dipikirkan bolak-balik hatinya jadi bimbang.


Tak lama kemudian perjalanan sampai ke kota. Itulah kota Yogyakarta.


"Nyonya, di sini banyak orang menjual pakaian," kata Pangeran Bumi Gede.
"Kita cari penginapan dulu, lalu beli dua atau tiga perangkat pakaian.
Pakaian Nyonya kelihatan banyak debunya. Juga pakaian Sanjaya. Alangkah
enak dipandang mata sekiranya Nyonya mengenakan pakaian baru."


Sapartinah memeriksa pakaiannya. Benar, pakaiannya kelihatan berdebu dan
usang. Tetapi masa dia harus menerima pakaian pemberian orang. Ia ingin
menolak, tiba-tiba si pemuda berkata lagi.


"Keadaan di kota jauh berlainan dengan di desa. Orang harus pandai merawat
diri. Wajah seperti Nyonya, kuranglah pantas jika hanya mengenakan pakaian
bahan murahan. Bukankah itu berarti menyia-nyiakan karunia Tuhan?"


Sapartinah terkejut mendengar ucapan itu. Tapi diam-diam ia senang mendapat
pujian tentang kecantikannya. Ia menundukkan kepala. Kemudian mengerling
kepada si pemuda hati-hati. Ingin ia menyelidiki arah ucapan si pemuda.
Tetapi ia tak mendapatkan kesan lain yang mencurigakan. Si pemuda
benar-benar berkata dengan setulus hati. Karena kesan itulah ia menjadi tak
enak sendiri, terus mencurigai kawan seperjalanan.


"Kudengar tadi kau seorang Pangeran," ia mengalihkan pembicaraan. "Tak
pantas aku berjalan bersama seorang pangeran. Biarlah kami ditinggalkan di
sini. Karena aku bisa mencari penghidupan dalam kota ini."


"Eh, apa kata Nyonya?" si pemuda kaget. "Kenapa Nyonya bisa mempunyai
pikiran begitu. Apa Nyonya ingin melupakan dendam suami Nyonya." Diingatkan
perkara suaminya, Sapartinah jadi lemah hati dan berkata menyerah.


"Aku seorang perempuan. Apa dayaku mau membalaskan dendam. Kurasa lebih
baik aku memusatkan diri kepada ajaran dan pendidikan Sanjaya sebagai balas
budi."


"Itupun pendirian mulia. Tetapi bagaimana Nyonya sampai hati menyiksa arwah
suami Nyonya di alam baka."


"Mengapa aku menyiksa dia?" Sapartinah terkejut.


"Kita belum membalaskan dendamnya," jawab si pemuda.


"Karena itu berilah kesempatan padaku, untuk membalaskan dendamnya atas
nama Nyonya. Sekali pukul aku telah menebus dua nyawa sekaligus."


Mendengar alasan si pemuda masuk akal, Sapartinah kian tunduk. Air matanya
berlinang untuk sesuatu perasaan tanpa alamat. Mendadak terdengarlah
Sanjaya berseru-seru heran. Dengan menuding-nuding ia menyatakan rasa
herannya melihat pemandangan yang baru dilihatnya pertama kali. "Bu! Apa itu?"


Sapartinah sendiri baru untuk pertama kali memasuki kota Yogyakarta. Banyak
peman¬dangan baru yang masih asing baginya. Ia tak pandai menerangkan. Maka
si pemuda menolong menerangkan keheranan si bocah dengan lancar dan
cekatan. Sikapnya tak beda seperti kata-kata seorang ayah belaka. Kesan itu
meluluhkan hati Sapartinah. Dia bersikap sopan kepadaku. Ternyata sayang
juga kepada Sanjaya, baiklah aku ber¬sikap mengimbangi. Apa salahnya aku
ber¬sikap demikian terhadap seorang pangeran. pikir Sapartinah.


Pada jaman itu penduduk memandang sangat tinggi martabat orang-orang
ningrat. Kalau ditimbang-timbang adalah suatu kebetulan belaka Sapartinah
dapat berjalan berjajar dengan si pemuda. Sekiranya tidak ada peristiwa
pusaka sakti, sekiranya wajah Sapar¬tinah tidak cantik manis, sekiranya si
pemuda tidak tertambat hatinya untuk melihatnya yang pertama kali, takkan
mungkin terjadi pergaulan sebebas itu.


Maka tatkala mereka menginap di sebuah penginapan mahal, Sapartinah
diperlakukan sebagai isteri seorang ningrat. la mendapat
pelayanan-pelayanan luar biasa buat ukurannya. Maklumlah, semenjak bayi ia
dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi dewasa dan bersuamikan seorang
penduduk biasa yang memilih hidup sebagai petani. Ia biasa bekerja sendiri
tanpa seorang pembantu pun.


Tak heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun
otaknya sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu
memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah
masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu
menggugah dan mengingatkan hatinya kepa¬da suaminya yang sangat
mencintainya. Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara
tiba-tiba direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada
suaminya, berpura-puralah dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia
menangis sedih sekali.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar