4.29.2019

@bende mataram@ Bagian 35




@bende mataram@
Bagian 35


TUJUH tahun lewatlah sudah—tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari,
di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat
belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih
dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji
—anak Rukmini dan Made Tantre.


Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi
menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta
bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya.
Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya,
ia tak akan ragu lagi untuk maju.


Dua minggu lamanya dia hidup tak berke-tentuan. Tidurnya di teritisan rumah
dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih
dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas
itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.


Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu
senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya,
kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa
pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlintas dalam
pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di desanya.


Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji
dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia,
segera Sangaji dipeluknya makin erat.


Tampak seorang laki-laki keluar pintu dengan berjalan tertatih-tatih.
Melihat Rukmini dan


Sangaji orang itu menegur, "Siapa kalian?"


Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam
bahasa Jawa. "Kula tiyang kesrakat )."


Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu ).
Ia mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini
terpaksa mengisahkan riwayaj: perjalanannya.


"Masyaallah ... di dunia ini kenapa ada kejadian begitu," haji itu mengeluh
dalam. "Mengapa di Jawa-pun ada peristiwa semacam pembakaran kampung Cina )!"


Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia seorang yang berhati baik. Mendengar
riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini
masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu
Rukmini ikut padanya.


Dua tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan
jumlah-nya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris, la
kini sudah dapat menye-suaikan diri dengan kampung halamannya yang baru.
Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri, la menyewa sebuah rumah
sederhana. Kemudian membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa.
Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini.
Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan
hidupnya timbul tenggelam tak menentu, la tetap gigih sampai lima tahun
lagi lewat tanpa suara.


Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik.
Gerak-gerik-nya cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang
serba cepat. Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli
kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan ).


Pada hari itu ia lagi iseng, la dolan keluar kota dengan membawa katapel36)
dan pan-cing. Kalau aku bisa membawa pulang beberapa ekor burung dan ikan,
alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji.


Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke
kali. Tat-kala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar
semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya terowongan itu.
la berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan?—pikirnya. Atau
sarang kura-kura?


Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap
kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking
terompet. Lantas suara gen-derang, disusul tembakan-tembakan senapan.


Sangaji terperanjat, la lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya
melihat ke jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah
suatu pasukan kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung.
Hanya kepala pasukan itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan
perintah. Pasukan itu lantas terpecah menjadi dua bagian—ke timur dan ke
barat. Yang mengarah ke timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang
mengarah ke barat berpakaian hitam lekam.


Sangaji tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena
serdadu-serdadu kerap-kali melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan
terus mengintai.


Tak lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur
rapi. Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian
beberapa barisan lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak
kegemuk-gemukan. Perwira itu berpakaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu
putih sebagai penutup leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.


Barisan yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka
menunggu. Begitu pasukan yang datang dari arah selatan tiba, mereka
menyerbu dengan cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi ).


Pihak penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri.
Meskipun berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi
dari arah belakang, datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga
pasukan besar. Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka
berimbang. Masing-masing pantang menyerah.


Sekonyong-konyong terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali.
Mereka menyerang kemudian berteriak-teriak nyaring. "Barisan menyibak!
Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst datang!"


Mendengar teriakan itu, seluruh pertempuran berhenti dengan tiba-tiba.
Mereka meng-alihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan
besar yang datang de-ngan perlahan-lahan.


Sangaji ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat
berwibawa. Nampak pula sehelai bendera raksasa berwarna merahputih-biru
berkibar-kibar ditiup angin. Lantas terdengar suara teriakan nyaring,
"Serang! Gubernur Jenderal berkenan menyaksikan!


Mendengar teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu.
Pertempuran sengit berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup
penglihatan. Pasukan penyerang kali ini nampak bersemangat. Mereka tak
kenal takut lagi. Dengan semangat bertempur itu, mereka dapat mengacaukan
lawannya.


Panji-panji raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah
gundukan tinggi. Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke
atas gundukan. Di sana ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk
tenang-tenang di atas pelana kudanya. Perwira itu mengenakan pakaian baju
perang yang dilapisi perisai. Kain lehernya ditebali oleh seg-ulung kain
putih. Lengan pergelangan tangan dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada
pinggangnya tergantung seleret pedang panjang, la menumpahkan seluruh
perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disamping-nya berdiri dua regu
kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.


Tak lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang
dipukul mundur. Perwira berkain leher putih


yang memimpin serangan memutar kudanya dan lari mendaki bukit. Ia meloncat
dari kudanya dan berteriak nyaring kepada Gubernur Jenderal Vuyst.


"Musuh tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan )."
Gubernur Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.


"Bawalah dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus
pasukan berkuda pimpinan Kapten DoOrslag, suruhlah melarikan diri ke arah
barat. Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau
mendengar bunyi tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng."
Katanya memberi perintah.


Perwira muda itu lantas saja mengundurkan diri. Ia mencari Kapten Doorslag
dan menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu
keributan. Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar
seolah-olah kalah perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak
gemuruh.


Dengan pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke
gundukan tinggi di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan
pengawal Gubernur Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan
diri dengan dipimpin Mayor de Groote.


"Lindungi Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!" perintahnya garang.


Pertempuran kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai
tujuan. Pedang, golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa
pembunuhan mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.


Sangaji tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut
berkebat-kebit. Ia melihat


suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya
menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang
tentu pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan
dan bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian
menubras-nubras sejadi-jadinya.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar