4.15.2019

@bende mataram@ Bagian 31




@bende mataram@
Bagian 31


"Karena Nyonya termasuk keluarga mereka yang menyembunyikan pusaka."


"Kamu pun ingin merebut pusaka itu."


"Hm," si pemuda menyenak. "Apa untungnya mempunyai pusaka itu?"


Terasa dalam hati nurani Sapartinah, kalau si pemuda berbohong sejak tadi.
Tetapi kata-katanya manis dan enak didengar. Selain itu bisa menyejukkan
hatinya.


Si pemuda meninggalkan kamar. Mau tak mau Sapartinah membangunkan anaknya.
Hati-hati ia membimbing anaknya keluar kamar. Di depan pintu dua orang
perempuan menyambutnya dengan sangat hormat. Mereka menunjukkan kamar mandi
yang terbuat dari dinding keropos. Kamar mandi itu berada di samping rumah.


Sapartinah membasuh mukanya. Tak ingin dia mandi seolah-olah begitulah cara
dia menyatakan duka-cita atas kematian suaminya. Sanjaya pun tak dimandikan
pula.


Di luar rumah, si pemuda meninggalkan beberapa keping uang perak kepada
pemilik rumah. Dua ekor kuda telah tersedia. Sapartinah dan Sanjaya datang
dengan pandang berteka-teki. Si pemuda menyambut kedatangannya dengan
ramah. la menghampiri Sanjaya. Kedua tangannya diulurkan. Entah bagaimana,
Sanjaya tiba-tiba maju mendekati. Segera ia dipondong.


Sapartinah hendak mencegah, tetapi si pemuda membisiki."Maafkan aku Nyonya
... dengan Iancang terpaksa aku mengakui Nyonya isteriku dan dia ..."


Sapartinah berubah wajahnya menjadi merah jambu. Untung, pemilik rumah
menduga lain. Ia menduga mereka berdua lagi membisikkan kata-kata bercumbu.


Dengan penuh kasih si pemuda menolong menaikkan Sapartinah di atas pelana.
Kemudian ia sendiri bersama Sanjaya naik ke atas kuda lainnya. Begitulah,
maka mereka meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan Sapartinah mulai
menebak-nebak diri si pemuda. Pikirnya, Orang ini dihormati penduduk
sepanjang jalan. Siapa dia?


Sapartinah tak tahu, kalau uang dapat pula menjunjung derajat dan martabat.
Tetapi, memang penduduk yang bersua dengan si pemuda lantas saja pada
menyibak. Yang mengenakan caping di atas kepala, buru-buru membuka sambil
mengangguk.


"Sebenarnya, ke mana aku mau kaubawa?" tanya Sapartinah.


"Yang penting sekarang, kita membebaskan diri dari incaran kawanan
bangsat," jawab si pemuda. "Kalau keadaan sudah tenang kembali,
perlahan-perlahan kita cari jenazah suamimu. Kemudian aku akan mencari
sarang kawanan bangsat itu, untuk menuntut dendam. Hm ... coba kalau tidak
ada mereka, tak bakal aku salah duga sehingga harus berbuat jahat kepada
seorang sahabat Nyonya."


Sapartinah lemah hatinya. Ia rada genit, karena itu gampang tertarik oleh
kata-kata mesra. Lagi pula hati dan otaknya sederhana. Tak dapat ia
menduga-duga seseorang lebih mendalam. Sekarang mendengar omongan si pemuda
yang beralasan ia malahan bersyukur dalam hati.


"Sanjaya! Cepatlah menjadi dewasa," katanya kepada anaknya. "Kemudian kita
berdua membalas budi, eh ..."


"Membalas budi?" potong si pemuda gembira. Matanya berkilat-kilat. "Akulah
yang berhutang kepada Nyonya"


"Tidak," sahut Sapartinah. "Kalau kupikir-pikir, kamu tak bersalah pada
keluargaku. Tentang pembunuhan itu ... barangkali tiap orang bisa berlaku
demikian, jika terjadi salah duga."


Si pemuda bersyukur dalam hati. Tetapi ia licin. Segera menyembunyikan
perasaan itu dengan kata-kata seperti merasa bersalah.


"Nyonya! Mulai sekarang kuserahkan seluruh tubuhku kepada Nyonya. Meskipun
aku hancur lebur, takkan aku menyesal. Aku akan selalu menyertai Nyonya ke
mana Nyonya pergi. Aku akan selalu tunduk dan patuh pada semua kata-kata
Nyonya."


Dua hari mereka berjalan. Pada suatu sore mereka berada di atas jalan
besar. Tujuan mereka mengarah ke selatan. Selama itu si pemuda selalu
mengaku suami Sapartinah bila sedang menginap di rumah orang.


Diam-diam hati Sapartinah mulai tenteram. Meskipun demikian ia selalu
berwaspada. Senjata si pemuda yang berupa tongkat selalu diawasi. Tekadnya,
bila si pemuda kurang ajar terhadapnya, ia akan merebut senjata itu, ia
akan menyerangnya atau bunuh diri. Tetapi si pemuda bersikap sopan-santun.


Tata-susilanya tak tercela. Inilah suatu kelicinan yang lembut. Sapartinah
tak pandai meraba lebih dalam.
Pemandangan seberang menyeberang sangat indah. Tetanaman ladang hijau
meriah. Melihat tetanaman itu Sapartinah teringat suaminya. Ia lantas berduka.


Mendadak di kejauhan tampaklah debu mengepul tebal di udara. Sepasukan kuda
mendatangi sangat cepat. Pemimpinnya yang berada di depan berteriak-teriak
nyaring.


Sapartinah ketakutan. Tubuhnya lantas saja menggigil. Kesan malapetaka yang
menimpa ketenteraman rumah tangganya mengamuk dalam dirinya. Tanpa sadar,
ia lantas menjajari kuda si pemuda.


Si pemuda nampak tenang-tenang. Wajahnya tidak berubah. Pandangnya tajam ke
depan. Dahinya yang lebar menggerenyit sedikit. Ia seperti berpikir, tetapi
mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun. Pasukan kuda dengan cepat telah
berada di depan mereka. Serentak kuda-kuda lari berpencaran dan mengepung.
Sapartinah takut bukan main. la menoleh kepada si pemuda mencari kesan.
Tetapi si pemuda tetap tenang. la bahkan menjejak perut kudanya dan beriari
maju.


"Siapa pemimpinmu!" serunya nyaring.


Sapartinah heran melihat keberaniannya. Diam-diam perhatiannya terhadap si
pemuda bertambah baik.
Pada waktu itu perjalanan mereka mencapai batas kerajaan Yogyakarta.
Pasukan berkuda itu adalah pasukan pengiring raja dari Yogyakarta.
Begitulah tatkala mereka mendengar seruan si pemuda sekonyong-konyong
terjadilah suatu perubahan. Kuda-kuda beriari berputaran. Salah seorang
yang berkuda di antara mereka lantas menghampiri.


"Siapa yang berani kurang ajar ini? Apa kau termasuk kawanan perusuh?"
bentaknya.


"Kawanan perusuh macam apa?" si pemuda heran. "Kamu dari pasukan mana?"


"Kami dari pasukan raja, sedang mengejar beberapa kawanan perusuh penentang
raja ."


"Hm." Si pemuda memotong. Sambil menegakkan tubuh, "Sekarang tebak, siapa aku?"


"Jangan kau berteka-teki. Siapa sudi mendengarkan omonganmu."


"Keparat! Kamu mengaku pasukan pengawal dari raja. Kelompok mana? Kelompok
Pangeran Natakusuma atau Ratu Kencono Wulan. Bilang!"


"Bangsat!" maki orang itu. Pandangnya mencurigai si pemuda. "Pasti kamu
tadi yang memasuki istana kepatihan."


Si pemuda kini menjadi kaget. Pandangnya berubah. la merogoh sesuatu benda.
Sambil memperlihatkan benda itu, "Kau bisa membaca, tidak? ... kau bisa
mengenal tanda ini tidak?"


Mendadak setelah melihat benda itu, orang itu lantas saja meloncat dari
kudanya. Dia terus bersujud. Tubuhnya agak gemetaran.


"Maaf. Hamba kira siapa. Kiranya Pangeran Bumi Gede."


Sapartinah yang menyaksikan peristiwa itu dari jauh, terguncang hatinya.
Apa artinya ini semua? Selama dalam perjalanan, ia ragu pada si pemuda yang
masih asing baginya. Kalau ia ikut serta, semata-mata karena merasa diri
ti¬dak berteman dan berkeluarga lagi. Mau ke mana? Ia merasa diri menjadi
seorang janda kini. Rasanya tabu mengikuti seorang pemuda. Tetapi di luar
dugaan, sikap pemuda itu lembut dan berkesan keningrat-ningratan.


Mendadak sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan, bagaimana
pemimpin pasukan berkuda itu lantas saja meloncat dari kudanya dan bersujud.


Terdengar kemudian orang itu berseru nyaring, "Semuanya turun! Pangeran
Bumi Gede!"


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar