4.07.2019

@bende mataram@ Bagian 24




@bende mataram@
Bagian 24


"Tapi kalian harus menerima keputusan setiap kata-kataku. Itulah
celakanya!" Hajar Karangpandan kemudian tertawa senang. "Sekarang, aku
menantang kalian berdua berkelahi sampai mampus."


"Bagus!" potong Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.


"Nanti dulu, dengarkan!" teriak Hajar Ka rangpandan. "Aku belum habis
bicara. Perkelahian sampai mati itu harus dilakukan dalam jangka panjang."


"Apa kita berkelahi mengadu racun?" Wirapati tak sabar.


"Racun cuma bisa bertahan paling lama dua bulan," jawab Hajar Karangpandan.
"Sebaliknya aku menghendaki masa lebih lama lagi. Yakni, selama dua belas
tahun."


"Gila!" jerit Jaga Saradenta sambil membanting tangan. "Aku sudah berumur
tujuh puluhan tahun. Belum pernah kudengar orang berkelahi sampai mati
dalam waktu dua belas tahun. Barangkali cuma dongeng belaka. Cerita
Bharatayuda dalam wayang purwapun cuma 18 hah. Ini syarat edan! Syarat
gendeng! Syarat gila!"


"Ah, kalau begitu kalian ini kesatria-kesatria kosong mlompong." Hajar
Karangpandan membakar hati. "Tak sudi lagi aku bicara."


Dibakar demikian, Jaga Saradenta lantas saja meledak. "Bangsat! Kau tak
usah memancing kemarahanku. Cepat katakan, apa maumu!"


"Bagus!" puji Hajar Karangpandan. "Kita ini bangsa kesatria sejati, bukan
kesatria kampungan. Kalau kita bertaruh, masakan bertaruh gampang-gampangan
seperti anak anak kampung. Sekali kita ingin mendaki gunung, pilihlah
gunung yang tertinggi di dunia. Sekiranya kita terpeleset mampus ke dalam
jurang, nama kita sedikit bisa diagungkan orang-orang. Hai, apa pendapatmu
anak muda?"


Wirapati yang semenjak tadi diam, kaget mendapat pertanyaan itu. Sebagai
anak muda, memang ia tertarik dengan omongan Hajar Karangpandan yang penuh
teka-teki. Hatinya sedang menduga-duga tentang perkelahian sampai mati
dalam jangka dua belas tahun. Karena pertanyaan mendadak itu, ia mengangguk
kosong.


"Ah, inilah calon kesatria jempolan," kata Hajar Karangpandan
sungguh-sungguh. "Sekarang dengarkan baik-baik. Telinga harus kalian
lebarkan benar. Jangan sampai kalian kehilangan tiap patah kata. Kalian
akan rugi sendiri. Karena kata-kataku ini kelak akan menentukan di kemudian
hari."


"Monyet, cepatlah!" potong Jaga Saradenta tak sabar. Ia terbatuk-batuk
kecil dan menyemburkan segumpal darah. Hajar Karangpandan merenungi,
kemudian katanya, "Kita sudah berjanji akan bertempur sampai mati dalam
jangka dua belas tahun. Adapun corak pertempuran itu begini. Kita mengadu
kepandaian sejati. Yang kumaksudkan kepandaian sejati, bukan mengadu tinju
dan tendangan. Bahkan bergerak sedikitpun tabu. Mengadu tinju dan
tendangan, mengadu kekebalan kulit dan senjata tajam itu perbuatan gampang.
Kalau hanya begitu semua orang yang berilmu sekarang ini pasti bisa
melakukannya."


"Lantas!" Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga-nganga.


"Kita bertiga ini, setidak-tidaknya termasuk manusia-manusia yang bisa
malang-melintang di seluruh jagad tanpa halangan dan rintangan. Marilah
kita mencukil sejarah yang lain daripada anak-anak yang bakal dilahirkan."


"Kaubilang, kita bakal bertempur sampai mati, apa maksudmu?" potong Jaga
Sara¬denta.


"Untuk mengambil keputusan, siapa di antara kita yang menang."


"Tapi kaubilang, kita tak boleh menggunakan tangan, kaki, kekebalan kulit
dan senjata. Lantas apa yang kau mau?" Wirapati menyahut.


Hajar Karangpandan membusungkan dada. Dengan bersikap agung ia menjawab,
"Aku akan melawan kalian berdua. Dalam jangka dua belas tahun, kita akan
memutuskan siapakah yang menang. Tetapi kecuali mengadu kepandaian, kita
mengadu pula kesabaran dan akal budi."


Wirapati yang tadi bersikap tenang, mendadak kehilangan kesabaran. Lantas
saja mendamprat.


"Apa kita mengadu mulut? Atau mengadu betah-betahan bertapa? Atau mengadu
membuat jimat-jimat sakti? Atau mengadu membuat obat dan racun untuk dapat
menghidupkan kedua sahabatmu itu? Baiklah, aku menyerah.


"Bukan! Bukan!" sahut Hajar Karangpandan seraya tertawa riuh.


"Lantas?" sambung Jaga Saradenta. "Apa kauingin kita mengadu mencuri ayam,
mencopet atau menculik perempuan?"


"Bukan! Bukan!" tertawa Hajar Karang¬pandan kian meriuh.


"Cepat katakan! Jangan berputar tak keruan juntrungannya!" bentak Jaga
Saradenta mendongkol.


"Baiklah kukatakan," akhirnya Hajar Ka¬rangpandan berkata perlahan. "Kalau
kita berputar kembali mengapa kita sampai berkelahi ini adalah semata-mata
urusan berbuat suatu kebajikan kepada dua orang sahabatku. Kalian tahu,
anak-isteri yang dibawa lari Kodrat itu kukira anak isteri Made Tantre.
Sebab mereka berdua dilarikan setelah gerombolan bangsat Banyumas menyerbu
rumah. Bukankah begitu, anak muda."


Wirapati mengingat-ingat.
"Si pemuda jempolan itu menyambar seorang perempuan yang berdiri memipit
dinding. Sedangkan isteri sahabatmu yang mati, kulihat jatuh pingsan di
sampingnya. Akulah yang mendorongnya agak menjauh, tatkala hendak memeluk
mayat suaminya."


"Tepat dugaanku," Hajar Karangpandan berlega hati. "Kalian berdua sudah
pernah melihat juga. Dan siapa yang membawanya lari, telah diketahui pula
oleh Gelondong Jaga Saradenta."


"Betul. Kemenakanku yang membawanya la¬ri," kata Jaga Saradenta. "Tetapi
kalau kau bilang aku kenal betul raut mukanya, masih kurang tepat. Aku
hanya melihat dia selintas saja."


"Tetapi sekutumu anak muda ini, cukup lama mengenal raut mukanya. Jadi
kuanggap kalian berdua sudah mengenal baik-baik. Sebaliknya meskipun aku
baru mengenal muka isteri Wayan Suage selintasan pula, kuanggap diriku
telah mengenal baik-baik juga. Nah, kita berlaku adil. Kalian harus tahu,
kalau aku bersahabat dengan mereka berdua baru berlangsung kemarin sore
dalam waktu beberapa jam saja."


Wirapati dan Jaga Saradenta saling memandang. Sama sekali mereka berdua tak
menduga, persahabatan Hajar Karangpandan itu baru berjalan seperempat hari.
Melihat dan menyaksikan sepak terjangnya, mereka lantas saja menghargai
keluhuran budinya. Sekarang, mana bisa mereka mengalah dalam soal keluhuran
budi? Maka dengan diam-diam, mereka sudah mulai mengadu panggilan keluhuran
budi.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar