4.06.2019

๐Ÿˆ๐Ÿ‰⚽๐ŸŽฝ CANTING PART 13




๐Ÿˆ๐Ÿ‰⚽๐ŸŽฝ


CANTING PART 13


Dusun Mangli, Kaliangkrik, Magelang.


Pukul 8 pagi, Hadi sudah sampai di kampung halaman istri yang begitu ia
cintai, sebuah dusun kecil yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Hadi
memang pernah ke tempat ini sebelumnya, saat lamaran resmi untuk meminang
kekasih hatinya. Tapi ia tetap berdecak penuh kekaguman, ia bagai berada di
negeri atas awan. Indah sekali.


"Yuk, Mas," ajak Sekar sambil menjinjing tas berisi oleh-oleh untuk simbok
dan tetangga.


Hadi merapatkan jaketnya dan menggendong ranselnya. Cuaca yang mendung
membuat dinginnya hawa terasa menusuk tulangnya.


"Nderek, nggih, Bude," kata Sekar pada salah satu tetangganya, karena mobil
Hadi terparkir di sana. Rumah Sekar berada di ujung, paling atas sendiri
sehingga tidak memungkinkan kendaraan roda 4 untuk naik ke sana.


"Mas kuat, kan, naik ke sana? Kan belum sarapan," katanya lagi.


"Ngece. Kuat, lah. Sambil gendong kamu juga kuat. Mau aku gendong?" jawab
Hadi, sambil mengerling manja. Sekar mecucu dan menghadiahkan sebuah
cubitan di perut suaminya.


Beberapa penduduk tampak bersiap ke ladang mereka. Berada di ketinggian
kurang lebih 1.700an mdpl, sebagian besar wilayah di Mangli memang
digunakan sebagai pertanian sayuran. Padi dan pohon kelapa sudah tidak bisa
ditemui di tempat setinggi ini.


Desa yang memang merupakan desa wisata ini mempunyai slogan yang sama
dengan nama desanya, yaitu MANGLI. M berarti menakjubkan alamnya, A berarti
aduhai indahnya, N berarti ngangeni suasananya, G berarti guyup rukun
masyarakatnya, L berarti luar biasa budayanya, dan I yang berarti ingin
kembali selalu.


Begitu pula yang dirasakan oleh Hadi sejak pertama ia menginjakkan kaki di
tempat ini. Syurga tersembunyi, begitu ia menyebutnya. Cukup susah memang
untuk menuju kesana, tapi sebanding dengan keindahan yang mempesona, mulai
dari hamparan hijau, lahan berbukitan yang dihiasi petak-petak ladang,
gardu pandang, kebun strawberry, juga icon tulisan Mangli layaknya tulisan
hollywood yang berdiri tegak di perkebunan warga.


Ia melirik sosok yang berjalan di sebelahnya. Seperti halnya Mangli,
baginya, Sekar juga merupakan keindahan yang tersembunyi. Tak banyak orang
yang bisa melihat keindahannya yang tertutup label rewang. Tapi Hadi
berhasil menyibaknya, merasakan sendiri bahwa Sekar memang istimewa. Susah
juga untuk Hadi dulu meraih dan meyakinkannya, namun semuanya terbayar
dengan gelak bahagia yang ia rasa selama satu purnama mereka merajut cinta
bersama.


"Ana montor apik, ana montor apik."


Hadi menoleh ke bawah. Beberapa anak kecil tengah mengerubuti mobilnya
sambil bersorak sorai. Beberapa tangan mungil mengelus-elus mobil berwarna
merah itu. Menggemaskan sekali.


Keduanya mencium takzim tangan keriput simbok yang menyambutnya di depan
pintu. Sekar sudah mengirimkan pesan pada Lik Yati, tetangga sebelah
rumahnya bahwa ia dan Hadi akan datang pagi ini karena simbok tidak piawai
menggunakan ponsel.


"Ayo ayo sarapan. Simbok sudah buatkan pepes ikan, dan brongkos tempe
kesukaan Nak Hadi."


Lalu keduanya mengekor di belakang simbok, memasuki rumah sederhana yang
masih berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah itu.


Ah, Sekar juga sangat merindukan tempat ini, meski sejak usia 7 tahun ia
bersama simbok tinggal di Yogyakarta dan hanya mengunjungi tempat ini saat
lebaran atau saat bapak pulang dari perantauan.


"Bapak kemana, Mbok?" tanya Sekar, setelah meletakkan tas jinjingnya.
Sejujurnya, ia merindukannya meski bapak tak pernah menunjukkan kasih
sayang yang semestinya seorang ayah berikan pada putrinya.


"Simbok ndak tahu. Dari Subuh tadi Bapakmu sudah keluar. Nanti juga
pulang," jawab simbok sembari jemarinya terampil menyiapkan makanan.


"Nginep, kan?" sambung Simbok lagi.


"Enggak."
"Iya."


Sekar dan Hadi menjawab bersamaan. Sekar menjawab tidak, Hadi menjawab iya.
Simbok bingung mendengarnya.


"Jadi, nginep apa ndak?" tanya simbok memastikan.


Sekar menatap suaminya. Semalam ia sudah bilang bahwa ia ingin langsung
kembali ke Yogyakarta. Bukan apa-apa. Ia memang sangat merindukan simbok,
ia ingin sekali mencurahkan kegelisahan dan mendengarkan wejangannya. Hanya
saja... bagaimana jika Hadi tidak kerasan di rumahnya? Bagaimana jika Hadi
tidak nyaman tidur di ranjang reyotnya? Bagaimana jika Hadi terganggu asap
dari dapur yang menyeruak ke seisi rumah tiap kali simbok memasak karena
simbok masih memakai tungku dari tanah liat dan bukan kompor?


Jadi ia memutuskan untuk tidak menginap. Beberapa jam saja bertemu simbok,
itu sudah cukup membuat kegelisahannya sedikit sirna.


"Nginep kok, Mbok. Kami nginep," kata Hadi sambil menyuapkan sesendok nasi
ke mulutnya.


Sekar mendelik.


"Mas Hadi sibuk, Mbok. Banyak pekerjaan. Jadi kami tidak bisa menginap,"
kata Sekar sambil melirik tajam pada Hadi. Hadi tidak peduli.


"Aku sudah membereskan semua pekerjaanku, kok," katanya, sambil mengunyah
makanannya.


"Tapi kita tidak membawa baju ganti, Mas. Jadi kita sebaiknya pulang sore
ini." Sekar masih kekeuh.


Hadi mengentikan aktifitas makannya, berdiri mengambil ranselnya, dan
diberikannya ransel itu pada Sekar.


"Nih, aku sudah membawa baju ganti untuk kita berdua," kata Hadi kalem,
lalu kembali duduk dan melanjutkan makannya.


Sekar mbesengut. Simbok terkekeh melihat tingkah keduanya.


"Ih, Mas!" sungutnya kemudian.


Hadi bergeming, tetap sibuk dengan makanannya dengan mata kanan yang
sengaja ia kedipkan dengan manja untuk istrinya. Sekar semakin gemas dibuatnya.


**********


"Kenapa kamu ngotot tidak mau menginap, hmm?" tanya Hadi pada Sekar yang
sedang sibuk mengganti sprei.


"Kamu ini aneh. Katanya kangen simbok, tapi tidak mau menginap. Ada apa
sebenarnya? Cerita sama masmu."


Hadi beringsut. Kini kedua lengannya sudah melingkar di pinggang Sekar.
Kepalanya bersandar di punggung istrinya yang masih sibuk menata kasurnya.


"Coba lihat kamar ini, Mas," pinta Sekar. Hadi mengedarkan pandangan.


"Iya, so?"


Sekar mendesah.


"Memangnya Mas Hadi nyaman tidur di kamar seperti ini? Lantai tanah,
ranjang reyot, atap yang tidak ada langit-langitnya. Bandingkan dengan
kamar Mas. Aku hanya takut Mas Hadi tidak nyaman dengan ini semua. Maaf ya,
Mas. Rumah kami begitu sederhana," jelas Sekar yang kini sudah berdiri
tegak. Ia tetap membiarkan Hadi memeluk dan meletakkan kepala di atas
punggungnya.


Sejenak hening.


Perlahan, Hadi membalikkan tubuh Sekar hingga kini keduanya berhadapan.


"Bagaimana aku bisa merasa tidak nyaman jika ada kamu yang menemaniku?"
katanya, sembari memberikan tatapan mesra.


"Gombal," balas Sekar.


"Aku serius. Dengarkan aku. Mau di manapun aku berada, asal bersamamu, aku
akan merasa nyaman-nyaman saja. Tapi di tempat sebagus apapun, aku tidak
akan merasa nyaman tanpa dirimu menemaniku," jelasnya sembari membelai
rambut Sekar.


"Benar Mas Hadi tidak apa-apa menginap di rumah sederhana ini?" Sekar
kembali memastikan.


"Tentu saja. Kenapa tidak? Kamu pasti sangat mencintaiku sampai begitu
memikirkan nyaman tidaknya aku."


Sekar menunduk malu. Benar, Hadi benar. Rasa cintanya untuk Hadi memang
tengah tumbuh begitu besar.


"Terimakasih, Sayang. Aku hargai itu sebagai salah satu bentuk cintamu,"
kata Hadi sebelum mendaratkan sebuah kecupan mesra.


"Masjid dekat sini, kan?" tanya Hadi kemudian, setelah terdengar suara
adzan. Sekar mengangguk.


Dan saat kemudian Hadi berjalan menuju masjid Al Kautsar, masjid di dusun
tersebut, tetangga dan para gadis berbisik semua,


"bojone Mbak Sekar bagus tenan."


**********


"Kamu baik-baik saja to, Nduk?" tanya simbok, sambil menyangrai biji kopi
yang tadi disiapkannya. Wanginya semerbak ke mana-mana. Hadi tengah
berkeliling, mengabadikan keindahan sekitar dengan kamera mirorless-nya. Ia
sungguh terpesona dengan keindahan dusun ini.


"Kenapa Simbok bertanya begitu?" Sekar meniup api tungku yang mulai padam
dengan semprong.


"Nduk, Simbok mengenalmu sejak kamu masih dalam kandungan. Simbok tahu
kalau kamu sedang berbahagia, atau sedang dirundung kegelisahan. Ono opo?
Cerita sama Simbok."


Sekar menatap sosok hebat itu. Naluri keibuannya luar biasa. Bahkan tanpa
sepatah kata pun yang terucap, ia tahu bahwa putrinya sedang tidak
baik-baik saja.


"Sekar takut, Mbok. Sekar sunguh takut. Ada seorang perempuan, cantik
rupawan, paripurna dalam segala hal, yang mencintai Mas Hadi. Sekar tidak
ada apa-apanya di banding dirinya. Dokter, keturunan ningrat, sedang Sekar
hanya orang biasa. Sekar sungguh takut Mas Hadi kesrimpet bebed, kesandung
gelung, Mbok. Sekar takut Mas Hadi kelak akan tergoda karena perempuan itu
terus menerus mencoba menjeratnya."


Sekar mulai terisak. Simbok mengangkat kopinya, meletakannya dalam sebuah
wadah, lalu menempatkan diri untuk duduk di sebelah Sekar, di atas amben
yang terletak di dekat pintu belakang.


Perlahan, direngkuhnya kepala Sekar dan diletakkan di pangkuannya.


"Mas Hadi selalu meyakinkan Sekar jika Mas Hadi akan terus setia. Sikapnya
memang menunjukkan demikian. Mas Hadi tegas pada perempuan itu. Hanya
saja....." Sekar kembali tergugu. Simbok masih diam, memberi kesempatan
putrinya untuk menumpahkan segala kegelisahan.


"Jika Simbok yang sebaik ini saja bisa dikhianati oleh bapak, bagaimana
dengan Sekar yang hanya gadis ingusan?"


Kini tumpahlah airmatanya, membanjiri pangkuan simbok yang terbalut kain
jarik berwarna kekuningan. Ia ingat bagaimana segala lara yang diderita
simbok lantaran bapak terjerat perempuan lainnya. Ia sungguh takut hal itu
terjadi padanya.


"Nduk, nadayan asor wijilipun, yen kelakuane becik, utawa sugih carita kang
dadi misil, iku pantes raketana, darapon mundhak kang budi. Artinya,
sekalipun keturunan orang biasa, namun jika perilakunya baik, atau banyak
pengalaman yang bermanfaat, maka pantas untuk didekati untuk menambah
kebijakanmu."


Simbok memulai wejangannya. Sekar mendengarkan sambil menghapus airmatanya.


"Maksudnya, sesungguhnya kita dilihat bukan karena kita keturunan siapa,
tapi lebih kepada sikap kita. Jadi jangan pernah rendah diri meski kita
hanyalah kalangan orang biasa." Simbok terus membelai kepala Sekar.


"Buktinya, Nak Hadi memilihmu, meskipun kamu bilang, kamu tidak ada
apa-apanya di banding perempuan itu," sambung simbok lagi, persis seperti
yang pernah dikatakan Hadi.


"Kunci membangun rumah tangga itu hanya ada 5, Nduk. Pertama keimanan, dan
sisanya adalah kepercayaan. Iman akan menjadi benteng agar tidak seenaknya
melanggar aturan yang ada, agar tidak seenaknya menghianati janji suci
pernikahan yang mengikat kita. Lalu selanjutnya adalah kepercayaan."


Sekar masih menyimak. Banjir air matanya sudah mulai berkurang.


"Yang Simbok lihat, kamu sedang dilanda keraguan. Kamu meragukan kesetiaan
suamimu sendiri. Ini tidak baik, Nduk. Itu namanya was-was atau bisikan
syetan. Rasa was-was ini bisa membuatmu berprasangka macam-macam, segala
yang dilakukan suamimu dianggap mencurigakan, padahal bisa jadi suamimu
sama sekali tidak melakukan hal yang kamu tuduhkan. Sikap seperti itu,
justru bisa membuat suamimu merasa tidak nyaman, bahkan tidak tahan. Itulah
mengapa 4 sisa kuncinya adalah kepercayaan," jelas simbok panjang lebar.


Sekar tercenung. Wejangan simbok bak tamparan keras baginya, bak tombak
runcing yang menusuk dadanya.


Benar, bagaimana jika Mas Hadi lama-lama merasa tak nyaman karena aku terus
menerus meragukan kesetiaan yang ia tunjukkan?


"Duh, Gusti... apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya.


Ia lalu bangkit dari pangkuan simbok, dengan rasa yang begitu sulit untuk
diterjemahkan. Ingin rasanya ia segera mengejar Hadi dan meminta maaf atas
sikapnya selama ini.


"Belum terlambat untuk memperbaiki diri, Nduk. Sekarang, dari pada kamu
terus ragu dan takut suamimu akan tergoda, kenapa tidak memaksimalkan
peranmu sebagai istrinya sehingga ia tidak akan pernah bisa untuk melirik
yang lainnya?" kata Simbok lagi, dengan senyum terkembang menghiasi wajahnya.


"Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, terlalu
mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi, hanya akan membuat kita tidak
mampu menikmati dan menghargai apa yang kita punya di masa sekarang ini,"
sambung Simbok.


Sekar bersimpuh di hadapan Simbok, meraih kedua tangannya dan menciuminya.


"Maturnuwun, Mbok. Maturnuwun wejangannya," ucapnya, penuh rasa bahagia,
sambil terus menciumi jemari keriput simbok yang begitu dihormatinya.


"Jangan lupa libatkan Gusti Pangeran dalam hal ini juga ya, Nduk. Kamu tahu
surah An-Nas, kan? Qul A'udzu Birabbin Naas. Baca itu, Nduk. Isinya memohon
perlindungan dari segala kejahatan bisikan syetan yang dibisikkan ke dalam
dada kita, hingga kelak kita bisa lebih terjaga dari segala prasangka."


Keduanya lalu terbenam dalam suana penuh keharuan, hingga tak sadar, ada
Hadi di balik pintu dapur yang sedari tadi mendengarkan. Ia tersenyum penuh
kelegaan.


Rasa hormatnya pada simbok kini kian meninggi levelnya.


**********


"Eh, kenapa ini tiba-tiba manis begini?" selidik Hadi, saat Sekar tiba-tiba
saja memeluknya.


"Aku... aku ingin minta maaf pada Mas Hadi. Maaf jika selama ini aku sering
terkesan ragu, pada kesetiaan yang Mas tunjukkan padaku. Meski aku
melakukan itu karena aku takut kehilangan Mas Hadi, namun tidak seharusnya
aku begini," ucapnya tulus dari dalam hati.


Hadi tersenyum, lalu mengelus-elus kepala istrinya. Sejujurnya ia bisa
memaklumi sikap istrinya yang memang masih belia. Namun ia bersyukur
mendapati istri tercinta menyadarinya.


"Iya, Sayang. Aku tahu semua ini pasti melelahkan untukmu. Yang pasti,
tidak ada rumah tangga tanpa cobaan, tidak ada pernikahan tanpa godaan.
Tapi, asal kita bisa bersikap seperti sumpit, niscaya kita akan mampu
melewati segala yang menghadang." Sekar memicingkan mata.


"Seperti sumpit? Maksudnya?" Sekar tidak mengerti maksud suaminya.


Hadi membimbing tangan Sekar untuk melepaskan pelukannya, lalu menuntunnya
untuk duduk di ranjang.


"Iya. Kamu tahu sumpit, kan? Sumpit itu harus sepasang, tidak bisa
digunakan jika hanya sendirian. Seperti halnya kita berdua yang
berpasangan. Sumpit juga sama panjang, jangan sampai ada salah satu dari
kita yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Perhatikan, saat kita
menggunakan sumpit, satunya bergerak, satunya diam. Begitu seharusnya
ketika kita dilanda kemarahan. Jika ada salah satu dari kita marah, ada
baiknya salah satunya diam."


Sekar memegang lengan suaminya, lalu menyenderkan kepalanya di sana.


"Dalam mengambil makanan, tentu sumpit harus berpasangan. Artinya, apapun
rasa makannya, apapun bentuknya, semua dirasakan bersama. Pahit, getir,
masalah, apapun itu, semua kita hadapi bersama-sama. Begitu," kata Hadi,
menutup wejangannya.


Sekar masih menggelayut manja. Ia sungguh beruntung, memiliki simbok yang
begitu bijaksana, juga suami yang begitu dewasa. Membantunya yang masih
belia, untuk menjalani biduk rumah tangga sebaik-baiknya.


Hadi memandangi istrinya, lalu sejurus kemudian bergerak untuk
merebahkannya hingga ranjang usang itu sedikit berderit. Hawa dingin
membuatnya ingin tak ada jarak antara dirinya dan istri tercinta. Namun ia
urung, saat sang istri tercinta berbisik di telinganya.


"Air di sini dingin seperti es. Yakin Mas mau keramas pagi-pagi?"


(Bersambung)
Tunggu kelanjutannya di part 14.


**********




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar