4.06.2019

@bende mataram@ Bagian 22




@bende mataram@
Bagian 22


LAMBAT laun Wirapati dan Jaga Saradenta menemukan titik pertemuan. Mereka
lantas dapat bekerja sama dengan rapi. Wirapati menyerang bagian atas dan
sanggup mengadu kegesitan. Sedangkan Jaga Saradenta meliuk-liuk rendah
mengancam bagian bawah dada. Hajar Karangpandan tercengang-cengang. Apa
mereka berasal dari satu perguruan? pikirnya. Hajar Karangpandan tak pernah
berpikir, Jaga Saradenta bersahabat dengan guru Wirapati Kyai Kasan
Kesambi. Dalam perang Giyanti Jaga Saradenta seringkali mendampingi Kyai
Kasan Kesambi dan sudah mengenal liku-liku ilmunya. Meskipun belum
keseluruhannya, tetapi dasar pokoknya tidak asing baginya. Itulah sebabnya,
setelah memperhatikan gerak-gerik Wirapati teringatlah dia akan
sepak-terjang sahabatnya. Segera ia dapat mengimbangi dan menyesuaikan diri.


Wirapati berotak encer. Begitu melihat permainan Jaga Saradenta, lantas
saja Wirapati memperkuat diri. Dasar dia merasa tak sanggup melawan Hajar
Karangpandan seorang diri, maka oleh ketinggian hatinya ia ingin menang
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.


"Bangsat!" maki Hajar Karangpandan. Benar-benar kalian kawanan bangsat
jempolan. Eh, siapa mengira umur setua ini berjumpa dengan kalian."


Dia meloncat mundur dua langkah. Wirapati dan Jaga Saradenta lantas
memburu. Itulah yang diharapkan. Begitu mereka berdua menerjang jebakannya,
ia lantas menggempur dengan tangannya berbareng. Jaga Saradenta kena
terhantam dadanya. Seketika itu juga dia terpental tiga langkah dan lontak
darah. Wirapati kena dihajar pundaknya dan jatuh terbanting di tanah.
Tetapi Hajar Karangpandan juga terkena serangan mereka. Serangan Jaga
Saradenta mengenai ujung lehernya, sedangkan kaki Wirapati tepat menendang
pinggang. Ia berteriak kesakitan dan jatuh tertelungkup.


Ketiga-tiganya lantas duduk bersemedi. Pernapasannya diaturnya cepat-cepat
sambil menajamkan pendengaran untuk berjaga-jaga menghadapi segala
kemungkinan. Sesaat kemudian, Jaga Saradenta mulai bicara. "Nanti dulu
Saudara, tahan sebentar. Kita bicara dulu."


"Apa yang hams dibicarakan," sahut Hajar Karangpandan angkuh. Tetapi
hatinya sesungguhnya menghendaki istirahat barang seben¬tar.


"Aku seorang tua bernama Jaga Saradenta, Gelondong Desa Segaluh. Aku mau
berbicara."


"Bicaralah! Apa perlu memperkenalkan nama." Jaga Saradenta tak mendengarkan
ocehan Hajar Karangpandan.


"Kukira dalam hal ini, terjadi salah paham. Coba aku minta penjelasan,
kenapa kamu bertempur dengan anak muda ini?"


"Hm!" Hajar Karangpandan menyibirkan mulut. "Dia bangsat muda, menculik
sahabatku. Bagiku, kalau aku sudah mengaku bersahabat dengan seseorang...
Mengorbankan nyawa bukanlah suatu perbuatan yang sok gagah. Sejak dulu,
orang menghargai suatu persahabatan sejati. Bersedia mengorbankan nyawa
merupakan dasar tali persahabatan. Sekarang sahabatku dibunuh orang. Masa
aku tinggal berpeluk tangan belaka."


"Kata-katamu benar-benar suara seorang kesatria sejati," sahut Jaga
Saradenta. "Tetapi benarkah anak muda ini menculik sahabatmu? Lihat, aku
belum berkenalan dengan dia. Meskipun begitu aku mau bicara. Tidak ada
keuntunganku sama sekali dalam hal ini, kecuali besar keinginanku untuk
mengikis kesalah pahaman kalian berdua."


Wirapati mendongkol campur geli melihat lagak Hajar Karangpandan. Di antara
ketiga orang, dialah yang terluka ringan. Pundaknya hanya terasa kaku.
Setelah beristirahat sebentar, ia dapat bergerak dengan agak leluasa lagi.


"Aku memang bangsat muda penculik sahabatmu," katanya sengit. "Rumahnya,
akulah yang membakar. Pusakanya akulah yang merampas. Lantas kau mau apa?"


Hajar Karangpandan tercengang-cengang mendengar ucapannya. Dia seorang
sembrono dan ugal-ugalan . Tapi justru mendengar kata-kata Wirapati yang
bernada sembrono dan tinggi hati, malahan dia jadi tertarik.


"Apa kamu bilang?" ujarnya agak lunak.


"Kaubilang aku bangsat muda yang men¬culik sahabatmu. Memang aku bangsat
muda penculik sahabatmu."


"Kaubilang pembakar rumah juga?"


"Ya. Malahan akulah si bangsat perampas pusakanya. Sekarang kamu mau apa?
Ayo, bertempur dua bulan lagi," lantas Wirapati berdiri tegak.


Hajar Karangpandan adalah orang yang tidak tahan disumbari orang. Tapi ia
mulai bisa berpikir, ketika mendengar Wirapati mengakui sebagai pembakar
rumah. Sedangkan dia mendapat keterangan, kalau orang-orang Banyumas yang
berbuat begitu. Bukankah mereka juga yang membakar hutan?


"Bangsat! Apa kamu kira aku jera padamu?" bentak Hajar Karangpandan. Dan ia
memaksa diri mau berdiri. Tetapi Jaga Saradenta menengahi.


"Tahan! Kauanggap apa aku ini?" teriaknya nyaring.


Hajar Karangpandan mengurungkan niatnya. Kemudian Jaga Saradenta berpaling
kepada Wirapati. "Kau heran kenapa aku datang membantu. Sebenarnya tidak
ada niatku mencampuri soal ini. Tetapi kudengar kau menyebutkan nama
sahabatku Kyai Kasan Kesambi. Kau menyebut pula sebagai muridnya. Makanya
aku tak bisa tinggal diam. Bukankah bersedia mengorbankan nyawa adalah
dasar mutlak bagi suatu persahabatan sejati seperti kata Ki Hajar itu?"


Mendengar Jaga Saradenta adalah sahabat gurunya, Wirapati jadi bersabar
hati. Per lahan-lahan dia duduk kembali. Tetapi pandang matanya tak beralih
dari Hajar Karangpandan.


"Sekarang perkenankan aku bertanya kepadamu, anak muda," kata Jaga
Saradenta lagi. "Bagaimana mula-mula kamu ada di tempat ini?"


"Aku datang dari Cirebon diutus guruku. Kebetulan melintasi Desa
Karangtinalang. Kudengar tentang peristiwa pusaka sakti. Maka kuculik
sahabatnya dan kubakar hidup-hidup di dalam hutan."


"Ah! berkatalah yang benar."


"Bukankah aku sudah mengatakannya?"


"Bangsat! Iblis!" Maki Hajar Karangpandan kalang kabut. Sekarang tahulah
dia, hatinya sedang dipermainkan pemuda itu. Diam-diam ia menyesali hatinya
sendiri yang masih saja mudah meluap.


"Tiba-tiba kau menyerang, masa aku sudi mendengarkan ocehanmu?" Wirapati
membalas dengan sengit.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar