4.06.2019

@bende mataram@ Bagian 23




@bende mataram@
Bagian 23


"Nah, apa kubilang," potong Jaga Saraden¬ta. "Kalian salah paham. Aku juga.
Ini semua gara-gara si biadab Kodrat. Dia memang kemenakanku, tapi dalam
soal ini tidak ada lagi sanak saudara. Siapa yang bersalah harus di hukum".


Jaga Saradenta langsung menoleh mencari kemenakannya. Tetapi Kodrat tak
nampak batang hidungnya. "Bangsat! Mana dia?" Ia terkejut.


Darahnya lantas saja naik ke leher. Tubuhnya menggigil, karena hatinya
serasa hampir meledak. "Kurang ajar! Dia melarikan diri, selagi kita
bertempur," teriaknya tinggi.


"Hm," Hajar Karangpandan mencibirkan bibir. "Kamu tua bangka berlagak
melindungi. Tapi kaudengar kata-kataku semalam. Kalau benar-benar dia
berada di rumahmu, akan kuhabisi seluruh keluargamu. Sekarang kau mau
bicara apa?"


Jaga Saradenta tak sanggup berbicara lagi. Hatinya penuh pepat. Siapa
mengira, kemenakannya ternyata licik dan sampai hati membiarkan dirinya
menanggung malu. Padahal tadinya ia mengharapkan keterangan keme¬nakannya
akan menghapus kesalahannya semalam. Setelah itu, dia akan meminta maaf.
Tak tahunya, dirinya sekarang kian terperosok ke dalam masalah.


Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Senang hatinya, melihat orang
keripuhan.
"Ayo bicaralah! Kamu kan laki-laki juga?" ujarnya.


"Tak sanggup lagi aku menelan peristiwa ini. Kaulah yang bicara. Kalau
tidak mau, ya sudah kita bertempur lagi sampai mati," sahut Jaga Saradenta.
Kalau tadi ia ingin menghindari pertempuran mati-matian, kini sebaliknya.


Wirapati jadi perasa, ia dapat merasakan gejolak hati Jaga Saradenta,
karena tadi dia juga mengalami gejolak rasa begitu juga, tatkala dihujani
tuduhan Hajar Karangpandan.
"Hai pendeta edan," katanya, "belum tentu kami berdua yang kautuduh menjadi
biang keladi terbunuhnya sahabatmu, kalah bertem¬pur melawan tampangmu.
Tapi dalam hal berbicara kamu menang. Nah, bicaralah! Kami berdua akan
tunduk pada keputusanmu."


Ih, pemuda ini berwatak kesatria, kata Hajar Karangpandan dalam hatinya.
Kukira dia benar-benar tidak menurunkan tangan jahat kepada
sahabat-sahabatku. Baiklah aku bicara perlahan-lahan. Siapa tahu, ia bisa
kuajak serta membalas budi pada kedua sahabatku itu.


Berpikir demikian, ia lantas berkata, "Kamu berdua kuanggap mempunyai mulut
laki-laki. Kautahu bukan, harga mulut laki-laki senilai seribu nyawa
manusia. Nah, sekarang aku mau berbicara. Tapi aku minta tiga syarat."


"Sebutkan!" kata Wirapati dan Jaga Sara¬denta berbareng.


"Syarat pertama: kalian harus menjawab pertanyaanku dengan
sebenar-benarnya. Syarat kedua: kalian harus patuh dan mentaati tiap-tiap
keputusanku. Syarat ketiga: kalian tidak boleh mengingkari janji. Sangsinya
kalian akan digerumuti setan sampai tujuh turunan. Dan di alam baka, kalian
akan diuber-uber sampai terbirit-birit sepanjang zaman. Nah, bagaimana?"


Mendengar ujar Hajar Karangpandan, mereka berdua mendongkol campur geli
hati. Tetapi mereka terpaksa mengangguk.


"Bagus. Sekarang syarat pertama. Dengarkan, aku bicara," Hajar Karangpandan
mulai. "Hai, kau anak muda, tahukah kamu bagai¬mana peristiwa ini mula-mula
terjadi?"


Wirapati menggelengkan kepala sambil menjawab, "Aku hanya mendengar mereka
saling memperebutkan dua buah pusaka. Kebetulan aku menguntit perjalanan
orang-orang Banyumas yang menyamar sebagai rombongan penari. Kulihat pula,
mereka bertempur dengan seorang pemuda sebelum sampai ke tempat tujuan."


"Siapa pemuda itu?"


"Hanya setan yang tahu. Dialah yang mem bunuh salah seorang sahabatmu
dengan senjata rahasia sewaktu berada dalam rumah. Kukira, mayat sahabatmu
itu hangus terbakar oleh api yang dinyalakan oleh orang-orang Banyumas.
Pemuda itulah yang membawa lari anak isteri salah seorang sahabatmu." "Ke
mana dia melarikan mereka?" "Tanyalah pula kepada setan dan iblis!"
Mendengar jawaban Wirapati, melonjaklah amarah Hajar Karangpandan. Hatinya
bergolak. Diayunkan tinjunya ke udara. Kemudian menggempur tanah berhamburan.


Setelah menggempur tanah ia menunduk dalam. Napasnya terengah-engah.
Tubuhnya bergetar. Wirapati dan Jaga Saradenta mengawasi dengan hati
menebak-nebak. Melihat perangai Hajar Karangpandan yang aneh, mereka
berjaga-jaga. Siapa tahu, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang mereka
untuk melampiaskan marahnya. Tetapi Hajar Karang¬pandan diam saja. Matanya
malahan menutup rapat. Dan perlahan-lahan napasnya mulai teratur. Terdengar
dia mengeluarkan bunyi dengkur parau.


Mereka berduapun diam-diam menjadi ka-gum. Itulah cara yang sempurna untuk
mengurangi tekanan guncangan hati. Gejolak darah dapat disalurkan juga.
Kalau seseorang tidak mempunyai kesadaran yang dalam, bagaimana ia dapat
berbuat begitu. Sebab perbuatan itu untuk menenangkan diri.


Mendadak Hajar Karangpandan mendongakkan kepala. Raut mukanya yang tadi
nampak bengis, telah sirna. Matanya memancarkan pandangan yang tajam dan
lembut. la menghela napas dalam, katanya, "Anak muda, kulihat di dalam
rumah itu empat mayat menggeletak bertebaran selain mayat sahabatku. Siapa
mereka?"


"Mana kutahu," sahut Wirapati. "Waktu aku memasuki rumah, mereka berdiri
tegak saling mencurigai. Kukira, mereka habis bertempur. Napasnya masih
terengah-engah."


"Jahanam itu saling memperebutkan pusaka," potong Hajar Karangpandan.


"Tepat dugaanmu. Tatkala sahabatmu yang mati itu kena senjata rahasia,
mereka lantas datang berebut. Dua orang mati kena hantaman sahabatmu yang
lain. Dua orang lainnya terpatahkan lengan dan kakinya oleh si pemu¬da.
Kemudian terjadilah kekacauan itu. Rumah dibakar. Si pemuda membawa lari
anak dan isteri salah seorang sahabatmu. Dan aku menggendong sahabatmu yang
luka parah."


"Kenapa luka parah?"


"Mata kakinya kena senjata si pemuda. Gntuk mencegah menjalarnya racun,
kupagas betisnya."


"Hm."


"Tetapi dia kehilangan banyak darah. Ketika kusembunyikan di gerumbulan
dalam hutan ini, beberapa kali dia jatuh pingsan. Sayang, sebelum aku
sempat menolongnya hutan terbakar. Aku terpelesat jauh. Kucoba menghampiri,
tetapi panas api tak dapat kutahan. Maafkan. Aku orang tak berguna ..."


"Tidak! Akupun tak tahan berenang dalam lautan api," potong Hajar
Karangpandan. "Cuma sahabatku yang bernasib buruk. Tetapi ... tetapi
semuanya ini akulah yang mendatangkan gara-gara. Kalau aku tak menyerahkan
kedua pusaka kepada mereka ..."


Ja tak meneruskan. Mendadak dia berdiri dan lari menghampiri batas hutan.
Kemudian dia bersujud rendah sampai mencium tanah. Tatkala kepalanya
menegak lagi, ia berteriak nyaring sampai menggetarkan tanah, "Wayan Suage!
Wayan Suage! Dengarkan kata-kataku! Kau seorang laki-laki sejati. Sayang,
akulah yang menjerumus kanmu ke dalam lumpur malapetaka. Aku bersumpah
kepadamu, akan kucari anak-isterimu sepanjang hidupku. Akan kurawat dan
kuasuh anakmu seorang itu. Semoga rohmu di alam baka melindungi aku.
Kuharapkan pula kamu mengampuni kesalahanku."


Dia berdiri tegak. Membungkuk. Kemudian berputar mengarah Wirapati dan Jaga
Saradenta. "Sekarang, marilah kita bertempur. Inilah syarat kedua," katanya
meledak.


Mendengar ucapannya itu, sudah barang tentu Wirapati dan Jaga Saradenta
dibuat terkejut. Sama sekali tak diduganya, Hajar Karangpandan tiba-tiba
menantang mereka bertempur setelah nampak berlaku begitu lemah dan sabar.


Tetapi sebagai seorang kesatria, meskipun sedang menderita luka, takkan
sudi memperlihatkan kelemahan diri. Segera mereka berdiri tegak dan bersiaga.


"Eh, kalian mau apa?" damprat Hajar Ka¬rangpandan.


"Bukankah kamu tadi menantang kami bertempur?" Wirapati heran.


"Betul! Tapi aku belum habis bicara. Syarat kedua belum lagi kuuraikan.
Duduklah!"


Wirapati dan Jaga Saradenta saling meman dang. Kalau menurut tabiatnya,
mereka merasa dipermainkan orang ini. Bagaimana bisa menerima hinaan itu.
Tetapi mereka kalah janji. Terpaksalah mereka duduk kembali dengan hati
memaki-maki.


"Kau Gelondong Segaluh, tak usah lagi aku bertanya kepadamu. Kamu sudah
dikelabui si bangsat Kodrat. Cuma, kamu diberi kesempatan Tuhan melihat
anak-isteri salah seorang sahabatku. Siapa yang dilarikan si Kodrat dan
siapa pula yang dilarikan si pemuda jempolan itu, aku pun tak tahu. Tapi
kita bertiga pernah mendengar atau melihat mereka yang kena malapetaka,
maka kitapun tak dapat membuta tuli. Kebajikan seorang kesatria semenjak
dulu cuma satu. Yakni, ingin bekerja sekali berarti kemudian mati. Kau
setuju tidak kata-kataku yang belakangan ini?"


"Bicaralah! Jangan kau berlagak seperti guru!" bentak Jaga Saradenta.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar