5.26.2020

Vasili Arkhipov

Perwira angkatan laut Rusia ini menjadi sosok pencegah berkobarnya Perang
Dunia III, dan menjauhkan malapetaka akibat termonuklir di seluruh Bumi.
Mungkin boleh dibilang, mereka yang lahir sebelum 27 Oktober 1962 mungkin
berutang nyawa pada Vasili Alexandrovich Arkhipov.

Keputusan itu terjadi di tengah Krisis Rudal Kuba yang berlangsung pada
12-28 Oktober 1962.

Sebelumnya, pada Mei 1962, Presiden Uni Soviet Nikita Khrushchev dan
Presiden Kuba Fidel Castro membuat kesepakatan 'rahasia' yang memungkinkan
Moskow mulai membangun fasilitas nuklir di Kuba dan menimbun rudal -42 di sana.

Setelah keberadaan markas tersebut terkuak awal Oktober, Presiden Presiden
John F. Kennedy mengadakan sejumlah pertemuan darurat dengan para
penasihatnya. Sebuah konferensi pers terkait hal itu juga digelar.

Pemerintah terus melakukan pengawasan melekat terkait peningkatan aktivitas
Uni Soviet di Pulau Kuba. Sepekan terakhir, bukti yang tak terbantahkan
menguatkan fakta bahwa serangkaian misil ofensif kini sedang dipersiapkan
di pulau yang terpenjara itu. Tujuan markas itu tak lain adalah menyediakan
kapasitas nuklir melawan Belahan Bumi Barat...," demikian disampaikan
Kennedy seperti dikutip dari situs On This Day untuk Today in History.

"Beberapa di antaranya termasuk rudal balistik jarak menengah, yang mampu
membawa hulu ledak nuklir lebih dari 1.000 mil laut. Masing-masing mampu
menyerang Washington, DC, Terusan Panama, Cape Canaveral, Meksiko City,
atau kota lain di bagian tenggara AS, di Amerika Tengah, atau Karibia."

Setelahnya, sebuah pesawat mata-mata milik Amerika Serikat ditembak jatuh
di Kuba, sementara U2 lain justru tersesat dan menyimpang ke wilayah udara
Uni Soviet.

Drama penuh ketegangan itu bergeser ke titik gawat kala kapal perusak AS,
USS Beale kemudian mulai menyisir lautan, mencari keberadaan kapal-kapal
selam Moskow.

Pada 27 Oktober 1962, kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat memergoki
keberadaan B-59 dekat Kuba.

B-59, kapal selam Uni Soviet itu, menjadi salah satu target buruan AS. Kala
itu, pihak Amerika tak tahu, B-59 dipersenjatai dengan senjata nuklir.

Ada 22 torpedo yang diangkut di dalamnya, salah satunya adalah bom nuklir
yang bisa menimbulkan kehancuran, lebih parah dari yang dialami Hiroshima
dan Nagasaki.

Para kapten kapal selam diberi izin untuk meluncurkan torpedo nuklir,
asalkan mendapat restu dari pejabat politik yang ditugaskan di sana.

Sementara itu, Kapten B-59, Valentin Savitsky tak tahu bahwa berondongan
peluru yang diluncurkan AS adalah aksi non-mematikan yang ditujukan sebagai
tembakan peringatan untuk memaksa kapalnya menyembul ke permukaan.

USS Beale, dengan kapal perusak lain berusaha memancing keluar bahtera itu
menggunakan amunisi.

Semua orang dalam kapal selam dalam kondisi lelah setelah sebulan melaut.
Makanan dan air terbatas, belum lagi suasana sumuk bukan main. Kapal selam
itu terus bergetar, berguncang, tiap kali amunisi AS usai ditembakkan.

Savitsky yang dalam kondisi kelelahan berasumsi, kapal selamnya dijadikan
target. Ia bahkan menyangka, Perang Dunia III telah pecah. Karena
komunikasi terputus, mereka tak tahu apa yang terjadi di dunia luar.

Maka, torpedo nuklir berkekuatan 10 kiloton yang ada di B-59 disiapkan
untuk diluncurkan. Targetnya adalah USS Randolf, kapal induk raksasa yang
memimpin gugus tugas AS.

Seandainya torpedo dari B-59 diluncurkan ke Randolf, awan nuklir niscaya
akan menyebar dari laut ke daratan.

Sejumlah titik akan jadi sasaran saling balas: Moskow, London, pangkalan
udara di East Anglia dan konsentarasi pasukan di Jerman.

Gelombang bom atom berikutnya akan mengincar 'target-target ekonomi' --
diperkirakan setengah populasi Inggris akan tewas.

Sementara, Single Integrated Operational Plan (SIOP) -- skenario 'kiamat'
milik Pentagon pastinya bakal meluncurkan 5.500 senjata nuklir ke ribuan
target, termasuk ke negara-negara yang kala itu masuk kategori
'non-agresif' seperti China dan Albania.

Apa yang akan terjadi ke AS sendiri tidak pasti kala itu. Alasan bahwa
Nikita Khrushchev mengirim rudal ke Kuba adalah karena Uni Soviet tidak
memiliki ICBM atau rudal jarak jauh yang bisa mencapai AS.

Bisa jadi Negeri Paman Sam akan mengalami kehancuran yang lebih sedikit
daripada yang dialami Inggris dan Eropa Barat.

Keputusan untuk tidak memulai Perang Dunia III tidak diambil di Kremlin
atau Gedung Putih, tapi di ruang kontrol kapal selam.

Peluncuran torpedo nuklir B-59 memerlukan persetujuan dari ketiga perwira
senior kapal. Vasili Arkhipov satu-satunya yang menolak.

Seandainya ia tak ada saat itu, perang nuklir niscaya pecah.

Kala itu Vasili Arkhipov bersikukuh agar kapalnya menyembul ke permukaan
dan mengontak Moskow untuk meminta nasihat, alih-alih melepaskan torpedo.

Argumen panas lantas memuncak, namun akhirnya mereka setuju B-59 muncul ke
permukaan. Apalagi masalah teknis terjadi kala itu.

Dari sisi Rusia, tindakan itu dianggap 'pengecut'. Keputusan Vasili
Arkhipov dianggap tindakan menyerah.

Namun, bagi istrinya, Olga, Vasili Arkhipov adalah pahlawan.

"Seorang pria yang mencegah terjadinya perang nuklir adalah awak kapal
selam Rusia. Namanya adalah Vasili Arkhipov. Aku bangga pada suamiku.
Selalu bangga."

Pasca-insiden, Arkhipov terus bertugas di Angkatan Laut Soviet. Dia
dipromosikan menjadi laksamana pada 1975 dan pensiun pada pertengahan 1980-an.

Dia meninggal pada tahun 1999 di usia 73 tahun karena komplikasi akibat
keracunan radiasi yang dideritanya pada awal kariernya di angkatan laut.

Pada tahun 2002, Tom Blanton, Direktur penelitian dan lembaga arsip
keamanan Amerika Serikat, National Security Archive mengatakan, "seorang
pria bernama Vasili Arkhipov telah menyelamatkan dunia".

Sumber referensi liputan6.com

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar