4.24.2020

Perang Mematikan Perancis-Makassar di Thailand dan Nenek Moyang Napoleon Bonaparte

### Perang Mematikan Perancis-Makassar di Thailand dan Nenek Moyang
Napoleon Bonaparte

Perjanjian Bungaya tahun 1667, mengakhiri perang panjang selama 13 tahun
antara Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan VOC (dalam
hal ini Kerajaan Belanda), walaupun disebut sebagai perjanjian damai namun
seluruh isinya menunjukkan deklarasi kekalahan Kerajaan Gowa.

Kekalahan dari Belanda dan orang Bugis dibawah Arung palakka ini tidak
diterima oleh sebagian besar panglima Kerajaan Gowa. Selain Laksamana
Karaeng Galesong, Laksamana Karaeng Bontonompo dll, terdapat juga seorang
lagi saudara Sultan Hasanuddin bernama I Yandulu Daeng Mangalle pergi
meninggalkan Makassar.

Daeng Mangalle pergi dari Makassar sebab ia tak terima dengan pengesahan
Perjanjian Bongaya, kesepakatan yang justru melucuti superioritas
Gowa-Tallo sebagai kekuatan maritim. Ia minggat, menolak tunduk pada Belanda.

Dalam buku "Siri': Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar : Sebuah
Telaah Filsafat Hukum" (Hasanuddin University Press, 1995), Mohammad Laica
Marzuki menulis bahwa adik dari Sultan Hasanuddin itu terpaksa meninggalkan
tanah kelahiran pada tahun 1660 setelah difitnah salah satu istri raja
(hal. 122).

Tiga tahun menetap di Jawa, Usai menyingkir ke Pulau Jawa, ia mempersunting
Angke Sapiah, puteri salah satu raja yang disebut masih memiliki hubungan
darah dengan raja-raja Makassar.

Daeng Mangalle kemudian pindah ke daratan Siam. Permintaan suakanya kepada
Raja Ayutthaya saat itu, Somdet Phra Narai (Ramathibodi III), dikabulkan.
Singkat cerita, Daeng Mangalle beserta keluarga dan 250 pengikutnya yang
terdiri dari pria, wanita dan anak-anak menjejakkan kaki di Kerajaan
Ayutthaya pada tahun 1664.

Selanjutnya, Paul Gervaise, sejarawan Perancis melukiskan kedatangan mereka
di sambut baik oleh Raja Narai dan bahkan mereka diberi pemukiman di
pinggir sungai bertetangga dengan perkampungan orang Melayu. Kebetulan
orang Melayu dan Makassar sama-sama memeluk agama Islam.

Dengan reputasi sebagai pasukan ulung, orang-orang Makassar waktu itu tak
sulit membangun relasi dengan beberapa kelompok lain seperti Minangkabau,
Campa, Gujarat, dan masih banyak lagi.

Kehidupan awal sang daeng beserta komunitas Bugisnya berjalan lancar-lancar
saja. Mereka menjadi bagian komunitas internasional di Ayutthaya. Selain
mereka, terdapat komunitas dari Persia, Melayu, Champa, Jepang, Belanda,
dan Prancis.

Namun semua berubah ketika Phra Narai mendatangkan serdadu-serdadu Prancis
pimpinan Claude de Forbin. Serdadu-serdadu itu didatangkan untuk menjadi
pengawal sang raja. Kondisi di Ayutthaya yang rawan dengan kudeta perebutan
takhta menyebabkan sang raja perlu mengamankan kekuasaannya.

Kedatangan para serdadu Prancis itu ke Ayutthaya dikarenakan hubungan baik
yang terbina antara Ayutthaya dan Prancis. Pada masa Phra Narai, Ayutthaya
mengirimkan delegasinya ke Prancis yang dipimpin Louis XIV.

Dalam sejarah Thailand, Phra Narai dikenal sebagai raja yang membuka banyak
hubungan dengan negara-negara Barat. Ia sendiri pun pro-Barat. Bahkan
sekretaris kerajaannya berasal dari Yunani bernama Constantine Faulkon
seorang warga Yunani, mantan pegawai Serikat Dagang Hindia Timur Inggris
(EIC) yang diangkat menjadi penasihat Raja Phra Narai.

Bagi Daeng Mangalle, kedatangan serdadu-serdadu Prancis itu ibarat bencana.
Dengan serdadu-serdadu itu, kedudukan raja semakin kuat sehingga membuka
peluang memperbudak Daeng Mangalle dan para pengikutnya. Pada masa itu,
perbudakan merupakan hal yang lazim di Ayutthaya.

Hal yang sama dirasakan komunitas internasional lainnya, terutama yang
muslim. Selain itu, Daeng Mangalle juga bersitegang dengan Faulkon. Dan
kekhawatiran Mangalle bertemu dengan keinginan Phra Petracha, kakak tiri
Phra Narai, yang memang tidak menyukai tindak-tanduk sang raja yang terlalu
pro-Barat.

Sang raja, Phra Narai membiarkan istana kerajaan dipenuhi oleh orang-orang
Barat, terutama Prancis. Claude de Forbin, sang pimpinan serdadu Prancis
pun diberi jabatan sebagai Gubernur Bangkok.

Berhembus pula kabar burung jika Sang raja, Phra Narai hendak
di-kristen-kan. Selain itu sang raja, yang merengkuh kekuasaan lewat intrik
di dalam keluarga pewaris tahta, berlindung di balik sokongan Prancis untuk
meneguhkan kekuasaannya.

Beberapa tahun kemudian Orang Makassar, Champa, Kamboja dan Melayu dan
kalangan Istana menunjukkan ketidak sukaan mereka pada kebijakan Raja yang
bersekutu rapat dengan Orang Perancis, Inggris, Portugis dan Belanda. Daeng
Mangalle berpendapat tidak sepatutnya orang Islam bergaul dengan dan
dikuasai oleh non Muslim.

Suara sumbang pun bermunculan. Sentimen anti-Eropa tumbuh subur di kalangan
rakyat. Sejumlah komunitas penduduk secara terang-terangan mengambil sikap.
Rencana pemberontakan pun disusun oleh komunitas Melayu, Campa dan
lain-lain. Daeng Mangalle sebagai pentolan komunitas Makassar pun diajak serta.

Maka terjadilah pemberontakan pada akhir 1686 antara koalisi para pemukim
Champa, Melayu, dan Persia dan Pangeran lokal melawan pasukan Kerajaan Siam
yang dibantu serdadu Eropa.

Raja Phra Narai akhirnya mengetahui persekongkolan para pemberontak itu.
Komunitas Melayu, Champa dan Kamboja kemudian memohon pengampunan kepada
Raja yang serta merta diterima. Daeng Mangalle pun diminta juga untuk
memohon ampun, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Daeng Mangalle.

Daeng Mangalle menolak tunduk memohon ampunan Raja atas tuduhan sebagai
inisiator rencana kudeta. Meskipun kemungkinan Daeng Mangalle mengetahui
rencana tersebut.

Tentang penolakan meminta maaf ini, Pelras menulis : "Hanya pangeran
Makassar yang menolak meminta maaf. Alasannya, dia tidak pernah mau
memberontak. Hanya saja kesalahannya adalah bahwa dia tidak melaporkan
rencana pemberontakan orang Melayu dan Campa kepada Raja Siam - alasan sang
pangeran karena dia juga tidak mau mengkhianati ke dua sahabatnya dengan
membuka rahasia yang telah di percayakan kepadanya. Bagaikan buah simalakama."

Gelarnya sebagai Pangeran Makassar mendasari sikapnya untuk tidak menjadi
seorang pengadu. Ia memilih mati di medan tempur ketimbang dipaksa mengakui
dirinya sebagai bagian dari kelompok pemberontak.

"Mengenai orang yang telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya
tidak memercayainya sedikit pun, karena sekarang ini Perdana Menteri
Ayutthaya adalah orang Prancis (Constance Phaulkon) dan antara saya dan dia
ada saling benci dengan alasan perbedaan agama," ujarnya saat menghadap
Yang Mulia Phra Narai seperti ditulis sejarawan Bernard Dorleans dalam buku
"Orang Indonesia & Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX" (KPG,
2006).

Akibatnya selama satu bulan wilayah kampung Makassar dikepung oleh pasukan
Siam. Akhirnya raja pun mulai kehilangan kesabaran dan kemudian memutuskan
menggunakan kekuatan militer untuk memerangi masyarakat Makassar yang
dinggap kepala batu itu.

Forbin yang memimpin garnisun Prancis di benteng Bangkok menerima perintah
raja untuk memblokir keberangkatan 2 perahu perahu Makassar yang berniat
meninggalkan kerajaan Siam. Seuntai rantai yang direntangkan melintasi
sungai mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang Makassar
datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras
badik mereka dilucuti dan disita.

Tidak dapat dielakkan terjadi kontak senjata. Perlawanan pun pecah. Pasukan
Daeng Mangalle yang 47 orang dan hanya bersenjata tombak dan badik melawan
700-an serdadu Eropa. Daerah sekitar Sungai Chao Phraya jadi medan perang
sengit selama tiga pekan beruntun. Ratusan rumah terbakar, penduduk sipil
turut menjadi korban.

Orang2 Makassar menghadapinya dengan "semangat siri," keyakinan untuk
membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Mereka menyerang orang2
Eropa dengan mengerikan mengejar pasukan Prancis dan Portugis yang saat itu
juga hendak membantai perempuan dan anak-anak.

Dengan merunduk mereka menyerang dan mengejar pasukan lawan dg tombak dan
badiknya bagai orang kesetanan tanpa takut mati tanah di tepi sungai serta
air sungai memerah, sejengkal demi sejengkal tanah yang dilewati menjadi
ladang pembantian, wanita, anak-anak semua dibunuh tanpa kecuali.

Orang Makassar bertarung dengan keberanian tiada tara. Enam orang Makassar
menyerang pagoda dan membunuh beberapa prajurit serta biarawan di sana.
Sebanyak 366 orang prajurit Perancis ditewaskan oleh enam orang Makassar.
Siasat licik pencegatan kapal dengan harapan menangkap para pemimpin
pemberontak malah berakhir nihil. Claude de Corbin, pemimpin garnisun
Prancis sendiri nyaris kehilangan nyawa.

Upaya Raja Phra Narai untuk mengajak orang Makassar berunding pun menemui
jalan buntu. "Kehormatan mencegah Daeng Mangalle untuk bertindak sebagai
pengadu dan mata-mata terhadap teman-teman seagama," tulis Dorleans (hal. 117).

Kehabisan cara membujuk, koalisi Ayutthaya-Eropa melaksanakan pengepungan
kampong Makassar pada 23 September 1686. Raja memerintahkan serangan
besar-besaran ke perkampungan orang Makassar. Akhirnya prinsip orang Bugis
Makassar menghadapi tantangan "Sekali Layar Berkembang Pantang Surut
Kebelakang" menyadari bahwa sudah tidak ada kemungkinan lain selain
bertempur sampai mati,dan setelah menyadari mereka tak akan memenangkan
pertempuran, banyak diantara mereka terpaksa membunuh istri dan
anak-anaknya untuk menghindarkan keluarga mereka dari perbudakan dan di
perkosa. Beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi perlawanan
orang Makassar yang sangat berani dan nekat.

Bahkan seorang saksi Sejarah Peristiwa ini Menuliskan Kekaguman Mendalam
Terhadap Orang-Orang Makassar, Belum pernah ia melihat ada bangsa yang
seberani Bangsa Makassar, ia melihat Orang Makassar itu sudah terkapar
bersimbah darah dan di Injak- injak oleh tentara Siam dan Perancis, tetapi
dengan seketika Orang Makassar yang sudah terkapar dan bersimbah darah itu
Bangkit dan Membunuh dua orang tentara Perancis yang ada di dekatnya, lalu
kemudian ia mati perlahan-lahan.

Akhirnya, pada serangan total inilah kampong Makassar jatuh. Daeng Mangalle
sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah tangannya tertembak
langsung menerjang menteri Siam dan membunuh seorang Inggris. Ia pun
akhirnya tewas.

Demikianlah akhir dari pertempuran itu 22 orang Makassar akhirnya menyerah
dan 33 orang prajurit Makassar dikumpulkan. Perlakuan terhadap orang
Makassar yang tersisa sungguh tak terperikan kejamnya, ada yang dikubur
hidup-hidup, berdiri sampai leher dan mati setelah diperlakukan dan di
cemohkan serta dihinakan tanpa belas kasihan.

Sejarah ini diceritakan sendiri oleh Forbin dalam catatan harian yang
ditulisnya selama masa penugasannya menumpas pemberontakan orang Makassar
di Ayutthaya, Thailand.

Catatan menyebut bahwa perlawanan sekitar 200 ratus orang Makassar
menewaskan kurang dari seribu serdadu Ayutthaya-Eropa. Raja Phra Narai
sendiri digulingkan oleh kelompok anti-Eropa pada tahun 1688.

Riwayat perlawanan Daeng Mangalle beserta pengikutnya rupanya membekas di
warga lokal. Penduduk Siam sangat mengagumi keberanian orang Makassar yang
menghadapi ribuan tentara. Dengan hanya 250 orang, orang Makassar telah
menewaskan tentara sebanyak 1000 orang Siam dan 17 warga asing.

Orang-orang Siam mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa heroik yang
pernah mereka saksikan. Daeng Mangalle dikenang sebagai orang hebat yang
bertarung untuk membela kehormatan. Warga Siam lalu mengabadikan Makassar
sebagai nama salah satu distrik di Bangkok, kini disebut sebagai Makkasan,
menyesuaikan dengan lidah orang Thailand, kawasan yang dahulu bernama Krung
Thep.

Dua anak Daeng Mangalle yang masih hidup, Daeng Ruru (15 tahun) dan Daeng
Tulolo (16 tahun) menjadi yatim. Mereka berdua kemudian dikirim ke Prancis,
sekutu Eropa nan setia dari Kerajaan Siam.

Hal tersebut dikemukakan oleh etnolog Bugis tersohor, Christian Pelras,
melalui artikelnya yang terbit pada 1997. Sejarawan Bernard Dorleans
kemudian mengulang temuan mendiang Pelras dalam buku "Orang Indonesia &
Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (diterjemahkan KPG tahun
2006).

Mereka akhirnya tiba di pelabuhan Paris pada 10 September 1687 setelah
meninggalkan Bangkok setahun sebelumnya. Raja Prancis waktu itu, yakni
Louis XIV (berkuasa 1643-1715) rupanya tak membiarkan hidup Daeng Ruru dan
Daeng Tulolo terlunta-lunta. Raja bernama lengkap Louis Dieudonné itu
memberi sokongan finansial dan akses pendidikan dengan alasan kelas sosial
kedua pangeran.

Namun sebelum mengenyam kehidupan aristokrat Prancis, kedua pangeran itu
dibaptis dengan nama Kristen. Keduanya pun memiliki nama Prancis, yakni
Daeng Ruru menjadi Louis Pierre, sementara Louis Dauphin disematkan pada
Daeng Tulolo.

Setelah itu, mereka kemudian didaftarkan ke kolese jesuit Louis-le-Grand
Paris untuk belajar bahasa Prancis secara intensif. Fasih dengan lidah
negeri keduanya, kakak-beradik ini melanjutkan studi di sekolah tinggi
Clermont.

Lulus sekolah tinggi, Louis Pierre dan Louis Dauphin kemudian diterima di
sekolah perwira angkatan laut Brest setelah melalui seleksi ketat. Sekolah
tersebut punya reputasi bergengsi lantaran mencetak perwira-perwira
--berasal dari kalangan aristokrat tentu saja-- yang lihai dalam urusan
pelayaran dan kelautan. Lulusnya mereka pun disebut jadi bukti perhatian
dari Raja Louis XIV.

Namun, status bangsawan membuat keduanya jadi kadet yang tinggi hati.
"Kedua taruna ini menjadi amat sulit diatur tapi juga merasa lebih tinggi
daripada yang lain yang tentunya sesuai dengan orang Makassar yang berdarah
biru. Mereka memandang perwira lain sama terhormat dan sama pintar dengan
mereka tetapi berasal dari kelas yang rendah," tulis Dorleans (hal. 124).

Karir Daeng Ruru di angkatan laut Kerajaan Prancis rupanya melesat dengan
cepat. Lulus saat berusia 19 tahun -hanya dua tahun setelah menjadi kadet
AL- ia langsung menyandang pangkat letnan muda yang setara letnan di
angkatan darat. Dan menginjak 20 tahun menjadi letnan angkatan laut, yang
setara dengan kapten angkatan darat.

Sudah jadi rahasia umum bahwa lesatan kilat karier kemiliteran waktu itu
ditunjang oleh dua hal, yakni kecerdasan serta sokongan keuangan.
Pengetahuan kelautan dipastikan berasal dari darah pelaut sang ayah,
mendiang Daeng Mangalle. Sementara materi jadi tanggung jawab Louis XIV
sepenuhnya.

Pada 3 Januari 1707, pangeran muda dengan nama Louis Pierre Makassar ini
bertugas di kapal Jason—kapal dengan 54 meriam—dengan tugas memburu kapal
penyerang Belanda Vlisingen. Tak lama setelah itu, ia bertugas di kapal
Grand yang mengambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada 19
Oktober 1707, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol
bertempur melawan Inggris. Namun pangeran dari Makassar itu meninggal pada
19 Mei 1708, entah perkara kehormatan atau hutang judi.

Adapun karier sang kakak, Daeng Tulolo, di angkatan laut Prancis bisa
dibilang biasa-biasa saja. Ia lulus pada 18 Mei 1699, namun harus menunggu
selama 13 tahun agar diangkat menjadi letnan muda. Pangkat tersebut resmi
disandangnya pada usia 38 tahun, dan tak berubah hingga akhir masa hidupnya.

Saat mendengar kabar si adik bungsu mangkat, "Louis Dauphin" meminta izin
kepada Raja Louis XIV untuk pulang kampung ke Makassar untuk mengambil alih
tahta milik leluhurnya. Namun tak disebutkan apakah Daeng Tulolo berhasil
atau tidak.

Lebih jauh, Daeng Tulolo disebut sebagai pemeluk Katolik yang taat. Ia
sempat aktif mendirikan ordo kesatria dan mempersembahkan sebuah gambar
untuk Perawan Suci Maria. Sempat diletakkan di Katedral Notre-Dame, gambar
tersebut kemudian dicabut lantaran yang bersangkutan "telah kembali ke
agama nenek moyangnya dengan alasan poligami" (hal. 125).

Daeng Tulolo meninggal di Brest, 30 November 1736, pada usia 62 tahun.
Pemakamannya dihadiri oleh sejumlah perwira tinggi angkatan laut Prancis.
Disemayamkan dalam Gereja Saint Louis de Brest, jenazahnya hancur semasa
Perang Dunia II berkecamuk akibat pemboman.

Menurut Nasaruddin Koro dalam bukunya: Ayam Jantan Tanah Daeng "Dari Louis
Pierre de Macassart dan Louis Dauphin putra Daeng Mangalle inilah kakek
moyangnya si Napoleon Bonaparte. Dan, itulah sebabnya, Napoleon itu kecil
dan tidak tinggi. Juga, kedua cucu Sultan Hasannudin itulah yang
mengenalkan Perancis dengan binatang kesayangan ayam jago. Sama persis
dengan ayam jagonya Sultan Hasannudin.

"Napoleon Bonaparte itu orang Makassar," Demikian ditulis di sebuah buku
Eropa dengan nama pengarangnya Bernard Dorleans, salah seorang Penulis Top
Eropa abad ke 17. Kakeknya orang Makassar, makanya lambang ayam Negara
Perancis itu, lambang Ayam dari Asia, dari Gowa.

Sumber:
-Ach. Hidayat Alsair, Mengenang Perlawanan Orang Makassar digempur Ribuan
Prajurit Thailand
-Yusran Darmawan, Jejak Makassar di Thailand
-Nasaruddin Koro, Ayam Jantan Tanah Daeng
-Adi Lagaruda, Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam
-Ramang Jr, Perang Mengerikan di Thailand, 40 Orang Bugis Makassar
Membantai 1000 tentara Perancis

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

1 komentar: