4.21.2020

Kisah Dewa Ruci

Kisah Dewa Ruci

Sementara itu Arya Wrekodara merasa tugas mencari Tirta Pawitrasari jauh lebih berat daripada mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Maka, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu ke Kerajaan Amarta untuk mohon pamit dan meminta doa restu kepada ibu dan empat saudaranya.

Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Permadi, serta si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa menyambut kepulangan Arya Wrekodara. Kepada mereka, Arya Wrekodara bercerita tentang niatnya untuk belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi Lepasing Budi kepada Resi Druna, dengan syarat harus bisa menemukan air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci di Samudera Minangkalbu.

Prabu Puntadewa dan yang lain terkejut. Dewi Kunti segera meminta agar Arya Wrekodara membatalkan niatnya. Namun, Arya Wrekodara menolak karena sudah terlanjur menyanggupi. Raden Permadi menanggapi bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah didesak Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua. Prabu Puntadewa membenarkan hal itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu Duryudana semasa muda dibantu Patih Sangkuni pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap para Pandawa beserta Dewi Kunti dalam peristiwa Balai Sigalagala.

Arya Wrekodara berkata bahwa dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan lagi mengungkit-ungkit soal Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru melanggarnya perkataannya sendiri? Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara sama-sama berguru kepada Wasi Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan mengumumkan bahwa Prabu Duryudana (saat itu masih bernama Raden Kurupati) telah bertobat dan ingin memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Untuk itu, para Pandawa tidak boleh lagi menganggap Kurawa sebagai musuh. Sungguh mengherankan, mengapa sekarang tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh prasangka buruk, menduga Prabu Duryudana pasti telah mendesak Resi Druna untuk mencelakakan dirinya?

Dewi Kunti sangat sedih karena Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi mencebur samudera. Karena terlalu sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu, Dewi Drupadi segera memapah tubuhnya masuk ke dalam kedaton.

Raden Nakula dan Raden Sadewa ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya Wrekodara kiri dan kanan, meminta agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis meratapi nasib sebagai anak yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah dan ibu. Mereka menganggap Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini. Arya Wrekodara tidak hanya berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai ibu bagi mereka. Dulu saat kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke sana kemari. Juga apabila tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati dilalap kobaran api dalam peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden Sadewa menganggap Arya Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.

Arya Wrekodara merasa bimbang untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk mengetahui seluk-beluk ilmu Sangkan Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun mengibaskan tangan si kembar, lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata dirinya bersifat kaku, tidak bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun menjunjung tubuh si kakak sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus dan suci, ia meminta restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika niatnya bengkok, maka relakanlah dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa ikan hiu.

Prabu Puntadewa melihat semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya Wrekodara semoga berhasil meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak sulung kemudian mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa yang lain melepas kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak mereka masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang Mahakuasa, memohon yang terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.

Arya Wrekodara berusaha memantapkan hati. Ia menuruti bisikan kalbunya agar berjalan menuju arah selatan. Di tengah jalan tiba-tiba dirinya berjumpa dengan sang kakak angkat, yaitu Resi Anoman, sesama Kadang Tunggal Bayu yang tinggal di Padepokan Kendalisada.

Resi Anoman bertanya apa tujuan Arya Wrekodara berjalan ke selatan. Arya Wrekodara menjelaskan semuanya dari awal, yaitu ia ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi kepada Resi Druna. Resi Anoman tampak kecewa dan meminta sang adik agar kembali. Apa gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu perang, bukan guru ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara Bisma. Mereka berdua jauh lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna terkenal sebagai pendeta mata duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu Duryudana, muridnya sendiri yang kaya raya.

Arya Wrekodara merasa kecewa dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama ialah Resi Anoman telah menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu menilai orang dari luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang pendeta ternyata pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka membanding-bandingkan antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang pendeta itu lebih teduh pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur budi pekertinya. Menghakimi Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena didorong perasaan amarah semata, bukan hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi hati yang jernih.

Resi Anoman tersinggung atas ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara untuk memaksanya kembali. Arya Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu berkelahi. Arya Wrekodara berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat, maka cita-citanya pasti akan tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun berhasil meloloskan diri dari pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Samudera Minangkalbu.

Resi Anoman tersenyum melihat kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah ingin mencoba keteguhan tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat serta niat yang lurus dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya Wrekodara mendapat keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan Yang Mahakuasa.

Arya Wrekodara telah sampai di tepi laut selatan. Tampak ombak bergulung-gulung membuat hatinya bergetar. Sejak kecil dirinya kurang pandai berenang, namun kini terlanjur menyanggupi untuk mencebur samudera, mencari keberadaan air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Pikirannya pun berbisik sebaiknya pulang saja dan meminta Resi Druna memberikan tugas lainnya yang tidak berhubungan dengan air.

Tiba-tiba di atas kepala Arya Wrekodara tampak seekor burung gagak dan seekor burung patukbawang sedang terbang berputar-putar. Arya Wrekodara seolah-olah bisa mendengar mereka berbicara tentang kematian. Mereka berkata bahwa hidup atau mati ada di tangan Sang Pencipta. Mencebur ke dalam lautan bisa jadi tetap selamat, sedangkan tidur di rumah bisa jadi tidak bangun lagi untuk selamanya. Arya Wrekodara merasa tersindir. Sebagai kesatria ternyata ia kalah pemikiran dibanding dua ekor burung kecil. Dengan membulatkan tekad, ia pun melompat sejauh-jauhnya, dan tubuhnya pun mencebur ke dalam lautan.

Ternyata benar, Yang Mahakuasa memberikan perlindungan kepadanya. Cincin Druwenda Mustika Manik Candrama pemberian Batara Indra dan Batara Bayu telah membuat tubuh Arya Wrekodara mengambang. Ia pun berjalan dengan kaki di dalam air menuju ke tengah. Semakin lama, makin ke tengah menuruti bisikan kalbunya.

Tiba-tiba muncul sesosok makhluk berwujud besar dan panjang menyambar tubuhnya. Makhluk tersebut berwujud naga yang langsung membelitnya mulai kaki hingga leher. Arya Wrekodara pun meronta-ronta. Namun, semakin meronta, belitan sang naga justru semakin erat. Ketika mulut si naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Wrekodara sempat menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga itu pun mati dan bangkainya musnah dari pandangan.

--
Sent from myMail for Android

Tidak ada komentar:

Posting Komentar