5.15.2019

@bende mataram@ Bagian 52




@bende mataram@
Bagian 52


DENGAN berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di
samping Wirapati. Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya.
Hatinya bisa menduga apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat
adiknya mampus begitu terhina di tengah lapangan.


"Iblis itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya
tak kuasa mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga
kita belajar menembak," katanya perlahan.


Wirapati adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci
senjata bidikan. Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut.
"Bukan karena mesiu pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat
mengenai lubang kelemahannya."


"Bagaimana kautahu?"


"Pertama-tama kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari
gempuran cempulingmu. Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku
begitu? Kedua, tembakan pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang
se-mendjak kau memasuki gelanggang sudah terpikir olehku tentang
tempat-tempat kelemahannya. Cuma saja aku belum berhasil menemukan."


Jaga Saradenta tercengang.


"Eh, Wirapati! Dalam soal kecerdasan otakmu jauh lebih encer daripadaku.
Coba terangkan kenapa kamu mendapat kesan begitu." Katanya dengan suara
meninggi.


"Karena aku tak percaya manusia bisa sekebal itu. Dalam cerita-cerita kuno
tak pernah dikisahkan tentang riwayat kekebalan seseorang yang bebas dari
semua senjata. Dia mempunyai keistimewaan hebat. Menghisap darah untuk
meyakinkan ilmunya. Justru cerita itu mendadak saja berkelebatlah suatu
bayangan di dalam benakku."


"Apa itu?" Jaga Saradenta tertarik. "Apa kau dapat ilham dari pekerti
gurumu ketika tiba-tiba mendatangkan gadis-gadis untuk mengacaukan
perhatian si iblis?"


"Itupun termasuk bahan keyakinanku," jawab Wirapati. "Tetapi aku teringat
pada kisah Guntur Wiyono."


"Apa itu Guntur Wiyono?"


"Bagian kisah dari Arjuna-Wiwaha. Guntur Wiyono dimaksudkan adu
kesaktian5). Yakni perang tanding antara Arjuna dengan raja raksasa
Niwatakawaca. Seperti kau ketahui Niwatakawa-ca adalah raja raksasa yang
mendapatkan kesaktian dari Hyang Rudra. Meskipun demikian ada kelemahannya.
Tempat kelemahannya ada pada ujung lidahnya. Kelemahan ini tak dapat
diketahui para dewa. Bahkan Hyang Manikmaya sendiripun tak kuasa
menandingi. Hanya Arjuna bernasib baik. Dengan pertolongan bidadari
Su-praba diketahuilah tentang kelemahannya. Maka dalam pertempuran itu
sengaja ia menjatuhkan diri berpura-pura gugur. Raksasa Niwatakawaca
tertawa terbahak-bahak karena merasa menang perang. Justru karena kelalaian
yang sedikit itu terbidiklah panah Arjuna tepat mengenai ujung lidahnya."


Mendengar keterangan Wirapati yang menarik hati itu Jaga Saradenta
kegirangan sampai ber-jingkrak. Hatinya bangga mempunyai seorang kawan yang
begitu mengenal sastra. Tak terasa ia berkata, "Bagus! Bagus! Jadi karena
kisah kuno itu kamu mendapat ilham? Ah! Kecerdasanmu tak berada di bawah
gurumu! Pantas kamu tadi terjungkal kena serangan


Pringga Aguna. Kamu pura-pura mampus ya seperti Arjuna?" "Ih!" Wirapati
tertawa geli. "Aku bukan Arjuna."


"Lantas?"


"Aku benar-benar terjungkal karena perhatianku terpusat pada Sangaji."


Jaga Saradenta diam menebak-nebak. Berkata pelahan, "Bagaimanapun juga,
kamu hebat! Seandainya aku mempunyai pikiran demikian pastilah aku bisa
berkelahi lebih mantap. Dasar otakku tumpul!"


Wirapati tertawa nyaring.


"Kau jangan terburu-buru memujiku! Selama pertempuran tadi belum kutemukan
tempat ke-lemahannya. Barangkali kalau Sangaji tidak kebetulan menembak
tempat kelemahannya, belum tentu dalam sepuluh hari aku berhasil
mengetahuinya."


Selama mereka berbicara, Sangaji tetap membisu. Hatinya sedang menduga-duga
tentang peristiwa perkelahian tadi. Ia mendapat kesan tentang hebatnya
pertempuran, tetapi latar belakang terjadinya pertempuran masih samar-samar
baginya. Untuk minta penjelasan, rasanya kurang sopan.


"Sangaji!" kata Jaga Saradenta tiba-tiba. "Berbahagialah kamu, karena
mendapat guru sepandai Wirapati. Aku sudah begini tua. Tetapi dengan
kejadian tadi, aku yakin kamu seorang anak yang mempunyai rejeki besar.
Kautahu, musuh gurumu sudah malang-melintang selama 50 tahun lebih tanpa
lawan. Akhirnya dengan tak sengaja, kamu berhasil menumbangkannya. Cuma
saja aku berpesan kepadamu, janganlah kejadian malam ini kauceritakan
kepada siapa pun juga. Kamu mau berjanji?" Sangaji mengangguk.


Jaga Saradenta kemudian menerangkan tentang terjadinya pertempuran dan
mengapa dia dilarang bercerita kepada siapa pun juga. Sebab Pringga Aguna
masih mempunyai seorang kakak bernama Pringgasakti yang lebih berbahaya.
Setelah itu ia mengalihkan pembicaraan tentang terjadinya pertemuan antara
Sangaji dan Wirapati.


"Munculnya si iblis sampai merenggutkan kewajibanku yang pertama," katanya
menyesali diri sendiri. "Seumpama aku tadi mampus dalam tangan iblis
sia-sialah perjalananmu ke daerah Barat."


Wirapati segera menceritakan tentang pertemuannya dengan Sangaji. Setelah
itu ia berkata, "Besok, keempat musuhmu yang memukulmu datang ke lapangan.
Kamu akan dihajarnya kembali. Melawan mereka bukan pekerjaan berat. Malam
ini kuajarkan kau tiga jurus. Tetapi kamu kularang mendekati lapangan
selama setengah bulan, sampai peristiwa pembunuhan Pringga Aguna mereda."


Sangaji mengerti maksud gurunya. Ia mengangguk kembali dan berjanji akan
taat pada pesan itu. Kemudian ia dibawa ke pantai untuk menerima tiga jurus
ilmu berkelahi.


"Sekarang, ayo berlatih!" perintah Wirapati.


Tiba-tiba saja ia mengkait kaki Sangaji dan ditarik cepat. Tak ampun lagi,
Sangaji jatuh tengkurap.


"Ah!" bentak Jaga Saradenta. "Bakatmu terlalu miskin!"


Nada suara Jaga Saradenta terdengar sangat kecewa. Ia memang berwatak
terburu nafsu dan mudah dikecewakan oleh suatu kenyataan yang tak cocok
dengan otaknya.


"Delapan tahun kami mencarimu. Masa kami kausuguhi suatu permainan lemah
macam pe-rempuan? Berdiri dan berlatihlah sungguh-sungguh!"


Sangaji sebaliknya seorang anak yang mudah tersinggung. Dulu dia pernah
membandel terhadap hajaran Mayor de Groote semata-mata karena harga dirinya
tersinggung. Sekarang ia didamprat demikian rupa. Karuan saja bangkitlah
rasa harga dirinya. Dengan pandang murka ia


berkata nyaring kepada Wirapati. "Mengapa sebelum aku siaga Guru mengkait
kakiku?"


"Ini namanya adu kecekatan dan kepandaian," sahut Wirapati. "Hati dan
otakmu harus bersatu sehingga dapat kauajak menduga-duga sebelum musuh
bergerak."


Sangaji diam berpikir. Ternyata otaknya cerdas juga. Segera ia sadar dan
mengerti. "Baik—sekarang Guru boleh mencoba mengkait lagi."


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar