5.20.2019

@bende mataram@ Bagian 54




@bende mataram@
Bagian 54


"Menurut katamu selama empat puluh tahun kau sibuk mencari si iblis.
Sekarang dia bahkan akan mencarimu, mengapa mendadak jadi berubah sikap?"


"Bukan aku takut pada si iblis. Tapi dia bersembunyi di belakang kekuatan
kompeni. Aku mau mati bertarung melawan dia. Sebaliknya tak rela aku mati
di tiang gantungan kompeni. Di alam baka sukmaku akan berkeliaran penasaran."


"Janganlah berkecil hati. Aku akan menemanimu jadi setan liar." Wirapati
tetap menggoda. "Paling penting, sekarang kita mencari keyakinan dulu,
apakah si iblis Pringga Aguna benar-benar sudah mampus. Sekiranya dia hidup
kembali, kesulitan kita berlipat. Kita berdua tidak ada harapan lagi buat
hidup aman merdeka di kota Jakarta ini."


Satu malam suntuk mereka berdua berusaha mencari mayat Pringga Aguna.
Tetapi usahanya sia-sia belaka. Makiumlah, selain malam hari mereka pun
tidak punya pegangan. Meskipun demikian sampai pagi hari mereka terus
berputar-putar mengelilingi lapangan


Akhirnya, mereka duduk beristirahat di tepi pantai menghirup angin laut.
Mereka diam. Masing-masing tenggelam dalam benaknya sendiri. Tak lama
kemudian matahari benar- benar telah tersembul di langit. Seperti telah
berjanji, mereka saling memandang lalu saling memberi isyarat untuk
meneruskan penyelidikannya. Mereka bangkit berdiri dengan berjalan
berendeng. Kembali mereka mengarah ke lapangan, mendadak Wirapati melihat
percikan darah. Tak jauh dari tempat itu dilihatnya sepotong lengan
menggele-tak di dekat seonggok pasir. Cepat ia memberi isyarat dan dengan
hati- hati menyapukan pandangannya.


"Kita jauhi tempat ini. Siapa tahu, ini hanyalah umpan!" bisik Wirapati
agak gugup.


Mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan jalan memutar. Di dekat sebatang
pohon dikete-mukan pula sepotong kaki utuh dengan pipa celana. Jelas—itulah
potongan celana Pringga Aguna. Meskipun demikian mereka masih ragu juga.
Mereka berjalan lagi. Kini membelok ke kiri mengarah petak-petak hutan. Di
dekat gerumbulan mereka menemukan sepotong lambung. Sekarang mereka yakin
benar, kalau semua yang ditemukan adalah potongan-potongan tubuh Pringga Aguna.


Wirapati segera menarik lengan Jaga Saradenta untuk meninggalkan tempat itu
secepat mungkin. Mereka tak berani menggunakan ilmu berlari cepat, agar
tidak menarik perhatian seseorang.


"Nah, apa pendapatmu?" Jaga Saradenta minta pertimbangan. "Siapa yang
memotong mayat Pringga Aguna? Binatang buas atau teman-teman dari Jawa
Barat tadi?"


"Keduanya pasti tidak," jawab Wirapati cepat. "Apa perbuatan kakaknya?"
"Siapa lagi?"


"Mengapa berbuat begitu?"


"Untuk menghilangkan jejak sambil menjebak si pembunuh adiknya." "Apa
menurut pendapatmu kita tadi sudah masuk perangkap?"-


"Kita lihat nanti." Jaga Saradenta menyelidiki kesan muka Wirapati.
Sepertinya Wirapati berbicara sungguh-sungguh. Karena kesan itu ia mulai
berpikir keras. Seandainya kita telah diketahui, mengapa tak langsung
menghadang? Wirapati mencoba menyangkal.


"Gntuk membalaskan dendam adiknya, bukan pekerjaan sulit baginya. Kukira
dia masih menunggu bukti-bukti yang lebih yakin lagi. Jika tidak begitu,
dia akan tetap berada di sekitar kita dan berusaha membunuh kita
perlahan-lahan. Atau dia akan membuat jebakan-jebakan baru, sehingga kita
nanti mati sendiri karena ketakutan. Inilah cara mampus menanggung sengsara."


Jaga Saradenta mendongkol berbareng geli mendengar ujar Wirapati. Tetapi
tak berani menyangkal pendapat Wirapati. Diam-diam dia berpikir, iblis itu
memang mempunyai cara dan akal sendiri untuk balas dendam. Baiklah mulai
sekarang aku bersikap waspada dan hati-hati.


"Wirapati," katanya, "sebenarnya kita harus gembira dan bersyukur pada
Tuhan, karena akhirnya usaha kita mencari si bocah tidak sia-sia. Tetapi
mendadak persoalan baru itu muncul tanpa kukehendaki sendiri. Apa kamu
menyesali aku?"


"Musuhmu adalah musuhku," sahut Wirapati membesarkan hatinya. "Perkara si
bocah jatuh nomor dua. Seandainya nasib kita buruk, biarlah kita berdua
mati di rantau. Tapi Tuhan menjadi saksi, kalau kita berdua telah menemukan
si bocah. Marilah kita berlomba menjejali si bocah dengan ajaran-ajaran
yang berdaya guna. Seandainya kita mati di tengah jalan, setidak-tidaknya
si bocah pernah menjadi murid kita berdua."


"Wirapati! Tak kukira kamu berhati jantan se-' perti gurumu. Aku si orang
tua takkan pernah menyesali lagi hidup di kolong langit ini," ujar Jaga
Saradenta terharu.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar