5.29.2019

@bende mataram@ Bagian 55




@bende mataram@
Bagian 55


Semenjak itu WIRAPATI dan JAGA SARADENTA tekun mewariskan ilmu-ilmunya
kepada Sangaji. Tempat berlatihnya di tepi pantai atau di tengah hutan yang
sunyi dari manusia. Mereka berusaha menjauhi lapangan tempat berlatih
menembak para serdadu. Dengan demikian, tanpa disengaja Sangaji menghindari
ancaman kaki-tangan Mayor de Groote yang berjanji mau menghajarnya sampai
cacat.


Tetapi pada suatu hari Willem Erbefeld pulang ke rumah. Segera ia mendesak
agar Sangaji berlatih memahirkan menembak pistol. Dia merencanakan mau
menurunkan ilmunya menembak mahir dengan senapan.


Terpaksalah Sangaji minta izin kedua gurunya untuk membagi waktu. Pada pagi
hari dia bersekolah berbahasa Belanda. Sore hari berlatih menembak dengan
pistol. Dan pada malam hari menghadang kedua gurunya di tepi pantai atau
tempat-tempat pertemuan yang telah ditentukan.


Rukmini telah mengetahui tentang adanya Wirapati dan Jaga Saradenta. Pernah
dia bertemu, berbicara dan berunding. Untuk mata-pen-caharian hidup,
Rukmini sanggup memikulnya dengan berjualan. Jaga Saradenta masih mempunyai
sisa bekal hidup. Meskipun tidak berjumlah banyak, cukuplah buat modal
pengukir waktu.


Syahdan,—pada suatu sore tatkala Sangaji sedang sibuk berlatih menembak
pistol, datanglah seorang gadis tanggung. Dialah si Sonny, gadis Indo yang
pernah dikenal Wirapati sewaktu rombongan utusan dari Yogyakarta datang ke
Jakarta.


"Hai!" tegurnya. "Sejak kapan kau berlatih menembak?" Sangaji tak
berprasangka buruk padanya. Memang pada saat tertentu banyak kanak-kanak
tanggung datang menonton dan mengagumi. Hanya saja ia heran mendapat kesan
pandangan si gadis.


Sonny ternyata seorang gadis tanggung yang sedang mekar. Gerak-geriknya
setengah kekanak-kanakan, setengah pula menggairahkan, la lincah dan
berhati polos seperti adat seorang keturunan orang barat. Belum lagi
Sangaji menjawab tegurnya, ia lantas menghampiri.


"Ini pistolmu?" tanyanya lagi. Sangaji menggelengkan kepala. "Kau mencuri?"


"Mencuri?" Sangaji merasa tersinggung. "Ini pistol kakakku." "Siapa?"
"Willem Erbefeld."


"Cis! Keluarga pemberontak bukan?"


Merah padam Sangaji mendengar cela si gadis. Segera ia mau membentak,
tetapi dilihatnya si gadis tetap berwajah dingin.


"Keluarga pemberontak tak boleh menyimpan pistol," katanya lagi.


Habis kesabarannya Sangaji yang mudah tersinggung. Lantas saja mendamprat.
"Kau siapa sih, berani ngomong seenaknya?"


"Memangnya siapa aku?" sahut Sonny cepat.


Muka Sangaji merah padam. Mendadak dilihatnya empat orang pemuda tanggung
berdiri tak jauh daripadanya. Keempat pemuda tanggung itu bertolak pinggang
dan melihat tajam padanya. Siapa lagi kalau bukannya Jan de Groote, Karel
Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong. Sudah hampir dua bulan lama-nya
mereka berempat mencari-cari kesempatan mau menghadiahkan bogem mentah
padanya. Tapi Sangaji tak pernah muncul di tengah lapangan. Pada suatu hari
mereka mendapat kabar dari Mayor De Groote kalau Sangaji mulai berlatih
menembak pistol lagi semenjak Kapten Willem Erbefeld pulang dari dinas luar
daerah. Mereka lantas mencari dalih pertengkaran. Sore itu mereka
mengirimkan si Sonny agar datang menggodanya. Begitu melihat muka Sangaji
merah padam, lantas saja mereka berempat menghampiri. Jan De Groote
kemudian mendamprat. "Anjing Jawa, kau berani kurang ajar pada seorang noniek?"


"Emangnya kau anggap apa noniek ini?" sambung Karel Speelman.


"Rupanya dia habis bertengkar sama seorang gadis. Anjing Jawa hanya berani
berlawanan dengan seorang gadis. Cuh!" sambung Tako Weide-ma.


"Babi ini, perlu kita hajar!" bentak Pieter De Jong.


Sangaji meskipun berotak cerdas tak pandai berbicara tajam. Dihujani
dampratan begitu rupa, mukanya merah padam. Seluruh tubuhnya bergemetaran
karena menahan marah. Lagipula hatinya masih dendam pada mereka.


Sekarang ia berprasangka jelek pada si Sonny. Kedengkiannya lantas saja
meluap. Didoronglah si Sonny ke pinggir sambil membentak, "Kau ular hijau,
enyahlah!"


Sonny jadi terkejut. Memang ia tahu, dirinya dikirim ke lapangan untuk
membangkitkan amarah Sangaji. Tetapi tak pernah dia menyangka akan
diperlakukan demikian. Dasar dia masih kanak-kanak. Lantas saja dia
menggerutu emoh dipersalahkan. Mendamprat.


"Kenapa kau mendorongku? Apa aku memukulmu?"


Sangaji tergugu. Diam-diam ia merasa bersalah karena terburu nafsu. Ia mau
minta maaf, mendadak keempat pemuda tanggung itu bersama-sama maju menyerang.


Sangaji sekarang, bukan lagi Sangaji dua bulan yang lalu. Ia bersikap
tenang, tajam dan tahu menjaga diri. Keruan saja keempat pemuda Belanda itu
menumbuk batu. Begitu mereka maju dengan cepat Sangaji menggunakan jurus
ajaran Wirapati. Ia mengelak, sambil kakinya mengkait. Tinjunya dilontarkan
mengarah dada. Kemudian membalik menyiku sambil mengirimkan tendangan
berantai ajaran Jaga Sa-radenta. Seketika itu juga, keempat pemuda Belanda
jatuh terjengkang dan saling bertubrukan.


Sangaji sendiri kurang latihan. Meskipun bisa menjatuhkan lawan, ia masih
belum dapat mem-pertahankan dorongan tenaga lawan, la berkisar dari
tempatnya dan jatuh terguling. Tetapi ia dapat berdiri tegak dengan gesit.


Jan De Groote heran bukan main. Sama sekali tak diduganya kalau serangan
mereka berempat bisa korat-karit.


"Hai anjing jawa! Kau bisa berkelahi sekarang?"


"Aku bernama Sangaji. Bukan anjing Jawa atau anjing Belanda," sahut Sangaji
gemetaran.


"Aku senang memanggilmu anjing Jawa," damprat Jan De Groote. Matanya
mengerling kepada si Sonny hendak mencari pujian. Memang ia menaruh hati
pada si gadis cilik. Sonny sengaja disuruh melihat perkelahian itu. Dia
yakin bakal menang. Bukankah akan naik harga dirinya di mata si gadis?


Karel Speelman dan Pieter De Jong berwatak brangasan. Tanpa berbicara lagi
mereka berdua lantas menyerang. Sangaji menggunakan ilmu ajaran Saradenta
yang berpokok kepada kedahsyatan dan keuletan tenaga. Serangan Karel
Speelman dan Pieter De Jong ia sambut keras lawan keras. Kesudahannya
hebat, la tergetar mundur tiga langkah. Tetapi Karel Speelman dan Pieter De
Jong jatuh terpental dan terguling ke tanah. Menyaksikan itu, Jan De Groote
bertambah heran. Diam-diam ia menduga-duga, hai anak ini dari mana mendapat
tenaga dahsyat. Biar kucobanya.


Ia kemudian melompat maju dan menyambar rahang Sangaji. Dengan mudah
Sangaji mengelak. Tetapi mendadak saja Tako Weidema merangsak dari kiri.
Terpaksa dia mundur. Segera juga ia ingat ajaran Wirapati; 'dalam suatu
pertempuran jangan biarkan dirimu dipengaruhi gerakan-gerakan musuh.
Sebaliknya kamu harus mempengaruhi dan kemudian perlahan-lahan kau menguasai'.


Teringat akan ajaran Wirapati, ia cepat-cepat merubah cara berkelahi. Tadi
dia membiarkan dirinya diserang lawan dan dia hanya menangkis belaka.
Sekarang baiklah aku menyerang! pikirnya.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar