@bende mataram@
Bagian 45
"Ya, Kyai Haji Lukman Hakim adalah guruku," sahut Jaga Saradenta. "Seketika
itu juga gurumu dapat menduga. Mereka berdua kalau tidak mendapat wahyu
sewaktu bertapa pastilah mempunyai ilmu kesaktian yang hebat. Sekiranya
dua-duanya tidak, pastilah mendapat ilmu sakti warisan atau bantuan
kekuatan gaib. Mempunyai dugaan begini, gurumu memperhebat rangsakannya.
Gurumu mengeluarkan ilmu-ilmu saktinya yang tinggi. Tapi, semuanya dapat
dilawan oleh kedua iblis dengan jurus-jurus sederhana tetapi penuh tenaga.
Di kemudian hari gurumu mengakui, kalau hampir saja dikalahkan karena
merasa tak tahan lagi. Mendadak selagi gurumu mempertaruhkan nyawanya dalam
suatu pertempuran yang menentukan pada hari ketujuh, terciumlah suatu bau
anyir. Gurumu kaget. Mula-mula mengira kedua iblis itu melepaskan suatu
mantran gaib. Tetapi setelah bertempur setengah hari ternyata bau anyir itu
tidak mempengaruhinya. Gurumu yang bermata tajam bahkan mengetahui kalau
tenaga mereka berdua makin lama makin susut berbareng dengan menajamnya bau
anyir itu. Ternyata bau anyir datang dari keringat mereka. Pada saat itu
teka-teki yang menutupi benaknya lantas saja tersingkap. Untuk memperoleh
kenyakinan gurumu meloncat ke luar gelanggang sedang aku disuruhnya
memasuki gelanggang."
"Hebat!" Wirapati memuji. "Lantas?"
Terbukalah kedoknya," sahut Jaga Saradenta cepat. "Sungguh tak terduga
ternyata ilmu sesat itu benar-benar tangguh. Bagaimana bisa masuk akal,
tubuh seseorang bisa menjadi kuat luar biasa hanya semata-mata menghisap
darah seorang gadis sesudah diperkosanya! Begitu mereka berdua kena
gempuran gurumu, seketika itu juga terpental ke udara seperti layang-layang
putus. Mereka luka parah. Kalau orang biasa pastilah rontok tulang rusuknya
kena gempuran gurumu. Tetapi mereka masih berdiri. Malahan bisa lari
sepesat angin." "Sayang, ya."
"Ya—sayang." Jaga Saradenta menghela napas, sambil menunduk dalam. Kemudian
mendongak seolah-olah ingin melepaskan diri dari suatu ingatan buruk.
"Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadilah Perjanjian Giyanti. Pangeran
Mangkubumi I naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono I. Selama itu kedua
iblis Pringgasakti dan Pringga Agu-na tidak muncul lagi dalam percaturan.
Semua orang mengira mereka sudah mati akibat gempuran gurumu. Tak tahunya,
tiba-tiba nama mereka disebut-sebut kembali. Kini mereka berdalih menjadi
teman seperjuangan."
"Kenapa begitu?" Wirapati heran.
"Karena kompeni Belanda, Susuhunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengku
Buwono I mempunyai kepentingan yang sama, bersama-sama menggempur Raden Mas
Said yang meneruskan perjuangan menuntut hak. Dua tahun kemudian—tahun
1757--RadenMas Said dapat dikalahkan. Atas persetujuan Gubernur Hartingh
beliau dinobatkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara
atau Pangeran Miji. Inilah hasil dari suatu kebijaksanaan Perjanjian
Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757."
Jaga Saradenta berhenti. Kemudian meneruskan kembali. "Permusuhan antara
gurumu dengan kedua iblis itu sementara berhenti. Gurumu pulang ke tempat
asal—ke Desa Sajiwan Gunung Damar. Mendadak pada suatu hari terjadilah
suatu peristiwa yang mengejutkan."
"Apa mereka menyerang guru di padepokan Sejiwan?"
"Tidak—mana mereka berani?" sahut Jaga Saradenta. 'Ternyata mereka dulu
mendapat pertolongan dari Kyai Haji Lukman Hakim."
"Terang-terangan mereka berdua musuh guruku. Bukankah musuh Kyai Haji
Lukman Hakim juga? Menurut guru, Kyai Haji Lukman Hakim adalah salah
seorang sahabatnya."
"Betul. Akupun datang membantu gurumu atas perintah Beliau. Sebab Beliau
adalah guruku." "Ya—kamu sudah menerangkannya tadi. Soalnya, kenapa gurumu
mau menolong mengobati."
"Pertama-tama, karena guruku seorang berbudi. Kedua, karena mereka berdua
sudah beralih menjadi teman seperjuangan. Patih Pringgalaya menekan agar
guruku mau mengobati. Kedua iblis itu disebutkan sebagai saudara
seperguruannya. Mereka bernama Pringgasakti dan Pringga Aguna. Itulah
mulanya kami mengenal si Abu dan si Abas bernama Pringgasakti dan
Pringga Aguna. Tetapi justru oleh kemurahan hati itu, timbullah suatu
malapetaka." "Mereka membunuh gurumu?" Wirapati memotong tak sabar.
"Tidak. Tetapi samalah," sahut Jaga Saradenta. "Guruku mempunyai seorang
gadis. Jumirah namanya. Dulu beliau pernah mengatakan dialah calon istriku.
Sebagai seorang gadis tabib yang sedang mengobati dia menolong merawat
kedua iblis itu. Ah, tak tahunya... "
"Apa iblis itu menculiknya lantas di... "
"Ya," sahut Jaga Saradenta tinggi dan tangannya menggempur tanah. "Akupun
tak punya ke-kuatan. Kucoba mengejarnya, tetapi yang kutemukan hanya
mayatnya. Betapa hancur hatiku saat itu tak terperikan. Kucari dua iblis
itu untuk balas dendam. Tapi aku bisa dikalahkan, bahkan hampir mati.
Gntung, gurumu datang. Bersama-sama dengan guruku, gurumu menghajar mereka.
Tapi kedua bangsat itu melarikan diri dan lenyap dari percaturan. Empat
puluh tahun lamanya mereka berdua hilang lenyap. Tak tahunya, sekarang
muncul kembali begitu garang. Hm..!"
Wirapati dapat merasakan betapa besar dendamnya. Darah kesatrianya bergolak.
"Ayo! Guruku dulu pernah bekerja sama dengan gurumu. Sekarang biarlah aku
membanlumu melampiaskan dendam." Kata Wirapati dengan lantang.
Perlahan-lahan Jaga Saradenta merenungi raut-muka Wirapati. la menghela
napas. "Terima kasih. Ayo, kita tolong dulu kelima orang perantaian itu."
"Siapa mereka?" Wirapati heran.
"Tak tahu siapa mereka dan tak peduli siapa mereka, tetapi aku akan
menolongnya. Sebab mereka adalah tawanan kedua iblis itu."
"Dari mana kau tahu?"
"Mereka orang-orang dari Banten, Tangerang, Serang, Rangkasbitung dan
Pandeglang, tereka itu salah satu korban keganasan kedua bangsat Abu dan
Abas. Kau belum pernah kawin. Apalagi membayangkan arti seorang anak.
Barangkali kamu menganggap peristiwa tu lumrah. Karena itu biarlah aku
sendiri yang..."
"Sekali lagi kamu mengucap begitu, janganlah iagi berkawan denganku." "Kau
tak menyesal?" "Mengapa menyesal?"
Tujuanku yang utama mau mengadu nyawa dengan kedua iblis itu. Kelima
perantaian itu hanya kubuat umpan agar kedua iblis itu mengejarku. Akan
kupancing mereka supaya terpisah " lingkungan kompeni."
"Bagus! Kau tadi menjenguk gedung negara semata-mata untuk mencari
keyakinan apakah mereka berdua masih di sana."
"Tepat. Sebab kalau mereka berada di antara kompeni di dalam penjara akan
menyulitkan. Kaubawa senjata?"
Wirapati memanggut. "Ayo, kita berangkat!"
Mereka lantas saja berlari kencang ke tangsi kompeni. Sepanjang jalan Jaga
Saradenta mengisahkan pengalamannya berjumpa dengan kelima perantaian. Ia
berjumpa dengan mereka berlima di selatan kota Jakarta. Mereka membicarakan
tentang si Abu dan si Abas. Tertarik dengan kedua nama itu Jaga Saradenta
lantas saja mengikuti perjalanan mereka.
"Kemudian mereka bertempur melawan Pringgasakti dan Pringga Aguna," kata
Jaga Saradenta. "Mana bisa mereka melawan kedua iblis itu. Sebentar saja
mereka sudah kena ringkus dan menjadi tawanan. Kamu tahu apa yang akan
dilakukan kedua iblis itu? Biasanya mereka dibawa ke tengah lapangan,
kemudian dipaksa bertempur sampai napasnya habis."
"Di adu domba?"
"Bukan! Bukan diadu domba, tetapi dibuat alat latihan mereka berdua. Kau
nanti akan melihat betapa hebat sepak-terjang kedua iblis itu."
Mendengar keterangan tentang kegagahan mereka, hati Wirapati yang usilan
lantas saja ingin mencoba kekuatannya sendiri. Tapi mengingat gurunya tak
kuasa membunuh mereka berdua, bulu romanya meremang.
Tak lama kemudian mereka berdua telah sampai di depan tangsi. Ternyata
tangsi kompeni berdinding tebal tinggi. Nampak juga beberapa serdadu
berjaga di atas menara dengan memanggul senjata. Mereka berdua lantas saja
mengeluh. Terang, mereka takkan mampu meloncati dinding setinggi itu.
Selagi mereka berpikir-pikir, mendadak dilihatnya beberapa orang preman
masuk. Mereka mengenakan pakaian seragam corak Sunda dan datang membawa
minuman dan makanan.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar