@bende mataram@
Bagian 53
Tetapi Wirapati tidak mengkait kaki. Sebaliknya ia menyerang dengan tinju
kanan. Sangaji mengelak ke kiri, tetapi tangan kiri Wirapati justru
memapaki dan menempel tepat di hidungnya. Dan sebelum sadar apa yang harus
dilakukan, tinju kiri Wirapati telah ditarik kembali.
Sangaji tercengang-cengang, tetapi hatinya mendadak jadi girang. Tadi sore
dia hanya menjadi penonton belaka. Kini menjadi muridnya. Kalau
pukulan-pukulan itu diajarkan kepadanya bukankah dia akan menjadi pandai?
Kemudian ia berseru, "Guru! Mengerti aku sekarang. Ternyata pukulan-pukulan
tinju dan serangan-serangan kaki tak serupa dan dapat diatur bagus."
Tanpa meladeni seman muridnya Wirapati berjongkok. Tiba-tiba melompat
menumbukkan kepala ke pinggang Sangaji. Karena tumbukan itu Sangaji jatuh
terguling ke tanah. Tapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tangan
Jaga Saradenta telah menyambarnya dan diberdirikan.
"Nah pelajari dulu tiga jurus itu," kata Wirapati. "Kalau kau
sungguh-sungguh berlatih, orang dewasapun tak gampang mengalahkanmu."
Sangaji girang bukan main. Segera ia sibuk dengan latihan-latihan. Jaga
Saradenta membawa Wirapati agak menjauhi.
"Anak ini miskin bakatnya. Celaka, waktu kita tinggal sedikit." Katanya
agak berbisik.
"Bukan miskin bakatnya, tetapi karena sama sekali belum mengenal ilmu
berkelahi," Wirapati mempertahankan. "Aku menaruh harapan padanya, selama
kita bersabar memberi pengertian lebih dahulu."
"Memberi pengertian?"
"Kita pompakan semangat pembalasan dendam. Kedua, kita beri dongeng-dongeng
orang-orang gagah dan contoh-contoh. Ketiga, kita tilik terus-menerus dan
kita ajak berlatih sungguh-sungguh. Kukira dalam tiga empat tahun bisa kita
lihat hasilnya."
"Menurutmu, pembunuh ayahnya sekarang ada di Jakarta. Mengapa tak
kauperlihatkan sekalian?"
Wirapati tertawa perlahan. "Mestinya begitu. Tapi kamu bikin gara-gara."
"Kok aku?"
"Coba, kalau tidak ada urusan iblis Pringga Aguna, kita bisa leluasa
bergerak. Sekarang, mana berani kita mendekati gedung negara. Salah-salah
bisa tercium penciuman Pringgasakti yang hebat. Bukankah kita tadi saling
berbentur dan bersintuh? Menilik ceritamu, pasti ilmu penciuman
Pringgasakti dapat mencium keringat adiknya."
Jaga Saradenta tergugu. Kata-kata Wirapati benar. Sadarlah dia, mulai saat
itu ia berada dalam pengawasan lawan. Maka sebelum tengah malam ia mengajak
meninggalkan pantai. Malam itu juga ia ingin menyelidiki perkembangan
peristiwa pembunuhan Pringga Aguna.
Sangaji diantarkan pulang. Sekali lagi ia berpesan agar jangan menceritakan
kejadian yang dilihatnya tadi kepada siapa pun juga. Kemudian ditekankan
pula agar pada setiap malam datang berlatih di tepi pantai.
"Sangaji!" katanya lagi. "Aku bersikap keras terhadapmu. Memang adatku
keras. Kalau kau tidak sungguh-sungguh mau aku menggampar kepalamu. Tahu?"
Sangaji memanggut.
"Malam ini biarlah kita berpisah di sini. Kalau semuanya sudah beres, kami
berdua akan
menjumpai ibumu."
Sehabis berkata demikian Jaga Saradenta menarik lengan Wirapati
meninggalkan tangsi. Diapun sebenarnya agak segan mengampiri tangsi. Tetapi
Sangaji jadi tercengang. Kesannya kurang menyenangkan terhadap gurunya yang
satu itu. Pikirnya, belum lagi dia mengajarku, galaknya seperti geledek.
Hiiii...?
Sangaji mengawasi kepergiannya si guru galak sampai tubuhnya lenyap ditelan
tirai malam. Kemudian dengan kepala menunduk memasuki tangsi. Waktu itu
sudah tengah malam. Penjaga di gardu menegor, "Begini malam baru datang.
Dari mana?"
"Menengok Ibu sakit," jawabnya cepat.
Tiap penghuni tangsi mengetahui, kalau ibu Sangaji hidup di luar tangsi.
Maka karena jawaban itu si serdadu tidak bertanya lagi.
***
JAGA SARADENTA membawa Wirapati kembali menjenguk lapangan. Sepanjang jalan
Wirapati mempersoalkan keadaan muridnya. Ia nampak girang dan sayang benar
padanya. Selalu dia memuji, "Otaknya cerdas dan agak licin. Coba ingat,
saat dia sedang berlatih. Selain berkemauan keras, otaknya juga cerdas."
Tapi Jaga Saradenta malas meladeni. Pikirannya lagi terpusat pada mayat
Pringga Aguna. Ia seperti mendapat firasat buruk. Dan benar juga.
Belum lagi ia sampai di pinggir lapangan, terdengarlah derap kuda di kejauhan.
Cepat ia meloncat ke pinggir jalan dan mendekam di balik pepohonan. Ia
melihat sepasukan serdadu berkuda dengan membawa obor. Tak lama kemudian
lapat-lapat terdengar bunyi kentung ritir5).Tanda rajapati7).
Sebentar saja pasukan berkuda itu lewat cepat dan memasuki lapangan. Suara
aba-aba mulai terdengar. Lalu berpencaran dan berputaran.
"Hooo!" terdengar seru kepala pasukan.
Orang itu lantas melompat turun. Serdadu-serdadu yang lain berlompatan
turun pula. Mereka mengerumuni sebidang tanah dengan meninggikan nyala
obor. Tahulah Jaga Saradenta, mereka menemukan mayat Pringga Aguna dan Hasan.
Tetapi akhirnya Jaga Saradenta jadi keheran-heranan. Ternyata mereka hanya
sibuk menggotong mayat Hasan. Setelah itu mereka pergi berderapan
meninggalkan lapangan.
"Wirapati! Yuk, kita periksa!" bisik Jaga Saradenta. Tanpa menunggu jawaban
kawannya, lantas saja ia melesat memasuki lapangan. Benar-benar dia heran.
Ternyata mayat iblis Pringga Aguna tidak ada bekasnya lagi.
"Wirapati, apa pendapatmu? Jelas-jelas dia sudah mampus dan mayatnya
menggeletak di sini. Kenapa sekarang hilang lenyap seperti ditelan bumi?"
"Apa kamu pernah mendengar kabar, kalau dia bisa hidup kembali sesudah
terang-terangan mampus?" sahut Wirapati dingin.
'Tidak! Mustahil dia bisa hidup kembali. Dulu dia pernah dilukai gurumu.
Menurut ukuran manusia dia bisa rontok tulang rusuknya. Ternyata dia hidup
segar kembali, tetapi karena pertolongan guruku. Lagipula, waktu itu aku
melihat dia bisa lari cepat. Lain halnya dengan malam ini. Napasnya sudah
habis ludes. Masa dia bisa menyembunyikan napas?"
"Jika begitu mungkin dia tadi belum mampus. Mungkin pula kakaknya telah
datang menyingkirkan mayatnya."
"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Iblis itu pasti mempunyai harga diri terlalu tinggi. Kalau orang sampai
mendengar di antara mereka berdua ada yang mampus karena pertarungan, di
manakah yang lain bisa
menyembunyikan namanya? Pringgasakti pasti berusaha menyembunyikan mayat
Pringga Aguna agar tak ketahuan orang. Setelah itu dia bersiap-siap
menuntut dendam. Kebetulan sekali ia melihat mayat Hasan. Ia lapor kepada
kompeni agar mereka datang menyelidiki. Dengan begitu ia bisa menggunakan
tenaga kompeni dalam menyelidiki dan mencari jejak si pembunuh mayat si
Hasan. la tinggal membuntuti dari belakang. Tahu-tahu menerkam kita."
Ih! Sungguh bahaya, hati Jaga Saradenta menjadi ciut. Sebaliknya Wirapati
malahan tertawa geli menyaksikan perangainya.
"Mengapa tertawa?" Jaga Saradenta bersakit hati.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar