5.09.2019

@bende mataram@ Bagian 49




@bende mataram@
Bagian 49


Sekarang nasib Kosim tinggal tergantung pada selembar rambut. Ia tak dapat
lagi membela diri maupun mengelakkan serangannya. Sebilah kerisnya
cepat-cepat dilintangkan ke dada. Ujungnya dihadapkan ke depan, siap
ditusukkan ke perut lawan.


Mendadak selagi ia berputus asa berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan itu
kuat luar biasa. Ia membawa sebuah cempuling4) dan menggempur dada Pringga
Aguna. Itulah Jaga Saradenta. Akibatnya fatal.


Pringga Aguna yang sedang memusatkan perhatiannya kepada dada Kosim
tergempur dadanya sehingga terpental mundur dua langkah. Cepat ia mendorong
dengan sekuat tenaga dan Jaga Saradenta tergetar mundur lima langkah. Sudah
pasti kalau tenaga mereka dapat terukur sepintas lalu. Tenaga Jaga
Saradenta masih juga kalah seurat. Tetapi munculnya musuhnya yang keenam
itu mengejutkan hati Pringga Aguna. Diam-diam dia berpikir, malam ini
mengapa aku bertemu dengan orang seperkasa dia?


"Hai monyet, siapa kau?" bentaknya.


Jaga Saradenta berdiri tegak di tanah. Raut mukanya angker dan berkesan
bengis. Dengan menggeram dia menyahut, "Kamu masih ingat dengan Jumirah,
anak Kyai Haji Lukman Hakim?"


Pringga Aguna tercengang. Kemudian tertawa panjang.


"Hauhooo ... bocah! Jadi kau belum mampus? Nyawamu rangkap tujuh, ya."


"Bagus! Kau masih ingat bagaimana kau menghajarku. Kekasihku kau bunuh
lagi. Un-amg, Kyai Haji Lukman Hakim berhasil menolong lukaku. Tapi aku
berjanji, selama hayat masih


dikandung badan..."


"Kau mau menuntut balas?" potong Pringga Aguna dengan tertawa riuh.


"Tak salah," sahut Jaga Saradenta cepat. "Selama kamu belum mampus, tak
sudi aku hidup bersama dalam dunia ini."


Pringga Aguna tertawa tinggi. Dan karena percakapan itu, pertempuran
berhenti dengan sendirinya. Masing-masing mempersiapkan senjata dan berniat
hendak menyelesaikan pertarungan secepat mungkin. Kelima orang dari Jawa
Barat saling memberi isyarat. Mereka mendengarkan percakapan itu dengan
penuh perhatian tetapi tetap waspada.


"Kamu datang dengan lima cecurut itu, apa mereka kawanmu?" tanya Pringga Aguna.


"Kamipun senasib dengan dia," sahut kelima orang dari Jawa Barat dengan
serempak. "Kembalikan gadis kami."


"Ah!" potong Pringga Aguna. "Apa modal kalian mau merunut dendam? Kalian
bosan hidup!"


Mendadak datanglah kesiur angin. Kelima bersaudara itu lantas meloncat
mundur berpencaran. Pringga Aguna ternyata telah mulai menyerang dengan
tiba-tiba. Gntung, mereka cukup waspada. Dan pertarungan terjadi lagi lebih
dahsyat "


Kali ini Pringga Aguna tak berani berlaku ayal-ayalan. Dia bertempur
bagaikan seekor singa. Dua kali cempuling Jaga Saradenta menghantam
pinggangnya. Tetapi Pringga Aguna tetap tak bergeming. Bahkan dia nampak
kian lama kian gagah. Menyaksikan itu, diam-diam mereka mengeluh dan
seluruh tubuhnya meremang. Meskipun demikian, mereka membiarkan dirinya
terpengaruh oleh kekebalan Pringga Aguna. Sadar akan bahaya, mereka
berkelahi kian sengit.


Ketika itu, Pringga Aguna memusatkan perhatiannya kepada Jaga Saradenta.
Diantara keenam lawannya. Dialah yang paling tangguh. Kesiur cempulingnya
menerbitkan angin. Sekalipun tubuhnya tak mempan, tetapi jika mengenai
kepala bisa berbahaya. Karena itu ia melindungi kepalanya rapat-rapat


Mendadak saja ia melihat sesosok bayangan berkelebat di udara. Ia heran
sampai terhenyak beberapa detik. Ia baru sadar tatkala bayangan itu meniup
dan langsung menikam tengkuknya. Buru-buru ia mengendapkan diri dan
meloncat mundur.


Hai siapa kau?" teriaknya. Hatinya gentar juga melihat musuh-musuh yang tak
terduga. "Hm..." dengus Wirapati. la mengulangi setangannya sangat gesit
dan tangguh.


"Hai! Jangan kau mati tanpa nama," damprat Jftingga Aguna. la sadar, kalau
sepak-terjangnya selama ini pasti akan menimbulkan suatu ke-cnaran.
Musuh-musuhnya sangat banyak, muncul satu per satu seperti cendawan di
musim hujan. Tetapi sama sekali tak diduganya, kalau di a*ara mereka
ternyata ada juga yang gagah perkasa.


"Aku Wirapati."


"Wirapati?" Pringga Aguna mengingat-ingat Ia merasa tak mempunyai musuh
bernama Wirapati.


"Aku murid Kyai Kesambi Sejiwan Gunung Damar Kalinongko."


"Ah!" ia terperanjat. "Murid Kyai Kasan?" Diam-diam ia berpikir, apakah
orang tua itu ada pula di sekitar lapangan ini?"


Ia sangsi. Masa Kyai Kasan merantau sampai memasuki kota Jakarta. Tapi itu
bisa terjadi. Hatinya jadi gelisah. Karena gelisah, kehebatannya kendor.
Wirapati mempergunakan kesempatan itu. Sebat luar biasa ia menghujani
serangan beruntun. Jaga Saradenta dan kelima bersaudara merangsak pula
dengan berbareng.


Diserang demikian, jantung Pringga Aguna berkebat-kebit juga. Ia mundur
jumpalitan sambil menangkis serabutan. Memang ia seorang gagah pada jaman
itu. Gerak-geriknya cekatan dan tepat Semua serangan dapat dipunahkan
dengan sekaligus.


"Wirapati!" Pringga Aguna berteriak minta keyakinan. "Apa gurumu ada di
sini?" "Kalau iya, apa pedulimu," sahut Wirapati.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar