@bende mataram@
Bagian 47
"Apa?" mereka berteriak serentak. ' Jaga Saradenta tertawa lewat hidung.
Dalam kegelapan ia menjawab, "Jika begitu, kalian belum mengenal musuh
kalian. Nah, bersyukurlah pada Tuhan, karena kami berdua datang menolong
kalian."
"Kami tak mengharap pertolongan siapa pun juga-"
Jaga Saradenta terperanjat. Tahu, kalau mereka berwatak keras lantas saja
dia mengubah pembicaraan, "Bagus! Bagus!—Untung kami berdua mempunyai
persoalan yang sama. Jika tidak, kalian sulit menuntut dendam pada ja-haman
itu."
Mereka terdiam. Perkataan Jaga Saradenta sedikitpun tak salah. Mereka
pernah bertempur melawan si Abu dan si Abas. Pada akhirnya, mereka dapat
dirobohkan begitu gampang.
Pada saat itu kereta telah sampai di tengah lapangan. Jaga Saradenta
mendahului melompat ke tanah. Cepat ia memberi tanda kepada Wirapati dan
kelima perantaian.
"Di sini kita mengadu nyawa. Sebentar lagi dia pasti datang." Seru Jaga
Saradenta tegas. "Kamu yakin dia bakal datang?" potong Wirapati.
"Empat puluh tahun lebih setan itu selalu terbayang dalam benakku. Mengapa
aku tak mengenal tabiatnya?" Sahut Jaga Saradenta cepat. "Tabiatnya mau
menang sendiri. Larinya
kelima perantaiannya akan dipandangnya sebagai tata-kehormatan diri. Aku
tahu pasti, dia tak mau kehilangan harga diri. Pasti dia akan mengejar
mereka biar sampai ke ujung dunia. Saudara-saudara, carilah tempat
berlindung. Usahakan jangan sampai dia melihat kalian. Jaga tiap penjuru
dan tunggu sampai aku tak dapat bertahan
"Kalian berani mengadu nyawa?"
"Laripun kami tak berguna lagi," sahut mereka serentak. Kemudian seorang
yang berperawakan sedang berkata, "Namaku Atang asal Banten. Lantas ini
Acep dari Tangerang, Hasan dari Serang, Kosim dari Rankasbitung dan Memet
dari Pandeglang. Kami berlima mengangkat diri menjadi saudara angkat. Ada
rejeki kami bagi, ada susah kami pikul bersama. Karena kami mempunyai
kepentingan bersama seperti sau-dara."
"Bagus! Bagus!" puji Jaga Saradenta. "Aku bernama Jaga Saradenta. Dan ini
kawanku Wirapati. Nah, kalian sudah mengenal nama kami. Sekiranya kalian
masih berumur panjang dan kami berdua mampus di sini, lemparkan saja mayat
kami di parit Tak usah kalian ber-susah payah mencari negeri asal kami.
Karena kami berasal dari Jawa Tengah."
"Ah!" mereka berjingkrak
"Sekarang tak ada waktu untuk mendongeng. Ayo kita siaga. Mati dan hidup
kita tergantung pada kerja sama kita."
Jaga Saradenta nampaknya berkata begitu sembrono, tetapi terasa benar
bagaimana ia menekankan tiap-tiap kata-katanya. Mereka yang mendengar
menggeridik bulu kuduknya. Dalam hati mereka berjanji hendak berkelahi
saling membela dan saling melindungi.
"Musuh kita sangat biadab dan bengis," kata Jaga Saradenta lagi. "Tapi
kalian harus menentukan hidupnya."
Mereka lantas saja bekerja. Atang dan Acep mencari bongkahan batu dan
ditumpuk menjadi semacam tempat perlindungan. Hasan mengambil tempat di
sebelah selatan. Dia bersenjata sebilah pedang panjang. Kosim dan Memet di
sebelah barat. Mereka berdua enggan berpisah.
Yang berpikir lain ialah Wirapati. Melihat lapangan ini pikirannya teringat
kepada Sangaji. Sore tadi bukankah dia sudah berjanji hendak menjumpai si
anak? Hatinya jadi kebat-kebit memikirkan pertempuran yang bakal terjadi.
Sekiranya si anak datang, bahaya yang mengancam takkan dapat dielakkan.
Memikir begitu ia hendak mengisiki Jaga Saradenta tentang sudah
diketemukannya si anak. Tetapi Jaga Saradenta sudah berjalan mengarah ke
timur. Terpaksalah dia mengurungkan niatnya, la berdiri tegak
termangu-mangu. Direnungnya kereta kuda yang sengaja ditinggalkan Jaga
Saradenta di tepi jalan. Iblis Abas pasti akan penasaran. Setelah menemukan
tubuh si sais yang babak belur, dia pasti mengejar. Manakala kereta
berkudanya telah dilihatnya, tentu dia akan memasuki lapangan. Pertempuran
bakal terjadi, nad Wirapati tegang dengan sendirinya. *Wirapati, awas!"
teriak Jaga Saradenta tertahan.
Wirapati menoleh cepat. Jauh di sana lamat-lamat ia mendengar langkah cepat
serta ringan. Diam-diam ia memuji ketajaman pendengaran kawannya. Waktu itu
kira-kira pukul sembilan malam. Bulan tanggal sepuluh mulai tersembul d
langit. Remang-remang sinarnya meratakan dri ke seluruh alam. Sesosok
bayangan nampak Oerkelebat di kejauhan. Geraknya cekatan dan mengejutkan.
Hebat! puji Wirapati dalam hati. Pantas guru setanding dengan kegagahannya.
Hm—apa kita bertujuh bisa menang?
Mereka semua melihat kedatangan si iblis. Atang, Acep, Hasan, Kosim dan
Memet pernah bertempur melawannya. Dengan sendirinya te-an mengenal
kehebatannya. Begitu melihat kedatangan si iblis, hati mereka tegang dan
seletak menahan napas.
Jauh di belakangnya nampak pula tiga ba-jangan bergerak-gerak. Itulah
kawan-kawan si sais
yang tadi membawa obor menggiring kelima perantaian. Terang sekali mereka
berusaha me-ayusul si iblis, tampaknya jaraknya bahkan kian E*.
Ketika melihat kereta berkuda yang berhenti di tepi jalan, si iblis Pringga
Aguna lantas saja berhenti dengan mendadak, la merenung sebentar, kemudian
mendongakkan kepalanya ke udara. Tahulah Jaga Saradenta, kalau Pringga
Aguna lagi menebarkan ilmu penciumannya. Dan benar juga, sebentar kemudian
dia tertawa panjang menyayat-nyayat hati.
"Hai jahanam! Kalian kira bisa mengecoh aku?" serunya nyaring.
Suaranya berderuman dan terasa menumbuki dada. Ini hebat! Tak gampang orang
mendapat kekuatan demikian hebat, jika tidak mempunyai ilmu sakti yang
dilatihnya dengan tekun bertahun-tahun lamanya.
Yang paling dekat berada di sekitar si iblis Pringga Aguna ialah Wirapati.
Diam-diam ia berpikir, hebat tenaganya, pantas Jaga Saradenta memuji
kegagahannya.
Cepat ia meraba senjatanya. Wirapati berpikir, kalau sekarang kutikam dia,
sembilan dalam sepuluh pasti berhasil. Tapi kalau dia kebal sampai tak
mempan, parah akibatnya ....
Wirapati ragu-ragu. Karena ragu-ragu, seluruh tubuhnya bergemetar. Hatinya
tegang luar biasa.
Atang, Acep, Hasan, Kosim dan Memet yang menempati penjuru Selatan dan
Barat tegang sampai menahan napas. Ingin mereka meloncat serentak dan
menyerang berbareng. Tapi mereda ingat pesan Jaga Saradenta yang mau
menjajal kegagahan si iblis seorang diri. Maka niat itu dkirungkan.
Pada saat itu ketiga pembantu si iblis datang berturut-turut memasuki
lapangan. Napas mereka tersengal-sengal. Begitu melihat kereta kuda landas
saja mereka berseru serentak, "Itu keretanya."
"Ya, aku tahu," damprat si iblis. "Bagaimana mereka bisa lolos dari
penjagaanmu, itulah soalnya."
Mereka tergugu.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar