5.07.2019

@bende mataram@ Bagian 46

@bende mataram@
Bagian 46


Ah, bukankah mereka sedang berpesta pula untuk menghormat tamu agung? pikir
Wirapati. Tendadak dilihatnya sebuah kereta berkuda berada di depan
penjagaan. Lantas saja teringatlah dia kepada si iblis berkulit kuning yang
tadi meloncat ke dalam kereta berkuda di dalam istana negara. Cepat ia
menghampiri Jaga Saradenta dan berkata dengan gugup.


"Tadi dia menumpang kereta itu." Tadi siapa?"


"Iblis yang berkulit kuning keputih-putihan." "Ah—kapan?"


Dengan singkat Wirapati menceritakan apa yang dilihatnya tadi di halaman
gedung negara. Jaga Saradenta lantas saja termangu-mangu. Alisnya meninggi
dan raut mukanya jadi serius.


"Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja di luar," katanya memutuskan.


Mereka berdua minggir ke tepi jalan dan berlindung dalam gelapnya malam.
Dalam kegelapan mereka melihat bayangan berjalan mondar-mandir tak
berkeputusan. Pantas, tangsi dijaga sangat ketat. Diam-diam Wirapati
berpikir, apa kelima orang itu termasuk tahanan yang sangat penting?


Wirapati tidak paham peraturan militer. Kelima perantaian itu meskipun
bukan tawanan militer akan mendapat penjagaan yang ketat juga, karena
dititipkan pada penjagaan tangsi. Seluruh penghuni tangsi akan ikut
bertanggung jawab sampai tawanan diambil kembali oleh yang menitipkan.


Jaga Saradenta memberi isyarat agar berlaku hati-hati. Meskipun tahu
Wirapati memiliki ilmu tinggi dalam gerak cepat, tetapi ia menduga di dalam
tangsi banyak terdapat kawan-kawan si iblis yang tak boleh dipandang enteng.


Tak lama kemudian di dalam tangsi nampak tersembul suatu cahaya yang
bergoyang-goyang di udara. Empat orang berpakaian preman ke-


-a' dari pintu pagar dengan membawa obor. Jaga Saradenta memberi tanda
kepada Wirapati agar berlindung lebih rapi. Gntung, di depan Tangsi tumbuh
banyak pohon-pohon asam tua sebesar rangkulan tangan. Dengan mudah mereka
berdua mengumpet di belakangnya.


Kelima perantaian tadi sore ternyata sedang Jgiring ke luar. Mereka kini
tak terbelenggu, bahkan nampak menyengkelit senjata masing-masing. Mereka
didampingi empat orang pre-— an yang membawa obor dan dibawa menghampiri
kereta berkuda.


".Masuk!" perintah mereka garang.


Dengan berdiam diri kelima orang perantaian memasuki kereta berkuda.
Kemudian seorang di antara keempat orang pengawal meloncat menyambar
kendali. Lainnya berdiri tegak menghadap pintu pagar seperti ada yang ditunggu.


"Wirapati!" bisik Jaga Saradenta. "Pastilah me--iexa menunggu si Pringga
Aguna. Melompatlah he dalam kereta. Sais itu biarlah kubekuknya.


Habis berkata begitu secepat kilat ia menubruk sais yang sedang
mencengkeram kendali. Dengan kecepatan yang sukar dilukiskan berha-Jah dia
mencekik si sais dan dilemparkan ke ialam kereta. Wirapati menyambutnya dan
dibantingnya ke dasar kereta. Keruan saja kelima perantaian itu terkejut.
Tapi belum lagi mereka dapat berbuat sesuatu, Wirapati telah membisiki,
"Ssst! Kawan sendiri!"


"Kawan sendiri dari mana?" mereka tak mengerti. Tapi suaranya bernada
syukur. Belum lagi Wirapati menjawab kereta telah bergerak.


"Heeeee!" terdengar teriakan dari pintu pagar tangsi.


Jaga Saradenta tak mempedulikan. Niatnya sudah mantap. Kereta mau dilarikan
sekencang mungkin ke lapangan dekat pantai, la meninju pantat-pantat kuda.
Keruan saja kuda-kuda penarik kaget bukan main. Serentak tubuh mereka
melesat bersama dan kereta jadi bergoncangan.


Suara teriakan dari tangsi kian seru. Tetapi mereka belum curiga. Mereka
mengira kuda-kuda penarik sedang binal.


'Tendang ke luar, biar mereka mengejar kita!" seru Jaga Saradenta ke Wirapati.


Wirapati lantas saja menendang orang yang dicekiknya. Orang itu jatuh
bergulungan di jalan. Tak usah diragukan lagi, seluruh tubuhnya jadi
babak-belur.


Kelima orang perantaian kini benar-benar bingung. Tadi mereka mendengar
keterangan, kalau


Wirapati adalah kawannya. Mereka mengira mendapat pertolongan tak terduga.
Mendadak kini berlaku begitu ceroboh, malahan mengharap agar dikejar
penghuni- penghuni tangsi militer.


Saudara siapa?" desak salah seorang di antara mereka kepada Wirapati.
"Kawan sendiri," jawab Wirapati dingin.


"Kawan sendiri bagaimana?" "Kawan sendiri."


"Kawan sendiri dari mana?"


"Jaga Saradenta! Apa yang harus kukatakan?" teriak Wirapati kepada Jaga
Saradenta. "Mereka minta penjelasan."


Jaga Saradenta tertawa berkakakkan "Tenangkan hatimu kawan! Kamipun musuh
iblis Abu dan Abas. Kalian tadi bertemu Abas?"


"Ya. Iblis itu mau membawa kami entah ke mana," sahut salah seorang dari
kelima perantaian.


"Bagus! Kamipun pernah kehilangan seorang gadis. Malam ini aku mau mengadu
nyawa! Kereta ini biarlah kularikan ke tengah lapangan, supaya iblis Abas
mengejar kita. Tenaga kalian kubutuhkan. Masa kita bertujuh tak bisa
mem-bekukdia?"


Mendengar keterangan Jaga Saradenta mereka menggeram berbareng. Terasa
dalam hati Wirapati betapa besar dendam mereka. Dalam kegelapan mereka
saling memandang. Kemudian berkata serentak, "Di atas lautan
peran-tau-perantau bertemu gelombang besar. Apakah tiang agung akan
dibiarkan runtuh?"


"Bagus!" Jaga Saradenta tertawa tinggi, la menghajar pantat-pantat kuda
lagi. "Saudara dari mana?" tanya mereka lagi.


"Aku hanya minta kalian bersatu-padu menggempur musuh," sahut Jaga
Saradenta. Sekarang tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan siapa aku dan
mengapa aku dendam pada iblis itu. Tapi akupun senasib dengan ka-lan.
Bukankah kalian kehilangan seorang gadis juga?"


Mereka menggeram kembali seperti seseorang kena tusuk.


"Bagus!" Jaga Saradenta berkata lagi. "Kita sekarang ke lapangan depan itu.
Kalian membawa senjata?"


'Ya. Iblis itu membiarkan kami membawa senjata?"


"'Wirapati, apa kubilang?" Jaga Saradenta ''memotong cepat. "Mereka akan
dibuat alat berlatih sampai mampus."


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar