@bende mataram@
Bagian 43
"Sudah datang! Mereka datang!" tiba-tiba serombongan pemuda-pemuda Belanda
berteriak di dekat Wirapati. Pemuda-pemuda ini mengenakan pakaian preman.
Di antara mereka terdapat seorang gadis kira-kira berumur enam belas tahun.
Gadis itu keturunan Belanda (Indo) wajahnya cantik dan keagung-agungan.
Perawakannya langsing padat dan gayanya mulai dapat menggiurkan
penglihatan. Dia ikut berteriak pula: Suaranya nyaring bercampur girang.
Diam-diam Wirapati berpikir, kenapa mereka seolah-olah menyatakan syukur?
Mendadak seorang pemuda berseru kepada gadis itu. "Hai Sonny! Itulah
Pangeran "Bumi Gede. Kau nanti bertugas melayani dia."
"Dih! Aku? Mengapa aku?" sahut si gadis dengan mencibirkan bibir.
Pemuda itu tertawa berkakakkan. Teman-temannya yang lain menyumbangkan
tertawanya pula. Mereka lantas menggoda.
"Dia seorang Pangeran Baron wilayah Bumi Gede."
"Mana itu Bumi Gede," potong si gadis dengan suara dingin.
Mereka tak dapat menjawab pertanyaan si gadis. Pemuda yang mula-mula
berkata mendekati si gadis.
"Dia tamu pemerintah. Dan kau bagian protokol. Apa perlu mesti minta
penjelasan tentang tamu itu atau negeri asalnya? Dia datang dari
Yogyakarta. Mestinya Bumi Gede termasuk kerajaan Yogyakarta."
Ternyata mereka adalah pegawai-pegawai Bataafse Republik. Hari itu mereka
menerima kabar, Pemerintah Belanda di Jakarta akan mendapat kunjungan
utusan dari sekutuannya di Yogyakarta. Pangeran Bumi Gede adalah utusan
Patih Danureja II yang hendak mengadakan suatu perserikatan rahasia.
Seperti diketahui Patih Danureja II adalah lawan Sultan Hamengku
Buwono II. Dia bertujuan menggulingkan Sultan Hamengku Buwono II dari tahta
kerajaan. Gntuk mencapai maksud itu dia berserikat dengan Pemerintah
Belanda di Jakarta.
"Siapa nama Pangeran itu?" tiba-tiba si gadis bertanya.
Pemuda itu ternganga mendengar pertanyaan gadis itu. Dia lantas tertawa
panjang. "Mengapa tanya kepadaku? Tanyalah sendiri!" jawabnya menggoda.
Teman-temannya tertawa berkakakkan. Wajah si gadis lantas saja berubah
merah jambu. Cepat-cepat ia membela diri.
"Bukankah lebih memudahkan pelayanan, jika aku mengenal namanya terlebih
dahulu? Dengan begitu rasa kaku akan dapat terkikis cepat."
"Huuuuu...!" Pemuda-pemuda menyahut seperti koor nyanyian.
"Apa huu ...?" si gadis sakit hati. "Selain aku kan ada pula Helia, Nelly,
Maria, Anneke, Thea, Isabella ... mengapa menduga yang bukan-bukan?"
Wirapati menyingkir jauh. Tak senang ia mendengar percakapan itu. Hatinya
lantas saja menangkap suatu firasat buruk. Diam-diam ia berpikir,
Pemerintah Belanda menaruh perhatian besar terhadap kedatangan mereka,
sampaisampai menyediakan suatu pelayanan khusus. Ada apa?
Mendadak teringatlah dia kepada peristiwa perebutan pusaka Bende Mataram
dan keris Kyai
Tunggulmanik. Terloncatlah di benaknya. Ah! Apakah kedatangan mereka di
sini bukan untuk sesuatu maksud keji? Pemuda itu terang gila kekuasaan,
martabat dan uang. Bagaimana tidak?
la mengutuk Pangeran Bumi Gede kalang kabut. Baiklah kukuntit saja dari
jauh, pikirnya. Nanti malam akan kucoba mengintip pembicaraannya. Sekiranya
sampai menjual kemar-tabatan bangsa dan negara untuk memuaskan nafsunya
sendiri, biarlah kucoba-coba mengadu nyawa dengan jahanam itu. Kalau
berhasil ini namanya sekali tepuk dua lalat mati sekaligus.
Wirapati lantas menguntit barisan itu. Mendadak ia melihat suatu
penglihatan lain. Di belakang barisan utusan dari Yogyakarta berjalanlah
lima orang laki-laki yang diikat oleh rantai panjang. Mereka dipaksa
berjalan dengan dicambuki tiada henti.
"Ih! Kenapa?" Wirapati menebak-nebak.
Melihat orang-orangnya mereka bukan golongan perampok atau begal. Mereka
bersikap berani melawan dan tak sudi merasakan pedihnya cambukan cemeti.
Mereka saling memandang dan saling memberi isyarat. " Aneh, pikir
Wirapati—kalau penglihatanku hari iri kuceritakan kepada Jaga Saradenta
belum tentu dia percaya.
Barisan itu segera disambut barisan 500 serdadu kompeni yang datang dari
tangsi. Kemudian diantarkan masuk kota. Rakyat berdiri berjejalan di
pinggir jalan dengan sorak-sorai. Tak henti-henti mereka membicarakan
rombongan tetamu yang masih asing baginya.
Wirapati menyelinap di antara mereka. Dari jauh dia terus menguntit dengan
diam-diam. Ternyata rombongan utusan dari Yogyakarta itu memasuki gedung
negara. Sebentar mereka mengikuti upacara-upacara penyambutan, kemudian
menghilang di dalam gedung negara.
Wirapati menunggu sampai gelap malam tiba. Niatnya sudah pasti, mau
mendengarkan pem-bicaraan Pangeran Bumi Gede dengan Pemerintah Belanda, la
akan menyelinap memasuki gedung negara dan melompati genting. Sekalipun
gedung negara dijaga rapat oleh serdadu-serdadu, ia merasa sanggup mengatasi.
Selain Wirapati berwatak usilan, sesungguhnya dia seorang kesatria yang
menaruhkan darma di atas segalanya. Pahit getir sebagai akibat pakarti itu
tak diindahkan. Delapan tahun yang lalu, seumpama tak bertemu dengan
rombongan penari aneh dari Banyumas, tidaklah bakal dia berlarat-larat
sampai ke Jakarta.* Meskipun demikian, sama sekali tak pernah mengeluh.
Kali ini dia berjumpa dengan si gadis Sonny dan melihat lima orang
perantaian. Sama sekali tak diduganya juga, kalau di kemudian .hari dia
akan mengalami kesulitan-kesulitan baru. Pengalamannya yang pahit
seolah-olah tiada mampu menyadarkan. Kesadaran seolah-olah kena bius. Maka
terasalah dalam hati manusia, manusia ini benar-benar merupakan permainan
hidup belaka di mana dia harus menanggung akibat kepahitan yang tak kuasa
menolaknya.
Demikianlah—selagi dia membulatkan tekad hendak mengintip pembicaraan
rahasia antara Pangeran Bumi Gede dengan pihak Pemerintah Belanda di
Jakarta, gelap malam turun perlahan-lahan. Sekitar gedung negara mulai
sunyi. Yang terdengar hanya derap langkah serdadu-serdadu mengatur
penjagaan dan suara tertawa riang di dalam gedung.
Wirapati menjenguk ke dalam. Terlihat lampu menyala terang benderang.
Sebuah kereta berkuda berderap memasuki halaman. Tepat di depan pintu,
kereta berhenti. Delapan gadis keturunan Belanda turun berloncatan. Mereka
mengenakan pakaian modern pada jaman itu, dan berbisik-bisik sangat sibuk.
* Syukur! Terang mereka belum mengadakan pembicaraan resmi, Wirapati
menduga. Sebab di antara ke delapan gadis itu ia mengenal si Sonny.
Pastilah itu teman-temannya yang disebutkan tadi yang bertugas menjaga
kesenangan Pangeran Bumi Gede.
Mendadak selagi sibuk menduga-duga dilihatnya pengawal Pangeran Bumi Gede
yang berkulit kuning keputih-putihan meloncat ke dalam kereta. Sais segera
menghentak kendali dan kuda-kuda penarik terbang keluar halaman.
Wirapati mendekam cepat. Setelah kereta lewat, ditegakkan kepalanya.
Kembali ia menduga-
duga, orang itu agaknya telah mengenal kota Jakarta. Dia pergi tanpa
penunjuk jalan. Apakah ada sesuatu yang penting yang akan dikerjakan?
Mendadak, sekali lagi ia melihat sesosok bayangan yang mencurigakan.
Sesosok bayangan itu berkelebat melintasi jalan menghampiri dinding pagar.
Ternyata dia menengok ke dalam, kemudian melesat menjauhi.
Tertarik akan sepak terjang orang itu, Wirapati segera mengejar. Pikirnya,
satu jam lagi, belum tentu pembicaraan resmi dimulai. Baiklah ku-kuntit
orang itu, apa maksudnya menengok gedung negara.
Dalam hal kecepatan Wirapati melebihi kesanggupan orang lain. Sebentar saja
ia sudah dapat menyusul. Betapa kagetnya ia, ternyata orang itu adalah Jaga
Saradenta.
"Jaga Saradenta!" panggilnya.
"Aih!" Jaga Saradenta terkejut seperti tersengat lebah. Cepat ia berhenti
dan berputar mengarah ke Wirapati. Berkata setengah meminta, "Pulanglah
dulu ke pondok! Jangan ikuti aku!"
Wirapati heran mendengar kata-katanya. "Kenapa?"
Jaga Saradenta tak menjawab. Ia melesat lagi. Wirapati jadi penasaran. Ia
mengejar dan sekali melesat telah dapat menjajari.
"Jaga Saradenta! Mengapa kau begini?"
"Hm," Jaga Saradenta berhenti berlari. "Sejak kapan kau berada di sekitar
gedung negara?" "Sebelum matahari tenggelam."
"Musuhku telah muncul kembali. Kautahu? Itulah musuhku semenjak jaman
Perang Giyanti. Aku akan mengadu nyawa. Ini soalku, karena itu janganlah
sampai kau terlibat."
Wirapati dan Jaga Saradenta telah berkelana delapan tahun lamanya mencari
Rukmini dan Sangaji. Meskipun tak pernah mengangkat saudara, tetapi dalam
hati mereka masing-masing telah saling dekat dan akrab. Maklumlah, mereka
sesama sependeritaan, sekata dan setekad, seia dan setujuan. Rasa
persaudaraan mereka melebihi rasa persaudaraan biasa. Keruan saja mendengar
kata-kata Jaga Saradenta, Wirapati ter-peranjat. Lantas saja mendamprat tak
senang.
"Eh—sejak kapan kau berubah?"
Jaga Saradenta menghentikan langkahnya. Ia memandang Wirapati dan mencoba
memberi penjelasan.
"Permusuhanku itu terjadi sebelum kau mengenal matahari. Terjadi semasa
Perang Giyanti, *jahun 1750. Karena itu apa perlu kau terlibat pula?"
"Musuhmu adalah musuhku pula. Samalah halnya perjalananku ke daerah barat
ini adalah perjalananmu pula. Perlukah aku bersumpah sehidup semati?" sahut
Wirapati tegas.
Jaga Saradenta terharu. Ia menyenak napas dalam. Sejurus kemudian dia berkata,
"Hari ini di Jakarta terjadi suatu peristiwa. Pemerintah Belanda lagi
menyambut utusan dari Yogyakarta. Di antara mereka terdapat musuhku."
"Eh—apakah si pemuda yang membawa lari Sapartinah isteri Wayan Suage?"
potong Wirapati. Jaga Saradenta tercengang-cengang. "Yang mana?"
"Aku tadi melihat juga kedatangan rombongan utusan itu. Kukuntit mereka
sampai di gedung negara."
"Ih! Jadi dia ada juga?"
Wirapati kini heran berbareng menebak-nebak.
"Lantas yang mana musuhmu?" tanyanya.
"Kau melihat dua orang yang bermuka luar biasa buruknya? Yang satu berkulit
hitam dan yang lain berkulit kuning keputih-putihan. Itulah dua iblis
terbesar di jaman ini."
"Siapa mereka?"
"Pringgasakti dan Pringga Aguna," jawab Jaga Saradenta.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar