5.04.2019

@bende mataram@ Bagian 42

@bende mataram@
Bagian 42


Sangaji ternganga-nganga. Sekaligus dapatlah ia menyaksikan tiga macam
kepandaian Wirapati. Bergeser tempat, merampas senjata dan menembak dengan
kerikil.


"Kau lihat dan rasakan sendiri sekarang. Senjata pistol tak dapat kau buat
pegangan. Sekiranya musuh-musuhmu seperti aku, kamu sudah dibalas sebelum
sadar," kata


Wirapati mengesankan. "Sekarang kamu ingin membalas dendam. Kamu tak
mempunyai kecakapan lain kecuali menembak, lantas apa yang mau kauandalkan?"


Sangaji tergugu, la tegak seperti tugu. Sejurus kemudian ia berkata sambil
menelan ludah. "Apa itu ilmu siluman?"


Mendengar ujarnya, Wirapati tertawa ber-kakakkan.


"Bukan! Sama sekali bukan! Kaupun dapat pula mempelajarinya. Asalkan tekun
dan sungguh-sungguh ... dan berbakat!"


Mata Sangaji menyala. Ingin dia menyatakan serentak hendak belajar ilmu
itu. Tetapi rasa segan mendadak menusuk. Dia batal sendiri, matanya redup
kembali.


Wirapati tahu membaca gejolak hatinya, la girang, karena ia sengaja berlaku
untuk membangkitkan semangat Sangaji. Tatkala melihat mata Sangaji meredup
kembali, segera ia berkata, "Sangaji! Benar-benarkah kamu ingin membalas
dendam musuh-musuhmu?"


Sangaji mengangguk.


"Setidak-tidaknya kau harus memiliki kemampuan tadi. Kau ingin belajar?"
Mata Sangaji menyala lagi. Terang ia berhasrat besar.


"Datanglah nanti malam ke lapangan ini seorang diri. Dan jangan memberi
tahu kepada siapa pun juga. Kau kularang pula membayangkan perawakan
tubuhku. Kamu mengerti?" kata Wirapati tegas. Ia bermaksud ingin menguji
kepatuhan Sangaji. Setelah itu ia melesat pergi. Tubuhnya berkelebat dari
tempat ke tempat. Sebentar saja hilang dari penglihatan.


WIRAPATI girang bukan main. Sangaji telah cfiketemukan. Kini tinggal
menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke luar kota. Seminggu
sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita. Adakalanya
sampai satu bulan.


Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti malam biar kuajaknya
mulai bekerja. Mudah-mudahan dia datang. Sekiranya tidak, biarlah kumulai
dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti terkikisnya waktu
yang dijanjikan. Hm—tinggal empat tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat,
agaknya masih ada waktu.


Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti
malam tak datang apa yang akan kulakukan? Bukankah hati kanak-kanak
seringkali berubah? Celaka—aku belum


tahu rumahnya.


Memikir demikian, cepat ia kembali ke lapangan. Sangaji baru saja
melangkahkan kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau
selama itu Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya yang
diperlihatkan tadi.


Ia kuntit si anak dari jauh. Setelah memasuki tangsi ia segera berhenti.


Ih! Anak Willem katanya, Wirapati berpikir. Tak boleh dia dihinggapi
perasaan itu. Betapa baik si Willem dia bukan bangsa sendiri. Di kemudian
hari siapa tahu bisa menyulitkan Sangaji.


Wirapati adalah seorang yang tebal rasa ke-bangsaannya. Jika tidak, tak
mungkin dia mendekati Sangaji ketika digebuki pemuda-pemuda Belanda.
Sungguh tak diduganya ia bertemu dengan si anak yang sudah dicarinya selama
delapan tahun.


Tiba-tiba ia melihat suatu kesibukan di dalam tangsi. Dua orang kompeni
datang dengan menunggang kuda yang dilarikan amat cepat. Ia menduga
pastilah terjadi suatu warta yang harus disampaikan kepada komandan tangsi.
Dan warta itu mestinya sangat penting. Tak lama kemudian setelah dua orang
kompeni itu masuk ke dalam tangsi, didengarnya bunyi terompet melengking ke
udara. Dari dalam los-los kompeni muncullah serdadu-serdadu dengan sibuk
dan riuh. Mereka berlari-larian dengan berderap-an. Senapan-senapan mereka
tak sempat dipanggul, hanya dijinjing atau diseret sambil membetulkan letak
bajunya.


Mereka berbaris dengan teratur rapih. Cepat dan berdisiplin. Wirapati yang
menonton di luar lantas berpikir, mereka teratur rapi dan berkesan perkasa.
Pantas mereka bisa menjelajah dan menjajah tanah-tanah dan negeri-negeri
yang dikehendaki. Ah—sekiranya kita mempunyai tentara begitu teratur dan
disiplin, pastilah tak gampang Belanda menginjak-injak negeri kita.


Seperempat jam kemudian mereka berbaris keluar tangsi. Panji-panji pasukan
dan bendera berada di depan barisan. Mereka membawa genderang dan terompet.
Di barisan belakang berjalanlah pasukan berkuda. Penunggangnya menghunus
pedang panjang. Di tiap pinggang tergantung sepucuk pistol.


Tanpa merasa Wirapati memuji: "Hebat!" Lantas ia menduga-duga ke mana
mereka akan pergi dan mengapa begitu sibuk. Karena pikiran itulah ia segera
menguntit. Dasar dia usilan. Setiap kali merasa tertarik takkan puas sebelum


endapat penjelasan. Watak itu pulalah yang membuatnya kini merantau ke
Jakarta sampai delapan tahun lamanya. Gara-gara bertemu dengan serombongan
penari yang aneh.


Pasukan tentara yang berjumlah kurang lebih 500 orang itu berbaris ke
lapangan. Mereka membuat suatu bentuk barisan. Kemudian menunggu, sedangkan
para perwira sibuk
.berunding.


Ah—kiranya ada pembesar yang datang, Wirapati menduga. Kemudian ia pergi
meninggalkan lapangan hendak cepat-cepat pulang ke pondokan untuk menunggu
kedatangan Jaga Saradenta. Mendadak saja ia melihat barisan lain
mendatangi. Barisan itu terdiri dari sepasukan tentara berkuda. Jumlahnya
kurang lebih 250 orang.


Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Kejadian itu adalah peristiwa lumrah.
Tapi Wirapati tertarik pada suatu penglihatan lain. Di depan barisan yang
mendatangi itu, nampaklah dua puluh orang berkuda yang mengenakan pakaian
seragam Kasultanan Yogyakarta.


Yang berada di depan seorang pemuda ganteng. Umurnya belum melebihi tiga
puluh tahun. Kagetnya, ia mengenal wajah pemuda itu. Dialah si pemuda yang
membunuh salah seorang anggota rombongan penari yang aneh. Dia pulalah yang
melarikan Sapartinah, isteri Wayan Suage.


Cepat ia bersembunyi di belakang pagar rakyat yang datang melihat dengan
berduyunduyun. Ia mengintai si pemuda itu dengan sungguh-sungguh.


Seperti dahulu pakaian yang dikenakan si pemuda mentereng. Dia didampingi
oleh dua orang


laki-laki yang berparas buruk. Yang sebelah kiri berkepala gede, kulitnya
hitam legam bagaikan orang hutan. Yang sebelah kanan seorang laki-laki
bermata sipit, matanya menjorok ke dalam, mulutnya lebar dan berkulit
keputih-putihan seperti orang sakit kuning. Kesan penglihatan dua orang itu
menggeridikkan bulu roma.


Di belakang si pemuda berderet tujuh belas prajurit Kasultanan Yogyakarta
dengan tanda pasukan pengawal kepatihan. Wirapati mengira si pemuda itu
anak Patih Danureja II—sahabat VOC di Jakarta.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar