@bende mataram@
Bagian 41
Sangaji heran melihat orang menaruh perhatian kepadanya. "Ibuku ya Ibu."
Jawab Sangaji sambil menebak-nebak.
Wirapati menduga Sangaji masih mendongkol. Segera mendesaknya lagi.
"Anak yang baik. Ingin aku mengetahui nama ibumu. Apakah dia orang Bali
atau Belanda."
"Apa kau bilang?" bentak Sangaji sakit hati. Ia mengira Wirapati akan
kurang ajar. Lantas berkata keras, "Ibuku bukan orang Bali! Bukan pula
Belanda. Ibuku ya ibuku."
Mendengar jawaban Sangaji tahulah Wirapati kalau si anak mungkin tak kenal
nama ibunya. Ia girang bukan main serasa mau jungkir balik. Tetapi ia
meyakinkan diri lagi.
"Dan kau sendiri, siapa namamu?" "Aku Sangaji."
"Sangaji? Betul kau bernama Sangaji?" Wirapati bertambah yakin.
Sebaliknya Sangaji tersinggung oleh kata-kata Wirapati. Kantong bubuk
mesiunya dikantongi kembali.
"Memangnya cuma kamu sendiri yang bernama Sangaji." Kata Sangaji dingin.
Habis berkata demikian ia bersiap hendak lari mengejar lawan-lawannya tadi.
"Hai, nanti dulu!" sanggah Wirapati. "Mengapa kau tadi bilang anak Willem?"
. Sangaji mengurungkan niatnya.
"Willem adalah kakak-angkatku. Tapi dalam hatiku ia bagaikan ayah-angkatku.
Dia seorang kapten musuh Mayor de Groote si jahanam itu."
Teranglah sudah bagi Wirapati, itulah anak yang dicarinya semenjak delapan
tahun yang lalu. Air matanya nyaris meleleh. Inginlah dia memeluknya, tapi
cepat-cepat ia menahan hati. Pikirnya, kalau Jaga Saradenta tahu anak ini
ada di sini apa yang akan dilakukan. Baiklah aku bersabar hati dahulu.
"Sangaji," katanya. "Aku sekarang kenal namamu. Boleh aku memanggil namamu,
bukan?" Sangaji memanggut kecil.
"Bagus! Kau bukan budak mereka tadi, tapi kau dipukuli sampai bengab. Kau
berani membalas?"
"Mengapa tidak?"
"Bagaimana caramu membalas?"
"Kucari mereka. Mereka akan kutembak sampai mampus." Wirapati adalah murid
Kyai Kasan Kesambi
yang tak pernah menggunakan alat senjata mencapai jarak jauh. Bahkan, dia
diajar juga membenci senjata-senjata rahasia semacam itu seperti
bandringan, panah, jepretan dan sumpit. Dengan sendirinya tak dapat
menghargai orang-orang yang mahir dalam alat senjata itu. Dalam hatinya ia
menilai sebagai suatu perbuatan tak jantan. Itulah sebabnya, setelah dia
tahu si anak itu Sangaji, mulailah dia menaruh perhatian. Katanya setengah
menyanggah, "Mengapa menggunakan senapan atau pistol? Bukankah mereka tadi
hanya bertangan kosong? Seorang laki-laki, seorang kesatria takkan berbuat
demikian. Dia dihantam dengan tangan kosong. Gntuk merebut kemenangan
sebagai balas dendam, dia boleh belajar ilmu apa pun sepuluh atau dua puluh
tahun lagi. Tapi tak bakal dia mengalahkan musuhnya itu dengan menggunakan
alat senjata apa pun juga. Itulah seorang kesatria sejati."
Hebat pengaruh kata-kata Wirapati dalam lubuk hati Sangaji. Anak itu lantas
saja menjadi
gelisah. Ia merasa diri tak mampu melawan mereka dengan bertangan kosong.
Satu-satunya kemahiran yang dirasakan melebihi mereka ialah kemahiran
menembak. Sekarang orang itu menilai perbuatan demikian bukan kesatria. Dan
ia emoh dicap bukan kesatria. Wirapati dapat menebak gejolak hatinya.
"Dengan tak usah menggunakan senjata kau bisa mengalahkan mereka."
Sangaji menegakkan kepala. Matanya bersinar-sinar. Tapi mulutnya tak
bersuara. "Kau tak percaya?" kata Wirapati lagi. "Lihat!"
Setelah berkata demikian ia melesat ke kiri-ke kanan. Kemudian menjejakkan
kaki. Sekaligus meloncatlah dia ke udara. Kakinya dibenturkan lagi dan ia
melambung tinggi. Setelah itu dia turun berjumpalitan di udara dan mendarat
di atas tanah tanpa ada sekelumit debupun yang tergeser dari tempatnya.
Sangaji ternganga-nganga sampai mulutnya terbuka. Ia sampai tak mempercayai
penglihatannya sendiri seolah-olah melihat setan. Wirapati tahu Sangaji
mulai kagum kepadanya. Timbul dalam hatinya hendak membuat si anak takluk
benar padanya, agar di kemudian hari tak menimbulkan kesukaran. Ia melesat
lagi berputaran. Mendadak seolah lenyap dari penglihatan. Tahu-tahu tangan
Sangaji seperti kena disentil. Pistol yang digenggamnya telah pindah tangan..
"Nah lihat! Meskipun kamu membawa senjata, aku dapat merampasnya dengan
gampang," kata Wirapati.
Sangaji sudah semenjak tadi kagum hingga tak bisa berbicara. Kini
menyaksikan kegesit-annya yang lain, keruan bertambahlah ternganganya.
Mendadak Wirapati melesat lagi. Dan tanpa disadari pistol telah kembali
lagi ke genggamannya. Susahlah bagi Sangaji untuk melukiskan kegesitan
Wirapati. Ia merasa seperti melihat sulapan belaka.
"Sangaji," kata Wirapati. "Kulihat kau tadi berlatih menembak pistol. Sudah
mahirkah kamu menembak? Coba kulihat."
Sangaji telah berada dalam pengaruh Wirapati. Apa yang dimiliki dalam
dirinya seperti telah hilang setengahnya. Meskipun demikian, tatkala
mendapat pertanyaan tentang kepandaiannya menembak, inginlah juga ia
memamerkan barang sebentar. Dengan berdiam diri ia mengisi bubuk mesiu, la
mencari sasaran. Dilihatnya setumpuk batu berserakan di depannya. Ia
menjumput sebuah batu dan dilemparkan ke udara. Kemudian ditembaknya tepat
hingga hancur berhamburan.
"Bagus!" Wirapati memuji. Diam-diam ia bergembira menyaksikan calon
muridnya mempunyai bakat. "Sekarang ayo kita bertempur. Kau boleh
menggunakan senjata dan tembaklah aku. Dan aku akan menggunakan tangan kosong."
Sangaji ragu-ragu. Benar, ia kagum pada kegesitannya, tetapi apa dapat
berlawanan dengan kecepatan peluru? Sebaliknya Wirapati tak senang melihat
dia beragu.
"Kau laki-laki! Belajarlah mengambil keputusan cepat. Kamu kutantang,
mengapa tak berkutik, seperti kelinci?"
Sangaji adalah seorang anak yang mudah tersinggung. Ia berani melawan Mayor
de Groote dan kaki-tangannya, semata-mata karena merasa diri tersinggung.
Gntuk itu ia berani mengambil risiko. Begitulah kali ini. Ketika mendengar
ucapan Wirapati yang menusuk perasaannya lantas saja darahnya meluap.
Segera pistolnya diisi. Kemudian dengan kecepatan yang dimiliki, ia
menembak dengan sekonyong-konyong.
Wirapati hanya nampak bergerak sedikit dan mesiu pistol lewat berdesing
menembus udara kosong. Cepat-cepat Sangaji mengisi bubuk mesiu lagi. la
berkelahi dengan sungguh-sungguh dan nampak semangat tempurnya yang tinggi.
Tetapi bagaimana dia dapat melawan kecepatan Wirapati. Selama delapan tahun
merantau ke pelosok pantai utara Jawa Barat Wirapati tak
pernah melalaikan latihan. Latihan kecepatan dilakukan dengan
sungguh-sungguh untuk mengejar kerugian dalam hal Ilmu Mayangga Seta yang
tak pernah dipelajarinya.
Demikianlah—belum lagi Sangaji bergerak ia memungut sebutir kerikil dan
disentilnya. Lengan Sangaji lantas saja menjadi kaku. Dan . pistolnya
runtuh dari genggaman tanpa disadarinya.
"Kenapa bisa jatuh?" seru Wirapati berpura-pura dungu.
Sangaji tertegun. Tak dapat ia menerangkan mengapa pistol itu terlepas, la
hanya merasa lengannya kaku dengan mendadak.
Wirapati tertawa. Dengan memungut sebutir kerikil lain. "Lihat, nih! Kamu
kutembak dengan sentilan kerikil ini lagi."
Berbareng dengan ucapannya sebutir kerikil melesat dan tepat mengenai urat
siku. Lengan Sangaji lantas dapat bergerak lagi.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar