@bende mataram@
Bagian 40
Sangaji kena dibekuk mereka berempat dan dibanting ke tanah. Mukanya lantas
saja penuh debu. Hatinya panas bukan main. Matanya menyala dan tubuhnya
menggigil menahan marah.
Ke empat pemuda tanggung itu tertawa berkakakkan sambil meludahi muka
Sangaji dengan
berbareng. Nampak benar, kalau mereka telah diatur dan dilatih.
Sangaji melemparkan pandang kepada Mayor de Groote. Ia ingin mendapat
ketegasan lagi mengapa dia lantas dihajar tanpa diberi kesempatan untuk
berbicara lebih jauh. Ternyata Mayor de Groote tersenyum panjang sambil
membolak-balik pistolnya. Melihat sikapnya Sangaji tak dapat menguasai
diri. Timbullah kenekatannya. Ia hendak melawan sejadi-jadinya, karena
merasa diperlakukan tidak adil. Pandangannya kini beralih kepada keempat
pemuda tanggung. Kemudian menyerbu dengan mengadu gundul.
Dalam hal perkelahian dengan tangan kosong Sangaji mati kutu. Selain belum
pernah berkelahi juga kalah besar. Keruan saja begitu ia menyerbukan
gundulnya, pemuda-pemuda tanggung itu lantas saja menyibak dengan cepat.
Mereka kemudian berputar dan bersama-sama menghujani tinju ke punggung dan
lehernya.
Alangkah sakit! Tapi Sangaji tak mau mengaduh. Dia pernah dihajar Mayor de
Groote jauh lebih hebat. Gntuk pukulan kali ini tak sudi ia merasakan.
Ia merenggutkan diri. Cepat-cepat menangkis dan meninju kalang-kabut.
Keempat pemuda tanggung itu lantas melawan dengan memecahkan diri. Pemuda
yang berada di sebelah timur mengirimkan tinjunya sambil berkata garang,
"Inilah tinju Jan de Groote!"
Buk! Tinjunya mengenai tulang belikat.
"Dan inilah bogem mentah Karel Speel-man," kata pemuda tanggung yang berada
di sebelah barat. Tinjunya tepat mengenai dagu. Sangaji sempoyongan.
Tubuhnya tergetar mundur dua langkah. Mulutnya menyemburkan darah.
Cepat-cepat ia menancapkan kaki. Belum lagi kokoh kuat, Peter de Yong dan
Tako Wediema yang menerjang dari depan menghantam perut dan dadanya.
Sangaji terpental mundur lagi dan jatuh terjengkang. Keempat pemuda
tanggung itu lantas menerjang berbareng dan menunggangi berbareng pula.
Mereka menggebukinya dengan serempak. Sejurus kemudian mereka menoleh
kepada Mayor de Groote. Mayor de Groote mengedipkan mata memberi isyarat.
Mendapat isyarat itu mereka berdiri serentak dan menyeret kedua kaki
Sangaji. Mereka membawa lari berputar-putar ke lapangan. Akhirnya
dicampakkan ke dalam parit berlumpur. Setelah itu mereka berdiri puas di
pinggir parit mengawasi korbannya.
Mayor de Groote menghampiri dan membentak seolah-olah menyesali mereka.
"Mengapa keterlaluan? Aku hanya menyuruh menghajar selintasan saja." Pistol
Sangaji diletakkan di atas tanah. Kemudian pergilah dia dengan puas.
"Mestinya kalian harus melemparkan dulu ke udara sebelum kalian ceburkan ke
dalam parit," katanya.
"Baiklah. Besok kami lemparkan dia ke udara. Kalau perlu kami patahkan kaki
dan lengannya," sahut mereka serentak.
Dendam Mayor de Groote itu demikian besar sehingga kehilangan kesadarannya
sebagai perwira tinggi dan seorang yang sudah berusia lebih empat puluh tahun.
"Tetapi kalian harus bekerja sendiri mulai besok. Dalam hal ini tak lagi
aku ikut campur," katanya. Mereka terdiam.
"Tak usahlah kalian takut. Seumpama ada tuntutan akulah yang akan membela
kalian," Mayor de Groote membesarkan hatinya. Karena anjuran itu mereka
bersemangat kembali.
Pada saat itu Sangaji menggeletak pingsan di dalam parit berlumpur. Seluruh
tubuhnya babak-belur. Untunglah, parit itu dangkal sehingga tidak
membahayakan nyawanya.
Mendadak sepasang lengan mengangkat tubuhnya dan ia diletakkan di atas
tanah. Orang yang mengulurkan tangan itu seorang laki-laki berperawakan
tegap. Dia berumur kurang lebih tiga
puluhan tahun. Dan bintang penolong itu sesungguhnya Wirapati.
Delapan tahun lamanya bersama Jaga Saradenta menjelajah kota Jakarta. Tiap
kampung dijenguknya untuk mencari Rukmini. Tetapi usahanya sia-sia belaka.
Hatinya sedih dan cemas. Bukankah masa pertandingan tinggal empat tahun
lagi, sedangkan si anak belum juga dapat diketemukan. Akhirnya dia
berunding dengan Jaga Saradenta agar memisahkan diri. Jaga Saradenta
berkeliling mengitari luar kota Jakarta. Sedangkan dia sendiri tetap berada
di dalam kota.
Pada hari itu dia berada di pinggir lapangan menghempaskan diri di
rerumputan. Ia terkejut waktu mendengar letupan-letupan pistol. Tatkala
menegakkan kepala dilihatnya seorang pemuda tanggung anak Bumiputera lagi
belajar menembak pistol. Segera ia dapat menduga, kalau pemuda tanggung itu
pasti anak serdadu. Jika tidak, bagaimana mungkin menggenggam pistol.
la merebahkan kepalanya di atas rerumputan. Hatinya sama sekali tak
tertarik. Ia terlanjur benci kompeni dan semuanya yang berbau kompeni.
Bahkan hatinya rada mengutuk. Hm,—apa enaknya menjadi serdadu Belanda.
Paling-paling anaknya jadi anak kolong41) calon begundal bangsa asing. Cuh!
Mendadak saja ia mendengar kesibukan lain. Kembali dilongongkan kepalanya.
Dilihatnya si anak Bumiputera dikerubut empat orang yang usianya tak jauh
dari mereka. Hatinya tertarik. Pikirnya, apakah anak kolong itu mencuri
pistol opsir?
Hati-hati ia mendekat agar dapat mendengar pembicaraan mereka. Ia mendengar
si anak Bumiputera menyangkal tuduhan opsir itu. Kemudian si opsir memberi
perintah menghajar sampai pingsan. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman
dan dewasa, lantas saja dapat merasakan sesuatu kesan tak adil. Ia seorang
usilan. Segera perhatiannya bekerja. Tatkala melihat si anak kolong
digebuki begitu hebat, rasa sedarah dan sebangsa lantas saja bangkit.
Meskipun demikian ia bisa menguasai diri agar tak bertindak ceroboh.
Pengalamannya yang pahit dulu mengajar dirinya agar lebih hati-hati.
Setelah mereka pergi, cepat ia menghampiri parit. Diletakkan si anak kolong
di atas tanah dan direnungi. Sebentar ia menunggu sampai napas si anak itu
berjalan lancar. Kemudian melangkahlah ia pergi dengan kepala dingin.
Mendadak anak itu mengigau, "Willem! Willem! Aku anak Bali! ... Addu ... uh
..." Wirapati terperanjat, la berhenti dan menoleh. Perhatiannya tergugah.
"Anak Bali," bisiknya pada diri sendiri.
Ia mengampiri dan anak itu dijenguknya. Tatkala itu Sangaji sedang
menggeram, tanda dari kekerasan hatinya emoh menyerah. Wirapati menduga dia
telah sadar kembali.
"Hai, kau anak siapa?"
Si anak menjenakkan mata, mendadak dengan menggeram ia bangun dan
menyerang. Wirapati membiarkan dirinya diserang. Sangaji ternyata
menubruknya sejadi-jadinya dan menumbukkan tinjunya kalang kabut.
"Hai tahan! Tahan! Kau anak siapa?"
"Aku anak Willem!" sahut Sangaji berontak dan terus ia memperhebat tinjunya.
Wirapati terpaksa menangkap kedua tinjunya. Dihadapkan Sangaji kepadanya.
Ternyata kedua pipinya bengkak hampir menutupi kelopak matanya.
"Lihat! Aku bukan ..."
Sangaji telah memperoleh kesadarannya. Samar-samar ia melihat bukan
musuhnya. Ia menyerah. Tenaganya mengendor.
"Duduklah!" ajak Wirapati. "Kau pingsan tadi. Kuangkat kamu dari parit.
Mengapa menumbuki
aku?"
Sangaji hampir kehabisan tenaganya. Ia lantas duduk berjongkok. Wirapati
melepaskan terkamannya. Tiba-tiba ia bangkit dan ingin lari mengejar
musuh-musuhnya.
"Kau mau lari ke mana? Mau lari ke mana?"
Wirapati menyambar kedua pupunya. Karuan saja Sangaji tertahan, la berontak
untuk mencoba merenggangkan diri. Mana bisa ia melawan tenaga Wirapati.
Terpaksa ia menyerah, tetapi mulutnya terus mengomel.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Napas Sangaji tersengal-sengal. Wirapati berpikir, keras kemauan anak ini.
Sayangnya, cuma bergerak tanpa pikiran.
"Hai... musuhmu telah lama pergi. Kaumau cari mereka ke mana?" "Dia
kawannya Mayor de Groote. Akan kucari mereka."
"Mereka berempat. Kau takkan menang. Kau akan disiksanya lagi." "Biar! Aku
tak takut."
"Hm ... mengapa mengadu nyawa begitu bodoh?" bentak Wirapati.
Dibentak demikian Sangaji terdiam, la mulai menimbang-nimbang. Ditolehlah
orang itu. la melihat seorang laki-laki, berperawakan tegap seperti Willem
Erbefeld. Wajahnya tenang. Matanya menyala. Cakap orang itu, tapi kumis dan
jenggotnya tak terawat dengan baik-baik.
"Pistolmu masih menggeletak di tanah. Itu!" kata Wirapati.
Karena ucapan Wirapati timbullah satu pikiran dalam benak Sangaji. Ia
menunduk. Dilihatnya pistol yang dirampas Mayor de Groote menggeletak di
tepi parit. Segera ia merenggutkan diri dari pelukan Wirapati, kemudian
mengambil pistolnya. Ia merogoh kantong dan mengeluarkan sebungkus bubuk
mesiu yang sudah basah oleh air parit.
"Benar! Tak dapat aku mengadu tinju. Biar kutembak saja," kata Sangaji
mengancam. "Kau semuda ini sudah belajar membunuh orang?"
"Aku harus belajar membunuh orang," jawab Sangaji tegas. Wirapati
tercengang. "Apakah agar kamu kelak menjadi sedadu Belanda yang gagah?"
katanya menyelidik.
"Tidak. Tak ada angan-anganku menjadi serdadu. Tapi aku harus belajar
membunuh orang. Kelak aku membalas dendam."
Rukmini selalu menanamkan ke dalam lubuk hati Sangaji tentang nasib ayahnya
yang dibunuh oleh seorang yang tak dikenal. Dibayangkan juga perawakan
orang itu. Pikirnya, kalau dia mati muda, anaknya akan bisa mencari si
pembunuh itu dengan pedoman keterangannya.
Wirapati mengira ayahnya mati di medan perang sebagai seorang serdadu. Mau
ia menduga, kalau Sangaji anak seorang serdadu berasal dari Bali. Karena ia
benci semua yang berbau Belanda, diam-diam ia menyukurkan.
"Serdadu mati di medan perang adalah lumrah." Kata Wirapati dingin. "Ayahku
bukan serdadu."
"Lantas?" Wirapati heran. "Ayahku orang Bali."
Wirapati tersenyum memaklumi.
"Orang Bali yang menjadi serdadu Belanda." "Bukan! Ayahku seorang petani."
"Hm. Siapa namanya?"
"Made Tantre. Mengapa? Dia dibunuh orang. Ibu yang bilang."
Mendengar nama Made Tantre seketika itu juga hati Wirapati tergetar.
Jantungnya berdegup sampai mulutnya jadi gap-gap.
"Made Tantre? Siapa nama ibumu?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar