5.17.2014

Boo-aboooo ...,ya beli sajja belalainya gajah!



From: "A.Syauqi Yahya"

Lelucon Etnis Madura dalam Perspektif Multikulturalisme
D. Jupriono

Ada
tiga kelompok lelucon etnis Madura: positif, negatif, dan netral.
Lelucon netral dan positif sarat dengan humor yang menghibur, sedang
yang negatif umumnya merendahkan etnis ini. Lelucon negatif etnis Madura
diduga kuat diciptakan oleh kalangan eksternal dengan berbasis
etnosentrisme, stereotipe etnis, dan prasangka rasial. Dalam rangka
membangun komunikasi antaretnis yang bersuasana multikultural, terhadap
lelucon etnis tersebut, warga Madura hendaknya bersikap lebih positif
dengan memperkecil ketersinggungan dan prasangka serta menyadari bahwa
lelucon sebagai produk folklor diciptakan tidak berdasarkan fakta,
tetapi prasangka dan stereotipe. Sementara, etnis lain pun hendaknya
tidak mendasarkan penilaian berdasarkan stereotipe, prasangka, dan
etnosentrisme, serta mengembangkan reinterpretasi terhadap lelucon etnis
Madura dengan lebih mengapresiasi sisi positifnya. Akhirnya, semua
pihak hendaknya menumbuhkan motivasi saling mengenal, saling belajar
memahami dan menerima perbedaan, menghormati kemerdekaan berekspresi,
serta mengupayakan kualitas kehidupan bersama yang tidak sekadar
koeksistensi, tetapi lebih dari itu juga proeksistensi.

Kata-kata kunci: lelucon etnis, multikulturalisme, komunikasi lintas budaya, etnosentrisme, stereotipe

PENDAHULUAN

Kertas
kerja ini dibuka dengan mengangkat salah satu lelucon etnis Madura,
yang demi kelancaran diskusi dijuduli "Orang Madura dan Tentara" (1),
sebagai berikut.

1) Di dalam bis kota yang berjubel penumpang,
seorang penumpang yang berdiri bertanya kepada penumpang yang berdesakan
di depannya yang badannya kekar, tegap, dan berambut cepak, yang juga
tidak kebagian tempat duduk.

"Maaf, Pak, apakah sampiyan tentara?" (dengan logat khas Bangkalan!)
"Bukan."
"Sampiyan angkatan udara?"
"Bukan juga."
"Marinir ya?"
"Ah bukan ... Ada apa to sebenarnya!" (dengan logat khas Jogja)
"O tahu saya, … sampiyan pasti polisi."
"Polisi? Bukan!"
"Kalau begitu, ... jancuk sampiyan!"
"Lho lho lho ... kenapa marah?"
"Ini sampiyan 'nginjak kaki saya dari tadi."

Tidak
terlalu penting dipersoalkan di sini lelucon ini empiri faktual ataukah
sekadar imajinasi fiksional. Lelucon etnis tersebut memang hidup dan
menyebar di obrolan sehari-hari dan media massa, hingga sekarang.
Sebagai produk budaya lisan, lelucon ini anonim; siapa penciptanya sulit
diketahui (Brunvand, 1968) serta tampak tidak berharga. Akan tetapi,
dari sudut pandang disiplin folklor, lelucon tersebut bukan soal sepele.
Ia, misalnya, akan disorot sebagai sistem proyeksi (projective system)
dan sebagai refleksi protes sosial suatu kolektif  (Bascom & Wang
dlm. Dananjaya, 1984). Dari perspektif komunikasi lintasbudaya, isi
lelucon ini dan juga interpretasi terhadapnya sarat dengan
etnosentrisme, stereotipe, dan prasangka (cf. Rogers & Steinfatt,
1999).

Lelucon ini cukup menghibur—terutama bagi kolektif
non-Madura. Bagaimana di mata kolektif Madura sendiri? Apakah semua
lelucon yang menyangkut etnis Madura selalu dipersepsi sebagai humor di
mata etnis ini? Suka atau tidak, lelucon-lelucon semacam ini akan terus
mengalir. Bagaimanakah seyogianya menyikapi lelucon-lelucon tersebut
dalam kerangka pengembangan komunikasi lintasetnis yang mengedepankan
spirit toleransi, menghormati perbedaan, menenggang rasa satu sama lain?
Di seputar persoalan-persoalan inilah pembahasan makalah ini
dijabarkan.

Data lelucon dalam tulisan ini sebagain diambil
dengan menjaringnya di lapangan dan sebagian lain dari sumber tertulis,
yaitu Humor Madura untuk Penyegar Jiwa (Musa, 2006) dan Folklore Madura
(Nadjib, 2009). Perlu diketahui bahwa lelucon atau humor Madura yang
tertulis sesungguhnya merupakan reproduksi dari lelucon etnis Madura
yang tersebar luas di masyarakat.

PEMBAHASAN

Tiga Jenis Lelucon Etnis Madura

Antropolog
putra Madura tulen A. Latief Wiyata (2008) pernah melontarkan
kegalauannya bahwa kebanyakan lelucon etnis Madura yang beredar di
masyarakat bernada melecehkan harga diri orang Madura. Sementara itu,
seorang politisi Wakil Ketua DPW PKB Jawa Timur yang konon juga putra
Madura, M. Mas'ud Adnan (2006), menilai bahwa humor-humor Madura itu
suatu bentuk penghargaan positif terhadap eksistensi etnis ini. Kedua
tokoh ini berseberangan di titik ekstrem dalam merespon lelucon Madura.
Berdasarkan kedua pandangan diametral tersebut—beruntung sekali!—penulis
tinggal memungutnya dalam membuat klasifikasi lelucon etnis Madura
sbb.: (a) lelucon positif, (b) lelucon negatif, dan sisanya (c) lelucon
netral.

Lelucon Positif

Lelucon
bernada positif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh
kalangan internal Madura sendiri atau oleh orang non-Madura yang
bersimpati-empati kepada Madura. Lelucon positif bernada menghargai
serta menggali sisi-sisi positif tradisi dan karakter etnis Madura.
Untuk memahami lelucon ini, dibutuhkan pemahaman kultural etnis Madura
(cf. Bouvier, 2002). Perhatikan lelucon (2)!

2) Untuk menyambut
kunjungan rombongan menteri, sebuah pesantren menggelar upacara resmi.
Khusus kali ini ada tambahan acara: pembacaan Pancasila, lagu kebangsaan
"Indonesia Raya", dan lagu wajib "Satu Nusa Satu Bangsa"—tidak
ketinggalan pembacaan ayat suci AlQur'an dan pidato.

Protokol:  "Pembacaan Pancasila."
Petugas:
   "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Satu, Pancasila. Dua,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Empat,
Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Enam, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Dan seterusnya ... sampai menyanyikan lagu wajib.)
Protokol: "Menyanyikan lagu wajib."
Petugas: "Ambil suara .... Saaa .....
Peserta: "Shaaa ......
Petugas: "Satu ... dua ... tiga ...
Peserta: "Shalatullah salamullah …"

Bahwa
mungkin ada pihak yang menafsirkan lelucon (2) sebagai negatif—itu
tidak disangkal. Akan tetapi, penulis mengapresiasi lelucon ini secara
lain dengan pendekatan interpretif subjektif (Mulyana, 2001). Apresiasi
penulis terhadap lelucon (2) berujung pada dua tafsir.
Pertama,
mengawali pembacaan teks Pancasila dengan salam Islam (assalamu'alaikum
...) dan "Satu nusa satu bangsa" yang terpeleset menjadi "Shalatullah
salamullah …" seyogianya dipahami sebagai realitas bahwa masyarakat
Madura sangat religius islamis (Rifai, 2007). Madura identik Islam.
Adalah terasa ganjil jika ada orang Madura nonmuslim. Identitas
keislaman amat penting bagi orang Madura (Wiyata, 2007a). Biarpun kadang
terdapat deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan
substantif) dan pola perilaku sosiokultural, dalam konteks religiusitas,
masyarakat Madura dikenal memegang kuat ajaran Islam (Taufiqurrahman,
2006).

Kedua, jika harus dikomparasikan, loyalitas warga Madura
kepada ulama (ustadz, kiai) lebih tinggi dibandingkan dengan
loyalitasnya kepada umara (birokrat pemerintah). Hal ini merefleksikan
kepatuhan hierarkis warga Madura kepada bhuppa' bhabhu' ghuru rato
(ayah, ibu, ulama/kiai, dan terakhir pemimpin formal birokrasi) (Wiyata,
2007a). Kepatuhan pada dua yang pertama bukan luar biasa—seperti itu
jugalah etnis lain: Batak, Jawa, Minahasa, Tionghoa, dll. Akan tetapi,
kepatuhan pada dua yang terakhir adalah khas Madura (Wiyata, 2008).
Jelas di sini pemimpin agama dipandang lebih penting daripada pemimpin
birokrasi (pemerintah); meskipun sama-sama dihormati, seorang kiai
diberi penghormatan lebih tinggi ketimbang bupati, misalnya. Maka,
dengan konteks lelucon (2), warga Madura lebih hafal "Shalawat Badar",
sebagai cermin dari apa pun yang bersangkutan dengan agama, ketimbang
lagu wajib "Satu Nusa Satu Bangsa", sebagai cermin dari apa pun yang
menyangkut urusan negara, pemerintah, politik birokrasi.

Bagaimana
dengan lelucon (1) tentang "Orang Madura dan Tentara"—di bagian
Pendahuluan? Lelucon ini pun lelucon positif—dengan pengertian tidak
melecehkan harga diri orang Madura. Paling tidak, dalam hal ini, dapat
dicatat dua interpretasi berikut:

Pertama, penumpang yang
kebetulan berdarah Madura tersebut menampakkan dengan jelas kepatuhannya
kepada kelompok rato. Dalam konteks ini tentara, marinir, angkatan
udara, dan polisi harus dibaca sebagai aparat pemerintah (rato) (Wiyata,
2007a). Maka, nilai budaya kepatuhan hierarkis warga Madura kepada
bhuppa' bhabhu' ghuru rato kembali menampakkan sosoknya. Seandainya
penumpang yang menginjak tersebut salah satu dari TNI/Polri, dapat
dipastikan penumpang Madura tersebut tidak akan menyemprotkan umpatan
supervulgar jancok.

Kedua, etnis Madura amat membela kehormatan
harga diri dan mengekspresikannya. Intensitas semangatnya membela harga
diri, di mata etnis non-Madura, berada dalam takaran berlebihan. Karena
itu, orang Madura pantang dihina, direndahkan, atau dipermalukan,
sejalan dengan pepatah klasik ango'an apotèya tolang ètèmbang potèya
mata, yang intinya kurang lebih 'lebih baik mati daripada menanggung
malu' (Rifa'i, 2007). Bila demikian, secara tersirat, selama
diperlakukan dengan baik, orang Madura juga tidak akan mempermalukan
orang lain (ajjha' nobi'an orèng mon aba'na ta' enda' ètobi') (cf. de
Jonge, 2002). Harga diri merupakan nilai sangat mendasar bagi etnis
Madura. Dasar harga diri adalah sifat malo dan todus (rasa malu). Bagi
orang Madura, mempermalukan seseorang di muka umum dianggap menghina
harga diri dan martabatnya. Karena itu, lelaki yang tidak membalas
penghinaan tersebut adalah lelaki yang tada' ajina (tidak ada harganya).
Apalagi, jika rasa malu itu menyangkut kehormatan keluarga, ia wajib
mempertaruhkan nyawa untuk membelanya. Dari sinilah tradisi sadis carok
bermula (Wiyata, 2006). Lelaki Madura yang tidak berani membela
kehormatan keluarganya akan diejek sebagai banci atau perempuan.

Orang
Madura itu keras? Menurut Wiyata (2007), karakter orang Madura bukan
keras, melainkan tegas memegang prinsip hidup—tegas dalam perangai,
sikap, dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak
mengenal perangai, sikap dan perilaku "basa-basi"—terutama di luar
bhuppa' bhabhu' ghuru rato.

Sebaga produk budaya folklor, lelucon
(1) berfungsi sebagai sistem proyeksi (Bascom & Wang dlm.
Dananjaya, 1984), yang memantulkan angan-angan suatu kolektif, baik bagi
Madura maupun etnis lain. Bagi etnis lain, lelucon ini dapat menjadi
media belajar mengenal karakter etnis Madura yang tegas, ekspresif, dan
spontan, serta sangat menghormati aparat. Bagi etnis Madura sendiri,
lelucon (1) menggemakan spirit keberanian menyuarakan hak.
Fungsi
sebagai sistem proyeksi sekaligus protes sosial kembali ditunjukkan oleh
lelucon (3) "Pak Kades dan Pemilu" sebagai berikut.

3) Dalam sebuah Pemilu 1997 seorang kepala desa (kades) marah besar kepada rakyatnya lantaran di desanya Golkar kalah oleh PPP.

Pak
Kades: Saudara-Saudara tidak jujur kepada saya. Katanya akan membantu
saya dalam Pemilu. Ini kok Golkar malah kalah. Saya sangat kedcewa.
Tokoh
Masyarakat: Pak Kades jangan rah-marah begitu. Dalam lima tahun,
sepanjang 1.824 hari kami patuh membantu Bapak. 'Kan hanya 1 hari saja
kami membantu Pak Kiai, ... masa nggak boleh. (1 tahun = 365 hari; 5
tahun = 5 x 365 = 1.825 hari. dj)

Lelucon (3) menggambarkan
dengan jelas betapa masyarakat Madura sangat patuh pada kiai (ghuru) di
atas kepatuhannya pada kepala desa (rato). Di samping itu, lelucon ini
juga merefleksikan nyali perlawanan terselubung—menentang mobilisasi
politis yang mengharuskan rakyat mencoblos Golkar di setiap pemilu di
era Orde Baru.
Selain fungsi tersebut, lelucon etnis Madura dapat
juga berfungsi sebagai alat pendidikan dan juga alat pemaksa agar norma
dipatuhi (Dananjaya, 1984). Perhatikan lelucon (4).

4) Tole:      Kata ayah, buyut dan kakek saya tidak mengalami pikun karena beliau perokok berat.
Brudin: Ah, yang bener, Le. Masak karena merokok bisa terhindar dari pikun.
Tole: Mana bisa pikun, wong sebelum lanjut usia sudah meninggal karena batuk dan paru-paru.

Alat
pendidikan ini diperuntukkan bagi anak-anak, dan bukan orang dewasa.
Sebab, seperti halnya pada etnis lain, orang dewasa yang telanjur
sebagai perokok akan sangat sulit diingatkan dengan nasihat apa
pun—termasuk dengan lelucon semacam (4). Akan tetapi, demi kelangsungan
jiwa, dengan segala cara, nasihat itu harus ditingkatkan menjadi norma
(jangan merokok, nanti cepat mati!). Tetap tidak bisa dijamin bahwa
orang Madura dewasa ikhlas berhenti merokok setelah mendengar lelucon
ini. Meskipun demikian, spirit lelucon ini jelas positif: merefleksikan
nilai-nilai ideal kolektif (Dundes, 1965) dalam bidang kesehatan.

Lelucon Negatif

Lelucon
negatif terhadap etnis Madura besar kemungkinan diciptakan oleh
kalangan eksternal non-Madura yang kurang bersimpati-empati kepada
Madura atau juga oleh orang Madura sendiri untuk kalangan internal
eksklusif secara esoteris—setidaknya pada awalnya. Lelucon negatif
bernada merendahkan, menganggap bodoh, dan bahkan melecehkan kehormatan
kolektif Madura. Sebelumnya hendaknya dipahami, apa yang disebut sebagai
melecehkan di sini dilihat dengan perspektif interpretif-subjektif
(Mulyana, 2001). Perhatikan lelucon (5) "Pedagang Telur"!

5)
Seorang ibu PKL menjajakan telornya di Pelabuhan Kamal. Salah seorang
turis domestik (dari Semarang) tertarik untuk beli oleh-oleh buat
keluarga, maka ia mendekati penjual telor.

Penjual: "Telor telor! Mari, Mas, telurnya sar-besar, teng-ganteng nih kayak yang beli.
Turis:  "Ini telur ayam ya, Bu?"
Penjual: "Ya, telor ayam. Murah, sar-besar."
(Turis domestik kelihatan memegang-megang semua telor. Belum ada tanda-tanda mau membeli. Penjual mulai tak sabar).
Turis: "Segini kok besar to, Bu. Kecil-kecil gini lho. Kalau saya pingin telur ayam yang besar-besar, buat oleh-oleh".
(Rayuannya
nggak mempan dan dagangannya dikritik, kontan penjual balik ke sifat
aslinya, lupa akan semangat enterpreneurship-nya).
Penjual: "Sampiyan
iku yok opo sih, Cak?! Ini kan sudah ukuran dari sananya! Lha nek
nuruti  sampeyan, dobol kabeh silite pitik. Ganteng-ganteng ...
goblok!".

Dengan berpayung pada perspektif interpretif-subjektif,
yang mencoba berempati kepada etnis Madura, dapat dimengerti kekesalan
ibu pedagang telor: sudah lama memilih-milih, tak segera menawar,
mengkritik lagi! Akan tetapi, dalam dunia bisnis, pembeli harus
diperlakukan layaknya seorang raja. Secerewet apa pun, senyinyir apa
pun, calon pembeli mesti dihormati—itulah prinsip dasar berdagang,
sebagai salah satu wujud semangat enterpreneurship.

Lelucon (5)
adalah produk stereotipe yang dilekatkan oleh orang-orang non-Madura. Di
sini pedagang beretnis Madura distereotipekan berkarakter tidak sabar,
kasar, mau menangnya sendiri, dan temperamental (de Jonge, 1995;
Bouvier, 2002). Sebagai stereotipe, tentu saja persepsi tentang
karakter-karakter ini dilebih-lebihkan dan digeneralisasi, sehingga
tidak selalu benar dan seringkali mendistorsi realitas (Rogers &
Steinfatt, 1999: 228). Cukup banyak lelucon etnis Madura yang berbalut
stereotipe, misalnya lagi lelucon (6) "Pedagang Pisang" dan (7)
"Pedagang Jeruk".

6) Penjual:     "Pisang tanduk, pisang tanduk, … panjang, besar, manis. Silakan pilih sendiri".
Pembeli: "Ah …, pisangnya kecil-kecil pendek-pendek begini lho....!"

Penjual: "Boo-aboo …, kalau seperti ini dibilang kecil-kecil, pendek-pendek, ya beli sajja belalainya gajah!"
7) Pembeli:     "Jeruknya manis, Pak?"
Penjual: "Silakan dicoba, Mbak.".
Pembeli: "Baiklah. Saya beli sekilo."
(Sesampai di rumah, jeruk dimakan. Ternyata semuanya kecut. Maka, sambil marah didatangilah penjual jeruk itu)
Pembeli: "Bapak ini bohong! Jeruk kecutnya kayak gitu kok dibilang manis".
Penjual:
"Boo-abbo, sampiyan jangan marah dulu. Yang bilang manis 'kan sampiyan.
Saya cuma bilang "silakan coba", kan? Saya suruh nyoba, sampai langsung
beli. Dan lagi, sampiyan jangan dit-medit. Cuma beli sekilo, sampiyan
sudah marah. Lihat ..., saya yang terlanjur tiga karung … nang-tenang
saja. Nggak rah-marah kayak sampiyan".

Di samping berbalut
stereotipe, lelucon negatif etnis Madura juga berbasis etnosentrisme.
Dalam komunikasi yang bersuasana etnosentristik, suatu kolektif secara
tidak sadar akan menganggap budaya sendiri superior dan budaya kolektif
lain inferior (Rogers & Steinfatt, 1999: 50). Selanjutnya, ia akan
memahami pesan budaya kolektif lain dengan parameter budaya sendiri.
Tutur klasik "jangan mengukur baju di badan sendiri" akan dianggap sepi.
Etnosentrisme, pendeknya, merupakan arogansi kultural suatu kolektif.
Perhatikan lelucon (8)!

8) Sebuah jeep yang dikendarai sepasang
turis asing sedang mencari tempat parkir di stadion tempat
berlangsungnya karapan sapi. Tiba-tiba mobil tersebut ditabrak dari
belakang oleh sepeda motor yang dikendarai oleh Brudin, pemuda setempat.
Turis
(fasih bahasa Indonesia): "Saudara bersalah karena menabrak dari
belakang. Saudara harus membayar biaya perbaikan mobil saya."

Brudin: "Enak saja. Saudara yang bersalah, harus membayar biaya perbaikan sepeda motor saya!"
Turis: "Di mana salah saya?! Saya pelan cari tempat parkir, Saudara tabrak dari belakang."
Brudin: "Salah Saudara adalah datang di Pulau Madura. Coba kalau nggak datang ke sini, pasti tak terjadi tabrakan."

Sebagai
produk budaya lisan, lelucon (8) tentulah tidak benar-benar terjadi.
Teks lelucon ini hendaknya dibaca dari dua sisi. Pertama, dari sisi
substansi, tindakan dan pernyataan Brudin jelas menggambarkan
etnosentrisme. Penilaian benar-salah, baik buruk, senantiasa didasarkan
pada kepentingan subjektif kolektif etnisnya (cf. Rahardjo, 2005). Dalam
hal ini, Brudin adalah pelaku, sedang turis asing korban. Kedua, dari
sisi interpretasi, besar kemungkinan siapa pun akan membuat tafsir
kurang lebih sama bahwa pemuda konyol tersebut adalah Madura. Lelucon
ini sengaja diciptakan untuk mengkonstruksi pesan rasial-etnis bahwa
Madura itu etnosentris. Pada yang kedua, Brudin sebagai representasi
etnis Madura adalah korban rekayasa simbolis etnosentrisme, sedangkan
pelakunya bisa pencipta lelucon ini, bisa pula penafsir/pembaca/
pendengar. Untuk melengkapi lelucon ini, silakan dibaca lelucon (9).

9)     Brudin:    "Cong, siapa Gubernur Jawa Timur sekarang?"

Kacong:   "Bapak Mohammad Noer!"
Brudin: "Lha, ... Pakde Karwo itu siapa?"
Kacong: "Itu kan penerusnya."
Brudin: "Lho,  mobil No Pol L-1 kok dipakai Pakde Karwo?"
Kacong: "Ah ..., itu kan lungsurannya."

Lelucon
negatif tak selalu berbasis prasangka rasial stereotipe dan
etnosentrisme; ia bisa juga tampil mengemuka untuk mempertontonkan
kebodohan etnis ini. Meskipun, diciptakan untuk merendahkan etnis
dimaksud. sampai batas tertentu, lelucon tersebut justru malah
mengundang simpati iba sekaligus menggel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar