MINGGU, 25 MEI 2014 | 00:26 WIB
Basa-basi
Putu Setia
Suatu hari saya harus mencari surat keterangan kesehatan dari dokter untuk menjadi "pelayan umat". Begitu pentingnya surat itu, kalau tak ada, saya tak bisa dilantik. Saya pun datang ke puskesmas. Ketika berhadapan dengan dokter, saya hanya ditanya berapa tinggi, berapa berat, ada cacat fisik apa tidak. Saya menjawab, dokter menulis dan langsung tanda tangan tanpa memeriksa saya. Hanya membayar Rp 2.000 untuk administrasi.
Jauh sebelum itu, ketika saya memperpanjang surat izin mengemudi (SIM), polisi meminta saya mencari surat keterangan dokter. Untuk apa lagi, kan cuma memperpanjang SIM? "Untuk cek terakhir, siapa tahu kaki atau tangannya buntung," kata polisi. La, kan tubuh saya bisa dilihat? Repot amat. "Aturannya begitu. Tak usah repot, di sini sudah disediakan suratnya, tinggal bayar," kata polisi lagi. Setelah saya membayar Rp 10 ribu, surat keterangan itu tinggal diisi identitas saya. Selesai urusannya.
Surat keterangan kesehatan untuk dua keperluan itu bisa disebut basa-basi. Diremehkan tak bisa, karena harus jadi lampiran berkas. Diseriuskan pun jauh dari kenyataan, tak ada pemeriksaan apa-apa. Saya ingat hal ini karena pasangan capres dan cawapres sedang diperiksa kesehatannya. Ada 51 dokter spesialis yang memeriksa, semua tubuh diperiksa, termasuk jiwa yang tak tampak itu. Biayanya pun luar biasa, Rp 75 juta per orang.
Untuk apa pemeriksaan yang menyita waktu 9 jam itu? Untuk persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Persyaratan basa-basi? Tentu tidak. Para dokter itu disumpah untuk mengeluarkan hasil yang senyata-nyatanya. Ini peristiwa serius karena menyangkut kesehatan orang yang memimpin bangsa.
Jika begitu serius, apakah ada yang membayangkan calon presiden dan calon wakil presiden itu gugur karena faktor kesehatan? Hasil tes segera dikirim ke KPU, tapi penetapan capres dan cawapres dijadwalkan 31 Mei nanti. Betapa runyamnya kalau ada capres dan cawapres yang gugur. Koalisi partai akan kelabakan mencari pengganti dalam hitungan hari. Maka, saya pun berasumsi, sebagaimana asumsi kebanyakan orang, tak akan ada capres dan cawapres yang tidak lolos tes kesehatan. Bisa amburadul pemilu presiden.
Keempat tokoh itu tampaknya sehat. Panu dan kudis pastilah tak ada. Tapi apakah organ tubuh mereka bagus semua, termasuk kejiwaan mereka. Apakah tak ada jiwa yang labil, emosional, mudah gugup, stres dalam keadaan tertekan, yang semuanya mempengaruhi dalam mengambil keputusan? Masyarakat tak pernah tahu rincian ini.
Persyaratan ketat yang ditetapkan KPU tampaknya hanya jumlah suara partai pendukung. Yang lain bisa longgar. Termasuk rekam jejak sang calon. Misalnya, beredar berbagai "kampanye negatif" yang menyebutkan ada capres yang tercemar. Melanggar HAM, terlibat penculikan, pernah dipecat di instansinya, pernah jadi warga negara di lain tempat, dan seterusnya. Apakah KPU akan mengusut dugaan yang "negatif" itu? Saya tidak yakin. KPU pasti berpedoman pada "surat keterangan berkelakuan baik" dari kepolisian. Bagaimana kepolisian mengeluarkan surat keterangan itu, KPU pasti berkelit: ya, urusan polisi.
Menggampangkan masalah. Masyarakat jadi tak percaya kalau KPU berani menggugurkan capres dan cawapres meski ada masalah. Jika ingin menghindari basa-basi, semua persyaratan termasuk hasil tes kesehatan harus diteliti cermat. Pengumuman hasilnya ada tenggang waktu yang cukup dengan penetapan capres dan cawapres yang memenuhi syarat. Jadi, kalau ada yang gugur, koalisi partai bisa mencari pengganti. Bukan basa-basi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar