1.03.2020

@bende mataram@ Bagian 340

@bende mataram@
Bagian 340

Maka tak mengherankan, begitu kena cempuling, binatang itu kaget setengah
mati. Mengira ia kena marah majikannya, terus saja melesat membabi buta.
Tak mau lagi ia mengambil jalan besar. Sebaliknya, menerjang sawah dan
ladang dan larinya kian nubras-nubras sejadi-jadinya. Untung, Sangaji kini
bukan Sangaji satu tahun yang lampau. Ilmu saktinya sudah hampir mencapai
suatu tataran kesempurnaan. Dengan tangkas ia menjepit kudanya dengan kedua
kakinya sambil mulutnya membujuk halus. Tangannya menepuk-nepuk lembut. Dan
sejenak kemudian, Willem kena dikuasainya lagi. Tetapi bayangan kedua guru
dan paman-paman gurunya telah lenyap dari penglihatan. Perlahan-lahan ia
mengarahkan Willem mengambil jalan besar. Di dekat pengempangan sawah, ia
turun dan memeriksa paha Willem. Ternyata binatang itu tiada luka. Terang
gurunya tadi tidak bermaksud menyakiti Willem. Karena itu ia sangat masgul.
Di dalam hati, ia menyesali diri sendiri yang perlu diperlakukan demikian
oleh gurunya. "Guru sangat kasih kepadaku." Ia berkata di dalam hati.
Melihat hatiku lemah ia terpaksa melakukan suatu hal yang bertentangan
dengan kemampuannya sendiri. Tak terasa ia menghela napas. Mau ia melompat
ke atas kudanya lagi, tiba-tiba terdengarlah suatu suara gemeresek. Ia kini
memiliki pancaindera yang luar biasa tajam. Dahulu saja, pendengarannya
bisa menangkap napas Fatimah yang menggeletak di antara tebing sungai. Kali
inipun demikian pula. Ia menoleh cepat. Dan berbareng dengan itu, ia
mendengar suara menggeru. "Hai tolol! Kau ini memang benar-benar anak
siluman! Sudah kutunggu sekian lamanya, masih juga kau tak mau datang?
Dasar laki-laki. Apa kubilang dulu? Semua laki-laki seluruh dunia ini
memang busuk!" Sangaji melengak. Itulah Fatimah, gadis angin-anginan yang
kini sudah sembuh kembali seperti sediakala, duduk berjuntai di tepi
pengempangan sawah. Tubuhnya terlindung rumpun padi setinggi kanak-kanak,
karena itu tidak segera tampak. "Kau sudah berada di sini sepagi ini?"
Sangaji heran menebak-nebak. "Kau ini gendeng, berpura-pura tak tahu atau
tolol?" Teringat akan watak Fatimah, Sangaji segera bersedia meladeni. Maka
ia menjawab menyenangkan. "Aku memang tolol." "Ia, kau memang tolol," sahut
Fatimah cepat. Mendadak suaranya meninggi. "Hai! Masih saja kau tak
mendekat? Benar-benar kau anak siluman!" Seperti kanak-kanak takut kena
gablok, Sangaji menghampiri terbata-bata. Kalau menuruti hatinya, mau ia
tersenyum geli. Tapi terhadap gadis angin-anginan itu, tak berani ia
berbuat begitu. Hatinya terlalu mulia, sehingga takut akan menyakitkan
hatinya. "Aku tahu, kau bakal pergi. Karena itu aku menghadang di sini. Dan
kulihat penyakit gendengmu kumat lagi. Masakan kau membiarkan kudamu lari
menubras-nubras sawah? Sawah siapa yang kau rusak tadi? Memangnya kau ini
tuan besar? Iddiiih ... tak tahu malu." Tak berani Sangaji menerangkan apa
sebab kudanya sampai lari menubras-nubras. Ia malu kepada dirinya sendiri.
Ia mencoba, "Guru dan paman-paman guru hanya sampai di perbatasan lembah
dan selanjutnya aku akan meneruskan perjalanan seorang diri." "Kau tak usah
ngomong perkara tetek-bengek. Dahulu hari kau pernah bilang ibumu mirip
aku. Apakah kau terkenang ibumu?" "Tentu." Sahut Sangaji cepat sambil duduk
di sampingnya. "Hanya saja kau lebih cantik." "Ih! Kau ini memang anak
siluman. Memangnya aku cantik?" "Ya. Kau cantik." "Ibumu sudah tua. Kenapa
kau persamakan dengan aku?" "Aku bilang kau lebih cantik," Sangaji gugup.
Fatimah melengos. Tiba-tiba berkata, "Kau mau kuracuni tidak? Bilang!"
Peralihan pembicaraan itu bukan main cepatnya, sampai Sangaji jadi
kelabakan. Dasar ia tak pandai berbicara, maka tak pandai pula
menggerayangi hati gadis angin-anginan itu dengan cepat. "Racun bagaimana?"
ia minta keterangan. "Racun ya racun. Kau mau tidak?" potong Fatimah. Belum
lagi Sangaji bisa menebak, gadis itu mengeluarkan sebuah mangga muda.
Berkata, "Dahulu hari kau menggeletak di tanah seperti siluman sekarat.
Tapi aku senang, karena kau mau menggerogoti manggaku. Tadinya kau takut,
jangan-jangan mangga itu kuracuni. Kenapa kau akhirnya mau menerima
pemberianku?" Diingatkan perkara mangga itu, teringatlah Sangaji pada waktu
kena cekik Bagas Wilatikta. Itulah yang pertama kalinya ia berkenalan
dengan Fatimah. Maka setelah melongong sejenak, ia menjawab: "Kalau tak
salah ... bukankah engkau sudah memakannya sebagian?" "Bagus!" Fatimah
bergembira. Terus ia menggerogoti mangga itu sebagian. Kemudian diberikan
kepada Sangaji seraya berkata, "Sekarang kau berani makan mangga ini tidak?
Awas, kali ini benar-benar ada racunnya." Sangaji terhenyak kalau menuruti
hati sudah barang tentu ia akan menolak pemberian itu. Tetapi hatinya
sedang pepat. Lagi pula, semenjak pertemuannya dahulu ia tertarik kepada
sepak-terjang Fatimah yang lucu dan tak terduga-duga. Maka dengan lapang
hati, ia menerima pemberian itu. Ia tahu, gadis itu cuma menggertak. Tetapi
andaikata benar-benar beracun betapapun takkan bisa mengatakan dia. Sebab
kecuali ilmu kepandaiannya kini sudah hampir mencapai puncak kesampurnan,
kesaktian getah Dewadaru membuat tubuhnya tak mempan dari segala bisa dan
racun. "Darimana kau memperoleh mangga ini?" Sangaji bertanya iseng sambil
menggerumuti mangga. "Dari mencuri atau membegal, kau peduli apa?" sahut
Fatimah tak senang. Tetapi diam-diam ia bersyukur melihat Sangaji memakan
mangganya. "Dahulu kau hampir mampus. "Dan kau kuberi mangga. Kemudian kau
tolong aku dari liang kubur, bukankah aku wajib memberimu mangga pula?" Ia
berhenti mencari kesan. Kemudian tiba-tiba menaikkan suaranya. "Hai! Di
manakah kawanmu yang galak dahulu?" Sangaji tahu, yang dimaksudkan Fatimah
adalah Titisari. Justru oleh pertanyaan tak terduga-duga itu, semangatnya
terasa nyaris kabur. Tak setahunya sendiri, ia berhenti mengunyah. Dan
melihat keadaannya, Fatimah tertawa terpingkal-pingkal. "Baru saja aku
bertanya, nyawamu sudah terbang ke langit. Masakan kau takut aku bakal
merebutnya?" Sangaji menundukkan kepala. Dengan suara dalam ia menyahut,
"Dia meninggalkan aku." "Ah, masakan begitu? Hm "siapa percaya mulut
laki-laki. Semua laki-laki di seluruh dunia ini busuk. Bukankah kau yang
meninggalkan dia?" Sangaji tergugu. Sekalipun tidak demikian, tetapi mirip
pula. "Nah "kenapa tak menjawab? Huuuh... dasar anak siluman. Karena itu,
aku benci padamu. Aku benci! Sana, pergi! Dan kalau kau tak mau pergi,
akulah yang pergi!" damprat Fatimah. Dan benar-benar ia melompat dan lari
meninggalkan. Keruan saja, Sangaji jadi gugup. Ingin ia menerangkan
persoalannya, tetapi terhadap gadis demikian apakah ada gunanya. Namun ia
berteriak juga: "Fatimah! Kenapa kau benci padaku?" "Aku benci atau tidak,
apa pedulimu?" sahut Fatimah sambil lari. Sangaji benar-benar tak tahu apa
yang harus dikatakan. Ia berdiri terlongong-longong. Tiba-tiba teringatlah
dia kepada tutur kata gadis itu sendiri, bahwa kekasihnya meninggalkannya
pula. Bahkan setelah mencaci, menghina dan menghajarnya. Tetapi siapa
kekasihnya itu, sampai kini belum terang. "Agaknya setiap kali ia
bersentuhan dengan persoalan yang mirip dengan persoalannya, dia jadi benci
kepada segalanya. Sampai-sampai akupun dibencinya pula. Baiklah. Memang
Sangaji patut dibenci dan dikutuk! Ia berkata bermurung-murung kepada
dirinya sendiri. Seolah-olah orang terbangun dari kelelahan, ia berjalan
tertatih-tatih menghampiri Willem. Dalam benaknya terjadi suatu rumun suara
kacau-balau. Bayangan Titisari lantas saja tercetak kuat dalam ingatannya.
"Titisari! Aku tahu, kau menderita. Tetapi aku seorang laki-laki. Aku harus
bisa menetapi janji, betapapun bertentangan dengan suara hatiku. Kau tahu,
bukan?" la bergumam seorang diri sambil menaiki kudanya. Tetapi justru ia
berkata demikian, wajah Titisari nampak kian jelas. Mendadak ia merasa
seperti ada seorang yang mengamat-amati. Cepat ia menoleh. Ternyata
pancainderanya yang luar biasa tajam, tidak membohongi. Ia melihat Fatimah
berdiri tegak di kejauhan. Gadis itu, kemudian mendatangi dengan tingkah
acuh tak acuh. "Kau marah padaku?" katanya setelah berada dalam jarak
sepuluh langkah. Suatu kebahagiaan tiba-tiba terasa merayap dalam tubuh
Sangaji. Apa sebabnya dia mempunyai perasaan demikian tak tahu ia
menerangkan. Terus saja ia menggelengkan kepala dengan wajah berseri. "Aku
memang laki-laki busuk," akhirnya pemuda itu berkata. "Siapa bilang? Kau
manusia yang paling baik. Manusia siluman yang pernah kukenal. Kau jauh
berlainan dengan manusia yang tak keruan juntrungnya," potong Fatimah. "Kau
lain pula dengan kelakuan kekasihku yang banyak perempuannya." "Siapa dia?"
"Kau tak pernah menghajar, mencaci atau menghina kawanmu yang galak itu,
bukan?" Fatimah seperti tak mendengar pertanyaan Sangaji. "Tidak." "Nah,
itulah bedanya dengan kekasihku yang jahanam." "Apakah dia bengis
terhadapmu?" "Tidak cuma bengis. Memang dia laki-laki edan. Dia setan dan
iblis." "Siapakah kekasihmu itu?" "Kekasihku ya kekasihku. Kau mau apa?"
Ditanya demikian. Sangaji kelabakan. la mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Pastilah kekasihmu itu seorang yang hebat. Setidak-tidaknya dia ..." "Dia
bukan pemuda lagi. Kau ingin tahu?" Sangaji berbimbang-bimbang.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar