1.02.2020

@bende mataram@ Bagian 338

@bende mataram@
Bagian 338

BAGUS KEMPONG SEGERA MEMERINTAHKAN PARA CANTRIK mempersiapkan suatu
perjamuan. Tamu-tamu padepokan Gunung Damar dipersilakan memasuki ruang
dalam, karena serambi depan telah rusak. Mereka membungkam seribu bahasa.
Kesan pertempuran tadi benar-benar hebat merumun dalam otak mereka
masing-masing. Mereka yang sedikit banyak menganggap dirinya tergolong
manusia-manusia gagah, jadi malu sendiri. Dibandingkan dengan ilmu
kepandaian Kebo Bangah dan Gagak Seta bagaikan bumi dan langit. Untung
mereka mempunyai hubungan baik dengan Sangaji. Bahkan pernah pula ikut
menyumbangkan kebajikan kepadanya. Diam-diam mereka bisa menghibur diri.
Ditengah perjamuan itu setelah lama merenung-renung. Sangaji mengisahkan
semua pengalamannya kepada Kyai Kasan Kesambi dan sekalian paman-pamannya.
Mendengar kisah aneh yang berada di luar kemampuan manusia, semua yang
mendengar jadi tercengang-cengang dan takjub. "Baiklah," kata Kyai Kasan
Kesambi. "Kalau diurut Ki Hajar Karangpandanlah yang berjasa. Coba, kalau
dia tidak membawa dua benda pusaka Bende Mataram, di dunia ini mataku yang
sudah lamur tidak akan melek. Kukira ilmu kepandaian yang dicapai manusia
kini merupakan puncak-puncak kesanggupan dan kemampuan zaman." "Tetapi
kalau aku yang dikatakan berjasa, tidaklah benar!" sahut Ki Hajar
Karangpandan. "Sebaliknya Ki Jaga Saradenta dan murid Kyai Kasan keempatlah
yang besar jasanya dalam mengasuh dan mendidik Sangaji menjadi manusia
besar di kemudian hari." Menyinggung nama Wirapati, Sangaji segera teringat
akan nasib gurunya. Dia menoleh kepada paman gurunya Gagak Handaka dan
Ranggajaya. Mereka cepat-cepat berdiri dan membungkuk hormat kepada Kyai
Kasan Kesambi. Kemudian mengabarkan tentang obat pemunah yang diketemukan
Sangaji pula. Betapa besar bahagia Kyai Kasan Kesambi tak terperikan.
Perlahan-lahan ia mengelus-elus jenggotnya dan tertawa penuh perasaan.
Matanya berseri-seri memandang atap rumah. "Ah! Betapa hebat orang
menyangkal, ternyata yang Maha Pengasih tahu membalas budi. Wirapati bakal
hidup kembali seperti sedia kala." Orang tua itu segera memeriksa obat
pemunah, la manggut-manggut puas penuh yakin. Segera ia memerintahkan
menggotong Wirapati keluar dari kamar. Dan begitu mereka melihat keadaan
Wirapati, semua jadi terharu. Jaga Saradenta menangis perlahan.
Terisak-isak ia berkata, "Kau harus bisa pulih seperti sediakala. Kau harus
melihat dan ikut menyaksikan kehebatan muridmu Sangaji. Dia bukan bocah
tolol seperti sangkaku semula..." Jaga Saradenta pernah menjadi kawan
seperjuangan dekat dengan Kyai Kasan Kesambi dalam Perang Giyanti. Oleh
suatu hal yang tidak terduga-duga ia bisa bertemu kembali, setelah menyekap
diri menjadi Gelondong Segaluh. Hanya saja, ia belum memperoleh kesempatan
untuk berbicara banyak. "Ki Jaga Saradenta!" sahut Kyai Kasan Kesambi.
"Meskipun mataku sudah lamur, tapi aku segera mengenalmu. Ah, dunia ini
memang aneh. Siapa menyangka, bahwa engkau mempunyai perhubungan rapat
dengan muridku Wirapati. Selama dalam perantauan, apakah dia pernah berbuat
di luar angger-angger kesusilaan?" "Tidak! Tidak! Dia seorang laki-laki
sejatii Dan kalau Kyai Kasan mengira dia senang membawa adatnya sendiri,
tidaklah benar. Malahan akulah orang yang tak tahu adat. Dalam kebanyakan
hal, dia suka mengalah terhadapku," kata Jaga Saradenta dengan penuh
semangat. Kyai Kasan Kesambi segera bekerja. Obat pemunah itu ternyata
dibagi tiga. Yang satu untuk diminumkan. Yang kedua untuk diborehkan. Dan
yang ketiga untuk penyambung tulang-tulang patah. Setelah itu, Wirapati
dibebat erat dan diletakkan hati-hati di atas tempat tidurnya kembali, la
masih saja belum bisa bergerak, walaupun telah memperoleh kesadarannya
kembali. "Dalam dua bulan lagi kalau tiada halangan ia sudah bisa pulih
kembali," kata Kyai Kasan Kesambi yakin. Perjamuan malam itu dilanjutkan
hampir mendekati fajar hari. Jaga Saradenta segera mengisahkan
perhubungannya dengan Wirapati. Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Ki
Hajar Karangpandan dan para murid Gunung Damar tak mau kalah menyumbangkan
kisahnya masing-masing yang berhubungan dengan Sangaji. Sangaji sendiri
setelah melihat keadaan gurunya, berdiam diri. Justru ia berdiam diri,
teringatlah dia kepada Titisari dan ibunya yang masih berada di daerah
barat. Di belakang kursinya duduk Wirasimin dengan bersimpuh. Kalau tadi
sore ia masih meragukan kesanggupan Sangaji, kini ia berbalik mendewakan.
Ia selalu siap meladeni kebutuhan anak muda itu. Dan kalau kisah para
pendekar menyinggung keadaan Sangaji, ia menumpahkan seluruh perhatiannya
sampai mulutnya ternganga-nganga. Kadang-kadang ia menyambung, "Ah! Di
dunia ini mana ada suatu riwayat ajaib melebihi riwayat hidup Gus Aji..."
Sebagai puncak perjamuan itu, Sangaji mengeluarkan kedua pusaka sakti di
atas meja. Para pendekar hanya melihat saja selintasan. Mereka sadar tiada
keuntungannya apabila memiliki kedua pusaka tersebut, mengingat tenaga
sendiri tak mencukupi untuk berlatih menurut bunyi ukiran keris Kyai
Tunggulmanik. Sebaliknya para cantrik yang masih penuh angan-angannya,
segera merubung meja dengan nafsu. Mereka baru kendor nafsunya, tatkala
Kyai Kasan Kesambi berkata kepada Sangaji. "Aji! Meskipun engkau
membawa-bawa kedua pusaka itu, tidaklah berbahaya lagi. Sebab segera para
pendekar akan sadar, bahwa mereka takkan bisa memperoleh hasilnya, manakala
tenaga jasmaninya tidaklah seperti yang kaumiliki. Itu disebabkan engkau
berhasil melebur tenaga sakti getah Dewadaru, ilmu Bayu Sejati dan ilmu
Kumayan Jati oleh cekikan pendekar Bagas Wilatikta. Sebaliknya, apabila
kedua pusaka ini sampai jatuh di tangan Kebo Bangah atau Adipati Surengpati
akan lain halnya. Barangkali di dunia ini bakal ada cerita lain lagi."
Keesokan harinya, Ki Hajar Karangpandan yang biasa hidup liar segera
berpamitan hendak kembali ke padepokannya. Ia pergi bersama kakak
seperguruannya Panembahan Tirtomoyo. Ki Tunjungbiru pun hendak meninggalkan
padepokan pula. Ia menyerahkan sisa madu Tunjungbiru yang mempunyai kasiat
ajaib kepada Kyai Kasan Kesambi untuk mempercepat sembuhnya Wirapati.
Sedangkan Jaga Saradenta masih tinggal di pertapaan. Ia memutuskan hendak
menunggu Wirapati sampai sembuh. "Perkara perjodohanmu sangat gawat,
anakku." kata Panembahan Tirtomoyo. "Kau harus selalu waspada dan
bijaksana. Meskipun kata-kata pendekar Gagak Seta benar, tetapi kau harus
pandai membebaskan hatimu. Kesejahteraanmu sendiri itulah yang harus
kauperhatikan." "Itu benar!" sambung Ki Hajar Karangpandan. "Jodoh adalah
urusan Tuhan. Kalau kau pandai menyerahkan diri ke haribaannya, dia akan
memilihkan jodohmu yang benar. Tetapi semenjak itu, janganlah kau
menyianyiakan isterimu." Mendengar, ucapan kedua pendekar itu tentang
perjodohan Sangaji. Kyai Kasan Kesambi melengak. Sebagai seorang tua yang
berpengalaman, ia menduga cucu muridnya mempunyai persoalan rumit. Namun ia
tak berkata apa-apa. Demikianlah kedua pendekar itu meninggalkan padepokan
Gunung Damar. Ki Tunjungbiru yang pendiam tak lama kemudian berangkat pula.
Sangaji mengantarkan sampai di kaki gunung. "Apakah Aki akan terus langsung
berangkat ke Jakarta?" Sangaji menegas. "Tentu saja, anakku." Jawab Ki
Tunjungbiru. "Aku dilahirkan di daerah barat. Pada sisa hidupku, aku bisa
berharap tinggal di sana sampai mati. Kaupun akan ke Jakarta pula, bukan?
Baiklah aku nanti mengunjungi ibumu. Akan kuceritakan semua pengalamanmu.
Meskipun kau belum berhasil menuntut dendam kematian ayahmu, ibumu pasti
gembira mendengar kabarmu. Bagi seorang ibu, bakal melihat anaknya pulang
sudah merupakan suatu karunia besar. Bisa-bisa ia bertambah umur." Terharu
Sangaji mendengar ucapan Ki Tunjungbiru. Ia jadi diingatkan kepada
masalahnya sendiri. Benaknya lantas menjadi kacau. Karena tak pandai
mengutarakan bunyi hati sendiri, ia tegak seperti batu. Sewaktu bayangan Ki
Tunjungbiru lenyap di langit barat, tak disadarinya sendiri ia menarik
napas panjang. "Semua meninggalkan aku. Semua yang baik hati dan luhur
budi." Ia mengeluh kepada diri sendiri. "Apakah aku bisa bertemu kembali
dengan mereka?" "Teringat akan hal itu, ia jadi makin bersedih hati,"
kemudian perlahan-lahan ia kembali ke padepokan. Ternyata padepokan nampak
sunyi sepi. Eyang dan paman gurunya tak berada lagi di luar. Gurunya pun
demikian. Mereka telah memasuki kamar peristirahatannya. Yang mengisi
kesunyian, hanyalah para cantrik belaka. Mereka bekerja memperbaiki serambi
dan dinding yang jebol. Pohon-pohon patah yang menutupi halaman mereka
singkirkan sambil menimbuni bumi yang amblong. Tak terasa dua bulan telah
lewat dengan diam-diam. Selama itu Sangaji menerima petunjuk-petunjuk dan
warisan ilmu kepandaian dari Kyai Kasan Kesambi. Ilmu Mayangga Seta dan
puncak-puncak ilmu perguruan Gunung Damar telah dipahami pula. "Sangaji
pandai menghibur diri." Untuk melupakan kerisauan hatinya, ia berlatih pada
siang dan malam hari penuh. Hanya di saat-saat tertentu, ia membantu eyang
gurunya menyembuhkan gurunya dengan tenaga saktinya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar