1.01.2020

@bende mataram@ Bagian 337

@bende mataram@
Bagian 337

Kau harus tahu, ini zaman perang. Kau bisa dibunuh siapa saja. Kemari!"
Pandangnya berkesan luar biasa kasih. Dan setelah berkata demikian, ia
melompat meng-hampiri Sangaji. Semua yang hadir segera sadar, bahwa keadaan
Kebo Bangah tak wajar. Dari ucapannya yang kacau, terang sekali ia
kehilangan kewarasan otaknya. Itulah akibat gempuran Sangaji. Tenaga sakti
Sangaji memang benar-benar ajaib. Kehebatannya di luar perhitungan manusia.
Kebo Bangah boleh sakti atau kebal, namun tak tahan menangkisnya. Meskipun
kulitnya tak terlukai, tetapi jalan darahnya jadi jungkir-balik. Urat
syarafnya tergetar. Dan setelah memperoleh kesadarannya kembali, ia jadi
gendeng. Suatu keajaiban lagi terjadi di luar dugaan manusia. Menurut
perhitungan lumrah, pastilah ilmu sakti Kala Lodra akan ikut musnah kena
pukulan itu. Sebaliknya bahkan terjadi suatu perkembangan baru. Seperti
Sangaji dahulu tatkala kena cekek Bagas Wilatikta, mendadak saja jalan
darahnya tertembus: Kini bisa berputar-putar cepat dan merayapi seluruh
tubuhnya dengan bebas tanpa rintangan. Sudah barang tentu, tenaga Kebo
Bangah jadi berlipat ganda seumpama seekor harimau memperoleh sayap.
Peristiwa yang aneh itu, tidak segera nampak dari luar. Tetapi begitu Kebo
Bangah melompat hendak menghampiri, suatu kesiur angin bergulungan dahsyat.
Kyai Kasan Kesambi dan Gagak Seta kaget berbareng. Lalu berteriak
memperingatkan, "Aji! Awas!" Sangaji sendiri, waktu itu seperti kehilangan
diri sendiri. Anak muda itu terlalu mulia hatinya. Mendengar kata-kata Kebo
Bangah memanggil nama Dewaresi, sekaligus teringatlah dia bahwa pendekar
itu kena dibunuh Sanjaya di dalam benteng. Selama itu, ia tetap menganggap
Sanjaya sebagai bagian dari hidupnya. Maka begitu teringat perbuatan
Sanjaya, ia merasa diri seolah-olah ikut bersalah dan ikut pula memikul
tanggung jawab. Karena itu, meskipun dia mendengar kesiur angin akibat
tenaga lompatan Kebo Bangah, ia tak sampai hati membuat pendekar besar itu
bersengsara lagi. Untung Kebo Bangah dalam keadaan tidak waras. Waktu itu
ia benar-benar tak berniat jahat. Ia datang menghampiri dengan maksud
hendak memeluk Sangaji yang dikiranya Dewaresi. "Ha—Dewaresi! Ayo pulang!"
katanya nyaring. Oleh suara nyaring itu, Sangaji seperti ter-sadar. Secara
wajar ia mengelak. Meskipun demikian masih kasep juga. Tahu-tahu lengan
bajunya kena sambar. Bret! Ia terkejut. Tangannya lalu meliuk hendak
mengadakan perlawanan. Sekonyong-konyong Kebo Bangah berkata seperti
mengeluh. "Dewaresi! Kau tetap bandel juga? Bagaimana nanti ibumu kalau
sampai meng-gerembengi aku?" Mendengar ucapan Kebo Bangah, tangan Sangaji
turun lagi dengan lemas. Ia seperti menangkap nada keadaan hati orang itu
yang sangat sengsara. Apakah dia sudah bisa menduga, bahwa anaknya tertimpa
malapetaka, pikirnya. Sewaktu Sangaji dalam keadaan berbim-bang-bimbang,
Kebo Bangah melesat mener-kamnya. Dalam pikiran Kebo Bangah, Dewaresi
membandel emoh diajak pulang. Karena itu ia hendak memaksanya. Keruan saja,
tenaga yang dikeluarkan berlipat ganda jadinya. Gagak Seta dan Kyai Kasan
Kesambi terperanjat. Sebagai pendekar besar yang hampir mencapai puncak
kesempurnaannya, tahulah mereka bahwa tenaga Kebo Bangah sangat berbahaya.
Maka berbareng mereka maju mengulur tangan. Gagak Seta menggempur punggung
Kebo Bangah, sedangkan Kyai Kasan Kesambi menarik Sangaji keluar
gelanggang. Jalan darah Kebo Bangah telah menjadi bertentangan seluruhnya
dan tenaganya berubah kuat berlipat ganda. Biasanya untuk menangkis
gempuran Gagak Seta, ia perlu mengerahkan tenaga dahulu. Tetapi kini dalam
keadaan linglung ia tak bersiap-siap. Meskipun demikian, ia hanya kena
dijungkir-balikkan tanpa menderita luka sedikitpun. Inilah aneh, mengingat
kehebatan ilmu Kumayan Jati yang bisa menumbangkan sebatang pohon sepelukan
orang. Dan setelah kena gempuran, secara naluriah ia terus menyambar
membalas menyerang. Kedua orang itu lantas bertempur dengan serunya. Kebo
Bangah tidak lagi menggunakan ilmu Kala Lodra seperti biasanya. Ilmu itu
nampak kacau. Jurus-jurusnya jungkir-balik tak keruan. Namun demikian
hebatnya tak terkatakan. Gagak Seta kena didesaknya berulang kali dan
hampir-hampir kena balasan. "Anakku Sangaji, kau mundur dahulu!" teriak
Gagak Seta dengan nyaring. "Biarlah kulayani sendiri." Gagak Seta terus
bertempur dengan sung-guh-sungguh. Mereka jadi berkelahi dengan berputaran.
Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dengan selintasan dapat
melihat kelemahan lawan. Ia mengadu kegesitan. Itulah ilmu Ratna Dumilah
yang pernah diwariskan kepada Titisari. Tetapi Ratna Dumilah dalam
tangannya, jauh berlainan daripada kemampuan Titisari. Perbawanya dan
kewibawaannya mengagumkan. Sekali-kali ia memukul dengan ilmu Kumayan Jati.
Apabila terdesak, terus menggunakan ilmu petak untuk melejit lawan.
Diam-diam Kyai Kasan Kesambi mengagumi ilmu kepandaian pendekar bule itu.
Tatkala Gagak Seta hampir terjepit, mendadak bahkan bisa melepaskan pukulan
telak Kebo Bangah kaget sampai menjerit. Tapi akhirnya benar-benar
mengherankan. Bukan pendekar gendeng itu yang kena dipentalkan sebaliknya
Gagak Seta sendiri, la sampai terhuyung mundur tiga langkah. Dan belum lagi
tegak berdiri, Kebo Bangah sudah merabunya dengan pukulan-pukulan ilmu Kala
Lodra yang bertentangan dengan biasanya. Cepat-cepat Gagak Seta menjejak
tanah dan membebaskan diri dengan berjungkir-balik di udara. Ia turun ke
tanah sambil melepaskan pukulan keras jurus kesembilan. "Ah, bagus!" Kyai
Kasan Kesambi memuji. Kebo Bangah meloncat ke kiri dan secepat kilat
melejit. Mendadak saja meludahi dan menyembur-nyemburkan gumpalan liur.
Sudah barang tentu Gagak Seta tak sudi menerima semburan ludah itu. Dia
tahu, meskipun hanya ludah, tetapi apabila kena mata bisa celaka. Sebab
tenaga sakti lawannya bukan main besarnya. Dengan sebat ia menyambut dengan
gerakan tangan sambil terus menyerang. Menghadapi orang kurang waras,
bukanlah suatu hal yang gampang. Kebo Bangah bertempur dengan jurus-jurus
yang bertentangan dengan hukum. Seringkah dia menumbukkan tubuhnya, miring,
berdiri, merayap, merangkak, berjongkok atau merabu dengan tiba-tiba.
Meskipun demikian, semua gerak-geriknya berbahaya. Daerah geraknya membawa
kesiur angin dahsyat. Maka terpaksalah Gagak Seta melayani dengan
hati-hati. Meskipun agak keteter, namun sekali-sekali bisa membalas
menyerang juga. Diam-diam Kyai Kasan Kesambi memper-hatikan cara bertempur
Kebo Bangah yang kacau. Di dalam hal penelitian, keseksamaan dan kesabaran
dia menang daripada Gagak Seta. Diapun segera memperoleh jalan keluar. Lalu
mengajari Gagak Seta bagaimana cara melawan. "Gagak Seta!" katanya tenang
meyakinkan. "Kaupun harus memutar balikkan jurus-jurusmu. Anggaplah saja
ini suatu latihan. Nah— coba serang bawah kaki. Pastilah dia akan bertahan
dengan berdiri." Sebagai penonton, Kyai Kasan Kesambi dapat melihat dengan
tegas sekali. Maka hasilnya benar-benar mengagumkan. Gagak Seta percaya
benar kepada orang tua yang dihormatinya itu. Ia segera melakukan
petunjuk-petunjuknya. Tetapi di dalam hati, ia merasa malu sendiri.
Menghadapi Kebo Bangah, terpaksalah kali ini harus dikerubut. Pada suatu
saat, Gagak Seta bisa memberi pukulan tepat, Kebo Bangah meludah lagi
dengan tiba-tiba. Dengan demikian, Gagak Seta terpaksa membatalkan
serangannya, la harus berkelit dahulu. Justru itu, sekonyong-konyong Kebo
Bangah maju dan merabu dengan cepat. Gagak Seta melihat serangan itu. Ia
tak sempat lagi untuk menangkis atau mengelakkan. Dalam seribu
kerepotannya, ia hanya berhasil meneruskan kelitannya tadi. Ia hampir kena
pukulan. Setelah berjumpalitan di udara, ia turun ke bumi sambil membalas
menyerang. Kebo Bangah kena dimundurkan, tetapi diapun mundur terhuyung
juga. "Nah, apa kubilang," katanya terus terang. "Aku tinggal mewariskan
tulang-tulangku yang keropos kepada angkatan muda." "Tidak, tidak!" sahut
Kyai Kasan Kesambi. "Kau belum kalah dan dikalahkan. Kalau kau mengaku
kalah, akupun kalah pula. Kau tahu sendiri. Akupun tak bisa mengapa-apakan
dia." Tetapi Gagak Seta adalah seorang pendekar besar yang berwatak
ksatria. Dia tak sudi menyangkal kekalahannya. Lalu berdirilah dia tegak
sambil membungkuk memberi hormat. Katanya, "Kebo Bangah! Aku si jembel bule
dengan ini menyatakan kalah padamu." Setelah berkata demikian, ia menoleh
kepada Kyai Kasan Kesambi dengan pandang murung. Berkata pilu, "Kyai Kasan!
Maafkan aku, karena harus menyerahkan suatu kehormatan kepada seorang gila.
Tetapi memang aku tak becus melawannya. Kalau engkau masih mempunyai nafsu
untuk merebut nama besar, cobalah lawan. Aku sendiri—semenjak melihat
Sangaji telah mewarisi ilmu sakti sudah mendaftarkan jadi muridnya."
Nyaring dan terang ucapan Gagak Seta. Kyai Kasan Kesambi ternyata memanggut
pula seraya merenungi Kebo Bangah. Dia sudah lama menyekap diri dalam
pertapaan. Dalam hatinya, tiada lagi nafsu merebut nama besar. Sebaliknya
murid-muridnya jadi penasaran. Masakan gelar kehormatan nomor wahid jatuh
kepada Kebo Bangah yang kurang waras otaknya? Tetapi di dalam gelanggang
terjadi pula suatu kejadian aneh. Begitu mendengar Gagak Seta menyebut ilmu
sakti, tiba-tiba wajah Kebo Bangah berubah hebat. Wajahnya pucat lesi dan
ia jadi termangu-mangu. Sejenak kemudian menjerit seperti ketakutan dan
lari tunggang langgang meninggalkan halaman padepokan. Tatkala lewat di
depan kedua adik seperguruannya, ia seperti diingatkan sesuatu. "Hai!
Bukankah kau Keyongbuntet dan Maesasura? Di manakah Dewaresi? Apakah kalian
bunuh?" Pendekar besar itu kacau jalan pikirannya.


Kadangkala ia memperoleh kesadarannya kembali, mendadak tenggelam dan
saling bertubrukan. Justru begitu, tangannya terangkat dan menghantam
kepala Keyongbuntet dan Maesasura. Dan betapa besar tenaga sakti ilmu Kala
Lodra kala itu susah untuk dilukiskan. Kepala Keyongbuntet dan Maesasura
hancur berhamburan dengan berbareng. Mereka tewas seketika itu juga. Kebo
Bangah tertawa berkakakan. Ia lari turun gunung dengan cepat. Anak
buahnyapun cepat-cepat pula meninggalkan padepokan Gunung Damar setelah
terhenyak sesaat menyaksikan peristiwa pembunuhan itu. Mayat Keyongbuntet
dan Maesasura segera diangkutnya. Dengan demikian, dalam padepokan kini
tinggal para pendekar dengan pikirannya masing-masing. Keadaan malam itu
sunyi lengang menggeridikkan bulu roma. Pohon-pohon besar yang tumbuh
sekitar halaman padepokan tumbang berserakan akibat angin gempuran-gempuran
tenaga sakti. Di sana sini terlihat tanah amblong. Tetanaman lainnya tak
usah diceritakan lagi. Serambi padepokan sendiri runtuh bereyotan.
Dindingnya bobol dan hancur berpuingan. "Kyai Kasan," tiba-tiba Gagak Seta
berkata. "Sampai di sini kita bertemu. Kau sekarang tahu, aku manusia tak
berguna lagi. Tulang-tulangku sudah keropos." Kyai Kasan Kesambi berdiri
tegak dengan takzim. Menyahut, "Kau terlalu pagi untuk berbicara tentang
kalah dan menang. Aku masih melihat, engkau bakal mempunyai jalan keluar."
Gagak Seta tertawa perlahan melalui hidung. Kemudian mengalihkan pandang
kepada Sangaji. Berkata, "Anak tolol! Dalam dunia ini ternyata hanya pusaka
Bende Mataram yang tinggal abadi. Kau melihat sendiri tadi. Begitu Kebo
Bandot mendengar aku menyebut pusaka Bende Mataram, ia takut setengah mati.
Karena itu, untuk selanjutnya engkaulah yang akan bertanggung-jawab kepada
kekacauan dunia. Sebentar lagi, dunia ini akan kacau balau. Kekuasaan
berada di tangan orang gila. Aku tak mampu mengatasi Kebo Bandot. Eyang
gurumu tak sudi berebutan nama kosong. Mertuamu Adipati Surengpati, masih
menganggap dirinya seorang pendekar nomor wahid. Hm... aku yakin, begitu
ketemu Kebo Bandot bakal menumbuk batu." Teringat kepada Adipati
Surengpati, mendadak Gagak Seta meninggikan alis. Lalu minta keterangan
dengan suara tinggi. "Hai! Di manakah calon isterimu? Kau jangan semberono.
Mertuamu bukan manusia baik-baik. Kalau kau membiarkan dia berada satu hari
di sampingnya, kau bakal kehilangan. Dan kalau kau kehilangan Titisari,
meskipun kau boleh gagah, tetapi engkau tak bisa bekerja. Aku pun bakal
kehilangan segalanya." Sangaji terperanjat. Hatinya tergetar. Gap-gap ia
hendak menyahut, tetapi Gagak Seta telah menghilang dari penglihatan.
Padepokan jadi sunyi kembali. ***

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar