1.01.2020

@bende mataram@ Bagian 336

@bende mataram@
Bagian 336

Bahkan tepat sekali. Kalau saja tubuh Kebo Bangah tak kena disambarnya,
pastilah pendekar besar itu sudah tamat riwayatnya. Ternyata Kebo Bangah
hanya pingsan saja. Tubuhnya yang luar biasa kuat bisa menahan gempuran
ilmu sakti Sangaji. Namun urat syarafnya kacau balau tak teratur lagi.
Jalan pernapasannya jungkir balik. Itulah sebabnya, ia kehilangan
kesadarannya. "Eh, tua bangka!" kata Gagak Seta kepada Kyai Kasan Kesambi
sambil meletakkan tubuh Kebo Bangah di lantai. "Kau masih kelihatan segar
bugar. Nampaknya kau masih sanggup hidup seratus tahun lagi." Terhadap
Gagak Seta, kesan Kyai Kasan Kesambi tidak buruk. Meskipun Gagak Seta
seorang pendekar edan-edanan, tetapi berwatak ksatria. Apalagi kini ada
hubungannya dengan cucu muridnya. Maka dengan tersenyum seri ia menyambut.
"Kaupun masih gagah juga. Kalau tidak, masakan cucu muridku bisa menjadi
orang." "Eh, eh! Siapa bilang?" Gagak Seta ter-sipu-sipu. "Aku bisa
mengapakan dia? Malahan akulah kelak yang harus disulapnya menjadi seorang
manusia yang ada gunanya hidup dalam dunia ini." Dengan runtuhnya pendekar
besar Kebo Bangah, habislah sudah kegarangan pen-dekar-pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Apalagi kini pendekar sakti Gagak Seta yang disegani
orang gagah di seluruh penjuru nusantara, datang pula. Bisa dibayangkan
sudah, apabila mereka berani banyak bertingkah lagi. Maka diam-diam mereka
mengundurkan diri dan lari ngacir meninggalkan gunung. Kini tinggal
gerombolan anak buah Kebo Bangah belaka yang jumlahnya tak lebih dari dua
puluh orang. Mereka tak berani bergerak, tetapi pula tak berani
meninggalkan majikannya yang masih saja kehilangan kesadarannya. "Kebo
bangkotan ini memiliki ilmu bukan sembarangan," kata Gagak Seta lagi.
"Meskipun kita tak usah takut, untuk meruntuhkan dalam dua tiga gebrakan
adalah mustahil. Tetapi melawan tenaga sakti cucu muridmu, dia mati kutu.
Nah, kau mau bilang apa? Bukankah hidup ini selalu bersemi tiada
berkeputusan? Hidup ini bagaikan gelombang samudera. Yang satu disusul
lainnya. Yang lebih besar dan yang lebih dahsyat. Di kemudian hari tinggal
kisah tentang tulang belulang kita yang kian jadi keropos." Setelah berkata
demikian, Gagak Seta tertawa mengguruh. Dan diam-diam Kyai Kasan Kesambi
berpikir, bocah ini memang besar rejekinya. Dia telah menemukan suatu
mustika tiada taranya dalam dunia. Tenaga saktinya luar biasa dahsyatnya.
Bakatnya kuat dan pengucapan hatinya bagus pula. Hanya saja meskipun hebat,
belum terhitung luar biasa. Nanti, kalau dia sudah sadar apa arti kebajikan
hidup untuk bangsa dan negaranya, itulah baru luar biasa. Sedikit banyak ia
bisa menyumbangkan hamemayu hayuning jagat '. Meskipun berpikir demikian,
Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut juga. Mendadak sinar matanya yang
tenang beku, berki-latan tajam. Kemudian berkata seolah-olah kepada dirinya
sendiri. "Betapa banyak rakyat jelata yang sudah menjadi korban keganasan
bangsa asing dan suatu kelaliman, tak terhitung jumlahnya. Justru kini
kudengar, rakyat seluruh Mataram sedang bergerak menegakkan keadilan. Dan
kalau kita yang tua-tua ini bisa menyumbangkan sisa hidup untuk sekedar
menyiramkan darah di atas bumi pertiwi ini, bukanlah sia-sia hidup kita
ini. Orang hidup semenjak dahulu siapalah yang tidak akan mati. Dan kita
sudah bekerja sebisanya. Biarlah sedikit meninggalkan semangat hidup kepada
angkatan mendatang." Mendengar ucapan Kyai Kasan Kesambi, Gagak Seta
terkejut sampai tergetar hatinya. Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Ki
Hajar Karangpandan, Jaga Saradenta dart para pendekar muda lainnya berubah
pula wajahnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang keadilan. Karena itu tak
mengherankan, hati mereka terhanyut dalam keharuannya masing-masing.
"Semenjak dahulu, kita yang menamakan diri orang-orang gagah, merasa takluk
padamu." kata Gagak Seta. "Seumpama engkau kini lebih muda lima enam puluh
tahun lagi, hari ini akan kuajak turun gunung untuk berlomba memercikkan
darah yang tak berharga ini." "Itulah tak perlu," potong Kyai Kasan
Kesambi. "Engkau sudah bekerja sebisa-bisamu. Nyatanya engkau berhasil
menyulap cucu muridku menjadi manusia lain." "Eh, eh! Siapa bilang? Siapa
bilang?" Gagak Seta menolak pemberian jasa itu untuk yang kedua kalinya.
"Kalau saja anakku Sangaji bisa menjadi manusia lain sebenarnya engkaulah
yang berjasa. Kau tak percaya? Lihat!" Sehabis berkata demikian, mendadak
saja ia melesat menyerang Sangaji. Sudah barang tentu Sangaji yang tak
menduga sama sekali akan diserang gurunya, gugup setengah mati. Kalau saja
Gagak Seta berniat jahat, dia akan kena hantaman telak. Meskipun tidak akan
melukai, setidak-tidaknya bakal kesakitan juga. "Hai, tolol!" damprat Gagak
Seta. "Mengapa kau diam saja? Dalam dunia ini, tidak semuanya berjalan
lancar. Kau harus mengenal kelicikan dan kelicinan orang. Belum tentu
gurumu, sanak saudaramu dan sahabatmu sejujur detak jantungmu. Kalau
kaukena serangan mendadak, bukankah baru sadar setelah engkau memasuki
liang kubur? Sekarang, siaplah!" "Guru!" kata Sangaji gugup. "Bagaimana
bisa aku ..." "Aku ingin menguji ilmu kepandaianmu. Bukankah engkau sudah
sanggup meruntuhkan pendekar besar Kebo Bandotan?" Setelah berkata
demikian, kembali Gagak Seta menyerang dengan mendadak. Secara wajar,
Sangaji mengelak cepat sambil berseru gap-gap: "Guru...! Bagaimana aku..."
"Bocah tolol!" Gagak Seta mendamprat lagi. "Dalam suatu adu ilmu
kepandaian, siapa yang lengah dia bakal tewas." Dalam hidupnya, orang yang
memanggilnya dengan istilah tolol hanyalah empat orang. Gagak Seta,
Titisari, Jaga Saradenta dan Fatimah. Karena itu mendengar Gagak Seta
memanggilnya dengan istilah tolol, ia tak bersakit hati. Meskipun dia kini
jauh berlainan daripada dahulu. Namun panggilan itu sendiri membuat
ingatannya kembali kepada pertemuannya yang pertama dengan Gagak Seta.
Karena itu hatinya lemas dengan sendirinya. "Kau memang anak tolol! Apakah
engkau akan membiarkan dirimu kumakan mentah-mentah? Meskipun kau kini
memiliki suatu keperkasaan, bukankah engkau terdiri dari darah dan daging?
Tangkislah tolol! Aku hendak mengujimu, apakah tubuhmu benar-benar lebih
keras dari sebatang pohon!" Melihat sikap gurunya dan mendengar kata-kata
menguji, Sangaji seperti memperoleh sebintik cahaya. Lantas saja ia hendak
mencoba pula ilmu Kumayan Jati dengan dasar tenaga sakti yang sudah
diperolehnya. Maka sebentar saja mereka telah berkelahi dengan cepat.
Sambaran angin mereka hebat bukan main sampai atap paseban bergoyangan.
Karena itu akhirnya mereka keluar halaman. Mereka semua lantas saja ikut
lari keluar. Para cantrik pontang-panting menyalakan obor dan lampu. Dengan
demikian gelanggang pertempuran jadi terang benderang. Diam-diam Gagak Seta
bergirang hati melihat kemajuan muridnya. Tenaganya hebat, sampai ia tak
berani menangkis dengan berhadapan. Pikirnya dalam hati, benar-benar
berhasil dia melebur tenaga saktinya menjadi satu. Tapi kalau aku yang
dikatakan berjasa, sama sekali tidak. Setelah berpikir demikian dia
berseru, "Anak tolol! Kumayan Jati berasal dariku. Betapa hebat tenagamu
kini, tapi kau tak bakal bisa berbuat banyak terhadapku. Kau adalah khas
cucu murid Gunung Damar. Masakan eyang gurumu tak ikut berbicara dalam
membentuk dirimu?" Diingatkan demikian, Sangaji terus merubah jurusnya.
Kini ia menggunakan ilmu ciptaan eyang gurunya Sura Dira Jayaningrat Lebur
Dening Pangastuti. Sewaktu memunahkan dan menangkis serangan Kebo Bangah
diapun menggunakan salah satu jurusnya dibarengi dengan dasar tenaga
saktinya. Tetapi aneh. Meskipun menghadapi gurunya ia tak meng-gunakan
tenaga penuh, namun jurus ilmu itu sendiri sama sekali tak dapat menyentuh.
Bahkan menyambar selembar bulunyapun tidak. Semua yang hadir di situ adalah
para pendekar jempolan. Merekapun tadi melihat dan menyaksikan sewaktu
Sangaji menggempur Kebo Bangah. Karena itu mereka heran apa sebab ilmu itu
macet menghadapi Gagak Seta. Apakah Gagak Seta lebih hebat daripada Kebo
Bangah? Hanya seorang belaka yang tahu apa sebabnya. Yakni, Kyai Kasan
Kesambi sendiri. Seperti diketahui, ilmu ciptaan itu terjadi sewaktu
melihat nasib muridnya Wirapati yang remuk tulang belulangnya oleh aniaya
musuh. Meskipun tak pernah terucapkan. tetapi orang tua itu teringat kepada
lawan besarnya yang sangat licik, licin dan serba pandai. Itulah Kebo
Bangah dan Adipati Surengpati. Terhadap Gagak Seta, ia tak mempunyai
prasangka. Sebab meskipun berwatak angin-anginan Gagak Seta adalah seorang
ksatria. Itulah sebabnya, maka cip-taannya itu merupakan ilmu pemunah dan
penggempur kedua lawan besarnya. Sekarang Sangaji menggunakan ilmu
ciptaannya melawan Gagak Seta. Tentu saja hilanglah daya gunanya. Gagak
Seta dapat bebas bergerak tanpa rintangan. Untung tenaga sakti Sangaji
bukan main hebatnya dan Gagak Seta sendiri tak berniat berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian ilmu sakti Kuma-yan Jati dan Sura Dira
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, tak dapat saling menyentuh. Gagak
Setapun akhirnya sadar. Terus saja ia melompat ke luar gelanggang dan
menghampiri Kyai Kasan Kesambi. Lalu berkata nyaring, "Terang sekali, bahwa
engkaulah yang berjasa membentuk anakku Sangaji menjadi manusia lain. Kalau
tidak, masakan Kebo Bangah bisa terjungkal dengan gampang. Hebat! Sungguh
hebat! Memang semenjak siang-siang aku merasa takluk. Engkaulah pendekar
besar utama dalam zaman ini." "Belum tentu. Buktinya ilmu ciptaanku sama
sekali tak berdaya menghadapimu," sahut Kyai Kasan Kesambi tenang. Tetapi
Gagak Seta menggoyang-goyangkan tangan. Mau ia berkata lagi,
sekonyong-konyong terdengarlah suara tertawa bergelora. Semua yang berada
di situ terperanjat sampai menoleh. Itulah Kebo Bangah yang tiba-tiba
memperoleh kesadarannya kembali. "Lho! Aku ini siapa?" Kebo Bangah
berteriak, Ia mengawaskan Sangaji. "Hai! Kau selama ini ke mana? Dewaresi!
Kau ini memang bandel, sampai setengah mati aku mencarimu.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar