6.29.2019

@bende mataram@ Bagian 61




@bende mataram@
Bagian 61


MALAM itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan
pengalamannya pergi berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan
gurunya yang sedang kecewa. Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap.
Baru keesokan harinya daging rusa telah tersulap menjadi beberapa macam
masakan yang sedap menusuk hidung.


Namun Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi.
Pandangannya berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai
anaknya. Sebagai seorang ibu tahulah ia kalau anaknya sedang berduka.
Pikirannya menduga-duga, semalam ia kelihatan gembira kenapa sekarang
berubah dengan tiba-tiba?"


Didekati anaknya dan ia berkata sayang, "Mana gurumu? Apakah mereka tak
datang hari ini?" Dengan pendek Sangaji menjawab, "Guru sedang sibuk benar."


Sehabis berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi
pantai dan mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang
merangkak-rangkak tak peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti
kemasukan setan. Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal
hari sampai terde-ngar suara menegor, "Sejam lagi napasmu bisa putus."


Sangaji mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri
berseri-seri tak jauh dari tem-patnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk
memberi hormat.


"Eh, Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami
berpesta?" kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. "Ibumu sampai
memerlukan datang ke pondok sendiri."


Sangaji heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia
menghaturkan maaf dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta
karena mereka sedang sibuk.


"Ayo pulang!" ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang
bersama. Di rumah Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging
rusa akhirnya dapat juga diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan
keriangan.


"Mulai besok kamu akan benar-benar sibuk," kata Jaga Saradenta. "Kami
berdua telah menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu."


"Bagaimana beratnya aku akan mencoba," sahut Sangaji girang.


Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran
gerak badan dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya.
Semuanya jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang
lalu. Kali ini benar-benar meminta tenaga dan kesungguhan. Tubuhnya cepat
letih dan bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya
yang bersikap garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan
napas. Mendadak terdengarlah suara riang menusuk telinganya,


"Sangaji! Kau disiksa guru-gurumu lagi?"


Sangaji terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu,
kalau kedua gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit
bibirnya. Lalu menyahut setengah memohon, "Sonny! Biarkan aku di sini dulu.
Nanti aku bertandang ke rumahmu."


"Ayah memanggilmu," sahut Sonny tak per-duli. 'Ya—bilanglah, aku lagi
sibuk. Sebentar lagi aku datang."


"Mengapa begitu? Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?" "Sonny!
Benar-benar aku sedang sibuk."


Sonny mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah. "Aku akan
menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai."


Benar-benar hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny
seorang gadis Indo yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang
teguh tata-susila ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka
nampak kurang senang. Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi
menjauhi. Di sana mereka mencoba memberi latihan-latihan baru.


Tetapi bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu
singkat. Selain ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian
menipis. Akhirnya mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan
mas-gul.


Menyaksikan perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa
panjang dan matanya bersinar-sinar. Katanya, "Kamu disesali gurumu? Aku
senang melihatmu kena dampratan."


Sangaji sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut,
"Sonny! Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit."


"Kamu mau ke mana, sih? Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi? Apa
mau jadi seorang jagoan?"


Dihujani pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar
mengungkurkan sambil membentak, "Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi
diriku?"


Sonny terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji
berbicara sekeras itu.


"Apakah aku mengganggumu? Aku datang ke mari semata-mata untuk
kepentinganmu. Ayah memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?"


Sangaji terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia
menyabarkan diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny
mendahului, "Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini
aku takkan menghampiri dirimu lagi."


Sangaji terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan
membersit dari hati nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil
berkata menyanggah, "Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku
berbicara."


Ia kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa
pertandingan dua tahun yang akan datang tak diterangkan.


Sonny dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian
berjanji tidak akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus
ikut menghadap ayahnya.


Di rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu
hari ulang tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam
benda kesayangan. Sonny mengucapkan terima kasih.


"Ayah, pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?"
"Tentu, tentu!" sahut ayahnya cepat.


"Pertama-tama, maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah
sepucuk senapan berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku
Sangaji. Ternyata dia pandai menembak dengan tidak ada celanya."


Permohonan Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya.
Ternyata ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi
salah seorang anggota regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan
malu. Tetapi Sonny sebaliknya bergembira. Ia datang menghampiri dan
membawanya berdiri di depan kawan-kawannya. Kemudian dia mengajak
kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu kehormatan pelantikan itu.


Mau tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang
makin lama makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap
hari Minggu wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar