6.28.2019

@bende mataram@ Bagian 60




@bende mataram@
Bagian 60


Sekonyong-konyong ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata
membentak, "Hai! Apa yang telah terjadi di Yogyakarta?"


"Aman tenteram," sahut Surapati gugup. "Kau diutus siapa ke mari?"


"Aku anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau." "Diutus
apa?"


"Itu urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat
dengan rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran
Bumi Gede."


"Hm." Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, "Kau murid Hajar
Karangpandan yang tertua?"


Surapati tertawa perlahan. "Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan
Yogyakarta. Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada
Gusti Pangeran Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan.


Ini terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik
seperguruan Raden Mas Sanjaya."


"Apa kau bilang? Raden Mas Sanjaya?" Wirapati terkejut.


"Ya. Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya
dengan Raden Mas?"


Wirapati terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat
isteri Wayan Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh
si pemuda pula? Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak
ia menyambar lengan Surapati sambil membentak. "Kau berjungkir balik pula!"


Kena disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh
bergulingan di tanah. Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara
Wirapati bergelora, "Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga
Saradenta tetap menerima tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa
Sangaji. Dan kau bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu.
Bukankah kamu mau mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?"


Tak dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka,- ia
ketakutan. Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam,
tenaganya lantas saja menjadi, lumpuh. Angin sambarannya pun sudah bisa
menyakiti seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat
pergi dengan tersipu-sipu.


Wirapati terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata
seperti menyesali diri, "Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan
cilik itu... Apa boleh buat..."


"Mengapa menyesal?" sahut Jaga Saradenta. "Tindakanmu benar. Kalau kamu
tadi berdiam diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang
Sangaji..."


Wirapati mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina
orang. Selagi menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan.
Apalagi kalau dua tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa
dibayangkan siapa yang unggul dan kalah.


"Hm... Jaga Sadenta, apa pendapatmu?"


"Padang seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita
lampaui dan sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah
kena gertak?"


Waktu itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua
gurunya. Tahulah ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas
saja dia merasa dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua
gurunya.


Tiba-tiba berkatalah Wirapati, "Sangaji, marilah berbicara! Kautahu
sekarang, mengapa kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak
berarti kepadamu. Semata-mata karena kami berdua sudah terikat janji kepada
seorang perkasa nun jauh di timur bernama Hajar Karangpandan."


"Aku sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan
Ibu," potong Sangaji dengan suara rendah.


"Betul, tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang
apa boleh buat. Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami
menerangkan semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih
rajin menekuni pelajaran?"


Sangaji menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang
berkesan sedih, cemas dan menyesali dirinya.


"Sangaji!" terdengar Jaga Saradenta. "Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu
menerima semua kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan
terang-terangan dan di depan umum. Tidak hanya sekali dua kali, tapi
sering. Tapi tak perlu berkecil hati. Langit masih luas dan dunia masih
lebar. Menang atau kalah adalah jamak buat kesatria. Tegakkan dirimu.
Teguhkan hatimu. Dan kamu akan bisa bergerak maju..."


Hebat kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah
ia menduga, kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi
dirinya. Terbukti dengan kata-katanya yang sangat membesarkan hati dan tak
rela menyaksikan dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia
menegakkan kepala. Dengan mata berapi-api ia menjawab, "Guru! Aku akan
mengerahkan segenap tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan
ajaran-ajaran gawat kepadaku dan akupun sanggup memuaskan Guru."


"Hai! Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!" seru Jaga Saradenta.
"Tetapi ajaklah dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan
begitu kau takkan merasa tersiksa."


Kata-kata Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar