*Inspirasi Malam,,,,,,,,,,,,!!
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 362*
"Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan Panembahan. Apakah
kakang Kebo Kanigara tidak dapat mengambil cara lain, sehingga pertumpahan
darah itu tidak terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin
akan dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain."
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi jawabnya mengejutkan
Mahesa Jenar. "Mungkin Kebo Kanigara dan Arya Salaka memperhitungkan juga
harga diri mereka, sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana
dan mohon belas kasihan kepada Sultan itu."
Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah dirinya sendirilah
yang kini telah kehilangan kejantanannya sehingga ia memandang persoalan
itu sebagai persoalan yang harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah?
Ataukah karena ia sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah
tangga, sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar sebagai
suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya?
"Apakah aku telah berubah?" pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun
demikian maka ia mencoba berkata pula. "Panembahan, mungkin kakang Kebo
Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula karena
sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi
bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh
Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai sangkut
paut yang dekat dengan Sultan Trenggana?"
"Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar," sahut Panembahan itu.
"Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang Panembahan Ismaya."
"Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk
meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan mengambil Karebet dan dengan
pengaruhnya memaksa Karebet menyerahkan Widuri kembali?"
"Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa Jenar. Seandainya
Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali, sedang Sultan Trenggana masih
menghendakinya, maka kau juga akan dapat membayangkan akibatnya."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak dapat mengerti
keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya
sendiri. Pada keruntuhan yang dialami.
Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak dapat mengerti sikap
Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan kejantanannya.
Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya. "Tidak. Aku tidak akan
membiarkan pertumpahan darah itu terjadi."
Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri berkata,
"Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara
dan Panembahan ternyata berpendapat bahwa Sultan Trenggana yang bersalah,
karena menghendaki Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin
menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan
demikian terhindarlah segala bencana."
"Apakah yang akan kau lakukan?" bertanya Panembahan Ismaya.
"Panembahan," berkata Mahesa Jenar kemudian dengan takzimnya. "Bukan
maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada Sultan Trenggana maupun kepada
siapa pun juga. Maafkan aku, kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati
Panembahan. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan.
Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke
istana, atau Endang Widuri."
"Mahesa Jenar," potong Panembahan Ismaya. Wajahnya sesaat menjadi tegang.
Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali.
Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, "Apakah maksudmu?"
"Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka apakah Panembahan
sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara apakah Arya Salaka, biarlah salah
seorang daripadanya menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri
dengan pusaka-pusaka itu."
"Mahesa Jenar," berkata Panembahan. "Kedua pusaka itu adalah hakmu. Biarlah
kau miliki hak itu. Kau akan mendapat tempat tersendiri dengan
mengembalikan keris-keris itu ke istana. Kalau keris-keris itu diserahkan
untuk keperluan yang lain, maka kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan
kembali, dan Endang Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi
jual beli di antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat
penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung."
"PANEMBAHAN," jawab Mahesa Jenar. "Aku sama sekali tidak memimpikan
penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya dengan demikian aku tidak
mendapat apapun. Memang aku tidak mengharapkan apapun itu. Namun dengan
demikian, maka terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Apakah
artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada Demak, apabila Demak akan
mengalami bencana? Apakah artinya penghargaan yang akan aku terima, kalau
Demak mengalami cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak
akan tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu,
Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung
perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak perlu
Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya."
Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah wajah itu berkerut-kerut.
Terasa betapa Panembahan tua itu menahan perasaan yang meluap-luap di dalam
dadanya. Sekali ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.
Sesaat ruangan itu menjadi sepi.
Mahesa Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah
Panembahan Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang
berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan
keadaan kepadanya.
Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah pahitnya perasaannya
ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu menggelengkan kepalanya sambil
berkata lirih. "Jangan Mahesa Jenar. Jangan. Biarlah orang lain
menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu
sendiri pula."
"Panembahan," suara Mahesa Jenar menjadi parau karena hatinya yang pedih.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang akan menimpa Demak
di saat-saat terakhir ini. Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo
Kanigara, namun aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku
mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba mempergunakan
kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku menjumpai pendirian yang sama
sekali tidak dapat aku mengerti Panembahan, apakah benar-benar aku telah
berubah menjadi seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah
aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara
yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku
menyingkir. Meskipun umurku belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kini."
Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi tak dapat ia
berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.
"Panembahan," berkata Mahesa Jenar kemudian, "Apabila demikian keadaannya,
maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak melihat peristiwa itu terjadi.
Biarlah aku langsung menunju ke Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi
seorang yang tidak berarti apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku
tidak akan bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten. Biarlah orang lain melakukannya."
"Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa hatimu seakan-akan
terpecah karenanya. Tetapi jangan mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin
aku dapat memberi kau petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang.
Meskipun sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai
hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan
pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai.
Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan
kepada Kebo Kanigara. Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut
Banyubiru. Ki Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan
yang kau perlukan."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih jelas lagi.
Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang sangat asing baginya.
Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang oleh Kebo Kanigara dalam
menghadapi Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam persiapan yang
dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih gelap baginya, apakah
sebenarnya yang akan terjadi?
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus
pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka usaha itu masih
belum dilepaskannya. Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri
kepada Panembahan Ismaya.
Meskipun Panembahan Ismaya minta mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa
Jenar terpaksa tidak dapat memenuhinya. "Nanti Panembahan. Pada saat
Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan."
Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-ragu. Katanya
bertanya, "Bukankah pada saat Purnama naik Banyubiru akan mengalami
ketegangan?"
"Ya Panembahan," sahut Mahesa Jenar.
"Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?"
"Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku disini
menenangkan hati bersama Panembahan."
PANEMBAHAN TUA itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan
kepalanya, gumamnya.
"Sejak dahulu aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu
benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat
purnama naik aku tidak ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau
katakan kepadaku? Ternyata kau benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu
yang lain pun aku kira benar pula."
Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau memancingnya dengan
persoalan-persoalan lain. Sehingga karena itu, maka ia pun segera bermohon
diri untuk meninggalkan Padepokan itu.
Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok itu, dilihatnya
Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu yang
ingin dikatakannya, namun ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun
merasakan ketegangan di dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu
langsung mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang.
Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis.
Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera mereka berdua itu pun
berlari menuruni tebing bukit Telamaya.
Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang pintu. Wajahnya yang
tua tampaknya menjadi semakin tua. Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya
dan terdengar ia bergumam. "Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam
pengabdian yang luhur."
Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam pondoknya. Dipanggilnya
seorang cantrik dan kemudian katanya. "Aku akan berada di dalam sanggar.
Jangan bangunkan aku sampai tiga hari setelah purnama naik."
"Baik Panembahan," sahut cantrik itu.
Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam
sanggarnya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang Tumaritis
berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa
soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu
mengambil kesimpulan apa-apa.
Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk dengan persiapan
perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda. Besok pagi-pagi Baginda akan
sampai di hutan itu untuk suatu masa perburuan yang akan memakan waktu
sepekan sampai sepuluh hari. Beberapa orang yang mendahului Baginda telah
mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para pengikut
Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak pengikut.
Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari
kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan kesatuan Nara Manggala. Hutan
yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam hari sebelum
Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala bertebaran di sekitar
perkemahan, yang di bangun di sebuah lapangan rumput yang agak luas di
tengah-tengah hutan itu.
Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh dengan ketegangan.
Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-aun Banyubiru, sedang laskar
Banyubiru sendiri dengan penuh tekad telah menggenggam senjata
masing-masing di tangan mereka.
Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa apabila nanti saatnya
matahari tenggelam, laskar itu harus mulai bergerak. Malam itu mereka akan
merayap mendekati hutan Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik,
mereka harus sudah mengepung perkemahan Baginda.
Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit.
Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima Endang Widuri
dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi. Widuri akan direbutnya dengan
kekerasan. Kalau tidak dan Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan
Wira Tamtama yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup
menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri.
Laskar yang dibawanya pasti akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia
datang tanpa kekuatan, maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan
dibelakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk menerima kembali
Widuri pasti akan dipertimbangkan.
Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam di kaki langit.
Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya. Sekali-kali
dilayangkan pandangannya ke pada laskar yang sudah bersedia sepenuhnya di
alun-alun. Dipendapa rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur,
pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun tampaklah Ki Ageng
Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya.
Ia sendiri tidak mampu bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula
Kelapa. Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*ðð
*Inspirasi Malam,,,,,,,,,,,,!!
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 361*
Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan tamu-tamunya duduk dan
dengan ramahnya maka Panembahan tua itu menyapa keselamatan mereka.
"Demikianlah Panembahan" jawab Mahesa Jenar. "Tuhan melindungi hamba dan
keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan pun demikian pula hendaknya."
"Syukurlah ngger." sahut Panembahan Ismaya.
Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka menjadi semakin akrab.
Panembahan Ismaya bertanya dari satu soal ke soal lain, dari satu masalah
ke masalah yang lain. Sehingga akhirnya Panembahan itu berkata, "Aku
menjadi berdebar-debar akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai
hutang kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunungkidul untuk
mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk
menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat
bersama angger berdua ke Gunungkidul."
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya.
Sedang wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar
menjawab. "Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama kali, kedatanganku
sengaja mengingatkan Panembahan akan hal itu."
"Aku tidak pernah lupa ngger." sahut Panembahan. "Maksudku, aku ingin
mempercepat waktu."
"Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat berbuat sesuatu."
Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada maksud
kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin berkisar dari
pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang sebenarnya dibawanya.
Katanya, "Panembahan, sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku
membawa persoalan lain, yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan
kepada Panembahan."
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Ah, apakah
masih ada persoalan penting bagiku selain persoalan angger berdua? Aku kira
tidak. Aku tidak akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain."
"Panembahan" berkata Mahesa Jenar, "Kali ini tidak ada orang lain yang
dapat memecahkannya selain Panembahan."
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berkata, "Baiklah
ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-persoalan itu. Sekarang
beristirahatlah. Bukankah masih ada waktu nanti, besok atau lusa?"
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia ingin berkata
lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke dalam ruangan itu sambil
membawa hidangan. Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam. Yang
berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya. "Marilah ngger. Mungkin angger
sudah lama tidak merasakan makanan pegunungan. Air daun sere, nasi jagung
dan sambal wijen."
Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang lapar. Karena itu,
maka mereka tidak berkeberatan ketika Panembahan itu membawa mereka,
menikmati hidangan para cantrik itu. Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi
kecewa. Meskipun kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu
masih saja berkata. "Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok sebelah
barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum juga pulang sejak saat
mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru bersama angger berdua."
Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk segera mengatakan
maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa mereka beristirahat di pondok
sebelah barat. Pondok yang dahulu pernah di tempatinya pula. Pondok itu
masih juga seperti dahulu. Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon
yang rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka
terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para cantrik bercocok
tanam. Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula olehnya
bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung Sariti dan kemudian
oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar. Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika
dikenangnya, dibawah bukit itu pernah terjadi suatu malam yang mengerikan.
DIMANA janda Sima Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan
kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban
yang pernah terjadi antara orang-orang dari golongan hitam itu.
Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara Wilis yang
agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan yang berat itu.
"Wilis" katanya, "Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah merayakan
kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?"
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah itu pernah terjadi?"
"Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah di bawah bukit ini
kau mendapat sambutan yang sangat meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit
ini menunggu ibu tirimu yang akan mencarikan buat kau seorang menantu dari
Nusa Kambangan."
"Ah," tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit
Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.
Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, "Wilis, apakah kau sedang
mengetrapkan aji Cunda Manik."
Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata,
"Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang."
"Kalau kakang menyebutnya sekali lagi," jawab Rara Wilis. "Maka aku
benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku tidak takut seandainya
kakang melawan dengan Sasra Birawa."
"Akulah yang takut," sahut Mahesa Jenar.
Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-benar telah
merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-tiba ia merenung.
Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan berhembus
perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di halaman. Terasa silirnya angin
mengusap tubuh-tubuh mereka, sehingga terasa betapa sejuknya udara
pegunungan itu.
Namun Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke
bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima
persoalan itu. Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati.
Apakah Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena
kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan
karena itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu.
Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya sehingga dengan
serta merta ia berkata kepada Rara Wilis. "Wilis, kenapa Panembahan tidak
mau mendengar persoalan ini segera?"
Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi
bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali
ini Mahesa Jenar tidak bergurau lagi.
"Aku menjadi ragu-ragu Wilis," berkata Mahesa Jenar. "Apakah Panembahan
sengaja menghindarinya?"
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata,
"Marilah kita menghadap sekarang."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Apakah Panembahan tidak
menjadi gusar karenanya?"
"Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali."
Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa Jenar pergi.
Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan keinginannya untuk bertemu
Panembahan.
"Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri."
Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui
Mahesa Jenar. Katanya, "Kenapa angger sedemikian tergesa-gesa?"
"Panembahan," sahut Mahesa Jenar. "Sudah aku katakan, bahwa kedatanganku
membawa persoalan yang perlu segera aku sampaikan kepada Panembahan,
Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan perang."
"Perang," Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri
memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.
"Ya" sahut Mahesa Jenar. "Apakah Panembahan belum mendengar bahwa Widuri
telah hilang?"
"Oh," Panembahan itu semakin terkejut. "Widuri anak Kebo Kanigara maksudmu?"
"Ya Panembahan?"
"Bagaimana mungkin anak itu hilang?"
"Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh
Karang Tunggal itu."
Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia bergumam. "Anak itu tidak juga menjadi jera."
Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa yang
diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia berkata,
"Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah itu tidak akan dapat
dihindari?"
PANEMBAHAN Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
perlahan-lahan, "Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja menghendaki gadis
yang lain?"
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin heran mendengar
tanggapan Panembahan Ismaya itu. Panembahan Ismaya sama sekali tidak
menyesalkan tindakan Karebet atau Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula
disesalkan adalah Sultan Trenggana.
*Bersambung",,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris) hcððð
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar