2.25.2019

*NOGO SOSRO SABUK INTEN* *Jilid. : 365*

*Inspirasi Siang*,,,,,,,,,,,,,,,,!!




*NOGO SOSRO SABUK INTEN*


*Jilid. : 365*




Arya Salaka dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya,
segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang
yang mendampinginya menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak
terdapat Ki Ageng Sora Dipayana.


Orang tua itu lebih baik tinggal di Banyubiru. Berdoa di dalam hati
bersama-sama Wanamerta, semoga semuanya dihindarkan dari bencana.


Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka semakin berdebar-debar
pula hati setiap laskar di dalam pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah
mengalami pertempuran yang dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam,
namun hati mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah
bersiaga pula disekeliling perkemahan.


Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti kedatangan mereka.
Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan laskar
Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka mempergunakan tanda-tanda
kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu.


Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah panji-panji
Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan tenangnya. Di tangan
masing-masing tergenggam sebilah pedang, dan di tangan yang lain sebilah
perisai.


Dengan dada tengadah mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama
menjadi semakin dekat.


DI dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul
Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu
banyak jumlahnya, namun ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati
mereka pula.


Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang
mendekati mereka. Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit,
namun pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar.


Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir ia tidak
dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang demikian pernah dialami pada saat
laskar Banyubiru berhadap-hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang
lampau di Banyubiru.


"Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus terulang?" desah di
dalam hati.


Di lingkaran yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala.
Wira Jala Pati dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas
mereka itu terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling
mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa. Mahesa
Jenar mengelus dadanya.


Ketika ia berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang
Ki Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.


"Hem," Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, "Mudah-mudahan semuanya
berlangsung baik."


Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang dalam gelar Gedong Minep itu
benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia tahu benar, bahwa meskipun
laskar Demak itu tidak begitu banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi
berperang, sehingga kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara
sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah masak.


Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus.


Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa
saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia memandangi
lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati, "Manakah anak muda yang
bernama Karebet itu?"


Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus sehingga mereka
menjadi semakin dekat dengan perkemahan Baginda Sultan Trenggana.


Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang yang berkuda
datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara Manggala. Orang itu
mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, kemudian datang lebih mendekat lagi.


"Terimalah Arya," bisik Mahesa Jenar.


Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai
rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu. Arya Salaka menggeretakkan
giginya. Kemudian katanya kepada ayahnya. "Ayah, Baginda sudah tahu maksud
kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet disini. Dan
Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita."


Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa
Jenar yang menundukkan kepalanya.


"Bagaimana adi? " bertanya Gajah Sora.


Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya Salaka untuk
melihat rontal ditangannya. Kemudian wajah yang bersungguh-sungguh ia
berkata, "Terimalah Arya. Sebaiknya kau menerima tawaran itu. Dengan
demikian kau akan mengurangi korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh."


Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian
kembali ia memandang kekejauhan. Sekali-kali tampak bibirnya
bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya.


Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun
berkata, "Hasrat yang paling besar untuk menemukan Endang Widuri justru
datang daripadamu Arya. Bukan dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu,
wajarlah apabila kau yang akan tampil kedepan melawan seseorang yang akan
dikirim oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan."


Arya mengangkat wajahnya.


Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu
sehingga dahinya berkerut-kerut.


Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun juga.


Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah membakar dada Arya
Salaka. Karena itu, maka kemudian ia melangkah kembali dan menghadap kepada
orang yang berkuda itu dengan dada tengadah. "Aku terima tawaran itu. Aku,
Arya Salakalah yang akan datang ke gelandang."


Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar menjadi tegang.


Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah sebuah tengara, sangkalala
yang mendengung di udara. Setiap orang yang mendengar sangkalala itu
menjadi berdebar-debar. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah
mengetahui, bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru
dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding. Meskipun
hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu, apakah sebenarnya
tuntutan Arya Salaka itu.


Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa tombak Kiai
Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh, pusaka yang diterimanya
secara tidak langsung dari Pasingsingan.


Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke lapangan rumput itu
dari perkemahan laskar Demak, maka Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia
berputar menghadap ayah dan gurunya sambil berbisik. "Ayah dan paman-paman.
Restuilah aku, semoga aku akan berhasil."


"Hati-hatilah Arya," hampir bersamaan orang-orang yang mendampinginya
menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran.
Sedang Rara Wilis pun tidak kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.


Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah lapangan itu.
Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh
tegap kekar, berkumis melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika
terlihat olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu
mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka.


Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi kecewa. "Hanya
seorang anak-anak," desisnya. Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan
pancaran wajah anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga. Ketika mereka
kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera
berhenti.


Beberapa orang prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah
lambaian mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi.


Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka segera ia bertanya
kepada Mahesa Jenar. "Siapakah yang akan datang ke arena?"


Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat saling berdiam diri.


"Apakah adi Mahesa Jenar?" bertanya Gajah Sora.


Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. "Jangan kakang. Jangan aku. Mungkin
Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang Kanigara mempunyai kepentingan
langsung dalam peristiwa ini."


"Hem" Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
"Jangan aku. Orang-orang Demak telah menyangka aku tak akan mereka jumpai
lagi."


"Lalu siapa?" desah Mahesa Jenar.


"Kakang Gajah Sora sendiri barangkali?"


Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya.


"Tidak" katanya. "Aku tidak sanggup."


Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa
Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam
seperti tonggak.


Sekali ia menarik nafas panjang dan kemudian katanya. "Apakah kau dapat
mewakili kami Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak
terjadi kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu."


Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kami bukan
orang Banyubiru."


"Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai
perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur".






*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,


*(@Ww/tris)*🍑🍑🍑

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar