2.28.2019

*NOGO SOSRO SABUK INTEN* *Jilid. : 367*

*Inspirasi Sore*,,,,,,,,,,,,,,,!!




*NOGO SOSRO SABUK INTEN*


*Jilid. : 367*




Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian
dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya.
Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk
bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua
kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat
keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya,
Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi
kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah.


Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat
kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia
terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi
Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya
sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh
luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Beberapa orang
kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi.


Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. "Pergi. Pergi. Tak seorang pun
dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi."


Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung
Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.


Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau
tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu
telah mampu mengalahkan Prabasemi. Arya Salaka masih berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti
membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi
semakin segar pula.


Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali
ke arena. dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. "Ki Ageng,
lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang
kedua seperti yang dijanjikan."


Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih
terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab
lantang. "Aku masih tetap berdiri disini sebelum Karebet diserahkan kepada
kami dengan segala akibatnya."


PARA prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa
Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam
rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk
melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat
dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan.


Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau
beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun
mereka tidak beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung
Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk
yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan
segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?


Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja
laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak
dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak
laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang.


Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan
diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak
menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena.
Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda.
Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.


Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali
terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang
yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua
mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak
beberapa saat lampau.


Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata
lantang. "Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila
ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari
Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon
Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka
nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang
telah membawa persoalan itu kemari."


Disekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit
Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke
arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya.
Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada disitu. Sedangkan ia masih
harus menjalani hukumannya.


Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar.
Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan
dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih
lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan
yang selama ini pernah dimilikinya.


Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. "Karebet.
Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri."


Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya
masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia
menyapa. "Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka."


Arya Salaka bergumam.


Jawabnya. "Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita
tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau
telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan
pengampunan atas kesalahanmu itu."


Karebet mengerutkan keningnya.


Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak
jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi
dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana. Apalagi
Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di
sekitarnya.


Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. "Nah, Karebet yang
perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau
membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?"


Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat
menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. "Kau telah memancing kekeruhan
dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah,
Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang."


Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya
saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi
ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata.


"Terpaksa aku lakukan adi."


"Omong kosong" bantah Arya Salaka. "Ternyata kau sampai hati menjual adik
sepupumu itu?"


Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka.
Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus.
"Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu."


Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya
memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun
tiba-tiba berkata lantang. "Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak
menyenangkan ini."


Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa
menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet
pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya
maka ia pun membuka serangan pula.


MAKA terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing
mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya
dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang perkasa.


Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan
benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang
Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan
tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik
ke titik yang lain.


Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu
ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi
yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong
perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu
benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara. Sambar
menyambar, terkam menerkam.


Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah
surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan
cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang.


Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi.
Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang
bernada maut. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua
kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.


Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang
yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih
terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat.
"Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula".


Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena
kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya,
tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.


Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh
kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang
matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh.
Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur
itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula.


Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam
hatinya. "Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,"
desisnya. Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang.


"Hem," desahnya. "Seharusnya tuanlah yang maju ke arena."


"Pamanda Baginda tidak menunjuk aku," jawabnya. Kemudian katanya pula.
"Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?"


Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, "Tangan anak itu benar-benar
seberat batu hitam yang menggempur dadaku."


Arya Penangsang tersenyum. Katanya, "Aku tahu benar. Anak muda itu
mempergunakan Aji Sasra Birawa".


"He?," Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam
hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.


"Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa," gumam Arya Penangsang.


Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam
baraknya sambil berpegangan dinding. "Persetan."


Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini
menjadi semakin kendor.


Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah
kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun
sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik. "Maafkan
aku adi."


Arya Salaka terkejut. "Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku
telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini."


"Adi," berbisik Karebet itu pula. "Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata
sebenarnya."


Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia
mendengar Karebet itu berkata. "Kali ini tak ada orang lain yang dapat
menolongku, selain adi Arya Salaka."






*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,


*(@Ww/tris)*🍏🍏🍏

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar