9.01.2015

Merdeka


From: A.Syauqi Yahya 


Merdeka

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/16/1862/merdeka

MINGGU, 16 AGUSTUS 2015 | 00:12 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema

Begitu melihat saya, Romo Imam langsung berteriak, "Merdeka... merdeka...." Saya tertawa. Sudah sebulan lebih saya tak berkunjung ke padepokan Romo. Beliau begitu sumringah tampaknya. "Tujuh puluh tahun merdeka, kita harus semangat. Ayo kerja," katanya lagi.
"Tapi Romo, apa masyarakat juga semangat? Tak ada gapura yang saya lihat di mulut gang seperti dulu. Tak ada patung pejuang dengan senjata bambu runcingnya," kata saya. Kini Romo yang tertawa, "Zaman sudah berubah. Untuk apa membuat gapura, cukup membuat baliho besar. Lebih murah. Masyarakat juga sulit diajak gotong-royong membuat gapura. Apalagi ada bambu runcingnya, memang anak-anak sekarang mengenal makna bambu runcing?"
Romo Imam sangat ceria. Saya pun berani bebas bicara. "Kalau begitu, tradisi merayakan tujuhbelasan sudah mulai bergeser, ya, Romo? Bukan lagi teringat kepada pejuang yang membuat negeri ini merdeka. Yang lebih diingat adalah bagaimana bisa memanfaatkan perayaan tahunan ini untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok. Atau juga membagikan hadiah kepada para kolega dengan dalih telah berjasa luar biasa kepada negara. Hadiah itu, misalnya, piagam yang diterima para tokoh atau bisa pula hadiah remisi untuk narapidana, termasuk para koruptor."
Romo mendadak memelototi wajah saya. Lalu katanya, "Sampeyan tidak setuju koruptor diberikan remisi tujuhbelasan?" Saya langsung menjawab, "Bukan soal setuju atau tidak, tetapi kan ada aturan yang membuat remisi untuk koruptor diperketat. Sekarang malah ada yang disebut remisi dasawarsa karena ulang tahun kemerdekaan ini pada kelipatan sepuluh."
"Apa yang sampeyan maksudkan dengan piagam tahunan itu? Pemberian bintang kehormatan mahaputra dan bintang jasa kepada para tokoh itu? Sampeyan tidak setuju?" tanya Romo lagi. "Lagi-lagi bukan masalah setuju atau tidak, Romo," kata saya cepat. "Saya pun tak bermaksud nyinyir, nanti ada tuduhan kalau saya cuma iri. Padahal apalah saya ini."
Romo tak lagi menatap saya dengan tajam. Saya pun menyesal berbicara terlalu bebas. Tiba-tiba Romo berkata lebih kalem, "Memang bintang kehormatan tahun ini banyak dipertanyakan. Seseorang yang menduduki jabatan komisioner hanya satu periode, apakah itu di komisi pemilihan umum, komisi yudisial, hakim mahkamah konstitusi, sudah mendapat bintang kehormatan sejajar dengan budayawan yang sepanjang hidupnya berkarya? Penghargaan dari negara ini semestinya mengandung unsur keteladanan. Seseorang yang diberi bintang sebagai tokoh pers, bagian mana dari orang itu yang harus diteladani? Padahal tokoh itu pemilik stasiun televisi yang menggunakan frekuensi publik, tetapi siarannya banyak untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya."
Romo berhenti sebentar dan saya kaget karena sikapnya yang berubah. Saya langsung memilih diam. "Presiden Jokowi memang susah ditebak, reshuffle kabinet saja dilakukan pada saat orang-orang tak lagi meributkannya," kata Romo. Saya tetap diam, tanpa komentar. "Rizal Ramli yang suka mengkritisi kebijaksanaannya diangkat jadi menteri koordinator. Menteri yang selama ini dianggap menghinanya, malah tak diganti. Ya, kita lihat, mudah-mudahan antar-menteri jadi akur, bukan saling mencampuri dapur masing-masing."
"Apakah ada kemungkinan menteri saling merecoki dapur tetangganya?" tanya saya. Romo menjawab kalem, "Bisa saja jika para menteri punya ego tinggi dan masih beranggapan bahwa presiden itu sebenarnya tak banyak tahu." Wah, saya spontan nyeletuk, "Kalau begitu, Jokowi harus berteriak: merdeka... merdeka... ayo kerja...."

--
--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar