Koalisi
Sabtu, 12 April 2014 | 23:03 WIB
Putu Setia
Tanpa mengurangi rasa hormat akan keilmuannya, saya bosan mendengar uraian para pengamat di televisi tentang hasil pemilu legislatif. Selain orangnya itu-itu saja, pengamatannya terlalu metropolitan, kurang memahami apa yang ada di desa.
Misalnya, soal efek-efekan. Ada efek Jokowi yang dianggap gagal mendongkrak suara PDI Perjuangan. Lalu ada efek Rhoma Irama yang berhasil mendongkrak suara PKB. Yang saya amati (meski saya tak menyandang predikat pengamat) orang desa bukannya tak mendukung Jokowi menjadi presiden. Mereka mendukung, tapi itu nanti pada pemilihan presiden. Orang di desa cenderung memilih caleg yang dekat dengan lingkungannya karena merekalah yang setiap saat membantu warga. Tak peduli partainya. Tentang suara PKB yang melonjak, ini lebih pada warga NU yang "pulang ke rumah". Sulit membayangkan para kiai mencoblos PKB hanya karena Rhoma Irama, meski dia Raja Dangdut.
Soal koalisi, konon sudah mengerucut. Tiga partai teratas yang sudah punya calon presiden menjadi "komandan" koalisi. Tapi, apa benar begitu, saya ingin pendapat pengamat wong ndeso. Siapa lagi kalau bukan Romo Imam. "Ah, percuma, kamu yang sudah mendukung Jokowi pasti menyanggah," kata Romo, begitu saya meminta komentar soal koalisi.
Saya hanya nyengir kuda--bisa menebak kuda nyengir? Romo melanjutkan: "Sudah ada tiga partai besar yang semua punya calon presiden. PDIP dengan Jokowi, Golkar dengan ARB, dan Gerindra dengan Prabowo. Saya ingin ada koalisi keempat, di luar ketiga partai itu, agar Jokowi punya lawan."
Saya tersentak. Bukankah lawan Jokowi sudah jelas ARB dan Prabowo? Atau Romo Imam menganggap Jokowi pasti menang mudah melawan kedua tokoh itu? Saya tak berani bertanya, Romo langsung berkata: "Kalau tiga saja partai menengah berkoalisi, sudah bisa mengusung calon presiden, yaitu Demokrat, PKB, dan PAN. Lalu tokoh yang dimunculkan adalah Anies Baswedan, peserta konvensi capres Demokrat, dan Mahfud Md. Tentu ketiga pimpinan partai itu harus legowo, siapa yang jadi presiden dan wakilnya. Bisa Mahfud-Anies, bisa Anies-Mahfud. Pasangan ini akan menjadi pesaing tanggung Jokowi, siapa pun yang jadi wakilnya."
Saya tentu kaget, tapi saya sembunyikan. "Jokowi itu gesturnya belum presiden. Bicaranya dalam menjawab pertanyaan spontan sering tak fokus, ha-ha-he-he… Wawasannya masih kurang…." Ucapan Romo ini langsung saya sanggah: "Romo, itu karena kita terbiasa punya presiden yang menjaga citra dan penampilan. Kita ingin sesekali punya presiden yang merakyat, yang bisa naik bak sampah, yang bisa mencebur ke got, rakyat menyukai ini."
Romo terbahak dan tawanya agak aneh. Saya langsung diam. "Sudah saya bilang, kamu pasti marah kalau saya komentari Jowoki dengan cara saya," kata Romo dan mengajak saya minum. "Kalau ada koalisi sesama partai menengah, pertarungan jadi seru. Terserah siapa dipilih rakyat, Jokowi atau pasangan alternatif itu. Ingat, dalam pemilihan presiden yang dilihat bukan partainya, tapi tokohnya. Orang tak melihat lagi PDI Perjuangan, Demokrat, PKB, Golkar, atau Gerindra, tapi yang dilihat Anies Baswedan, Mahfud Md., Jokowi, Prabowo, dan Ical. Siapa yang paling bersih, jujur, dan punya wawasan," kata Romo.
Romo menyambung: "Tentu, kalau pasangan alternatif ini terpilih, akan ada perlawanan dari parlemen. Tapi, kalau kerjanya bagus, menterinya profesional, dan bukan bagi-bagi jatah partai, rakyat akan berkoalisi dengan pemerintah." Saya tetap diam dan akhirnya sadar, inilah risikonya minta pendapat pada pengamat ndeso. Anggap saja selingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar