From: syauqiyahya
Minggu, 06 April 2014 | 00:50 WIB
Nyoblos
Putu Setia
Hari pencoblosan masih beberapa hari lagi. Tapi saya sudah bermimpi mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Apakah ini mimpi buruk atau mimpi baik, tak ada jawaban di buku Primbon Mimpi. Penyusun primbon kurang update menerangkan soal mimpi, tak mengikuti kemajuan zaman.
Ada yang tahu apa arti mimpi saya itu? Baik, saya ceritakan. Siang itu, dengan surat panggilan di tangan, saya mendatangi sebuah TPS. Lama sekali menunggu, tak juga dipanggil. Orang yang datang belakangan malah sudah selesai mencoblos, saya tetap duduk di kursi. Tak sabar, saya datangi petugas, kenapa saya tak dipanggil. "Lo, nama Bapak sudah saya panggil sejak tadi, tidak dengar, ya?" jawab si petugas.
Wow, saya baru sadar, nama yang dipanggil adalah nama saya yang lama. Tentu sesuai dengan surat panggilan. Paguyuban pendeta Hindu pernah mempersoalkan kemungkinan pergantian nama untuk pendeta ke Catatan Sipil. Supaya nama di KTP dan paspor menjadi "nama pendeta". Sebagai bukti ada perubahan nama adalah ada ritual yang bernama "seda angga", ritual kematian yang dikukuhkan dengan surat resmi Parisada Hindu, sehingga ada "kelahiran kedua" dengan nama baru. Tapi Catatan Sipil, konon setelah berkonsultasi ke pusat, tak mengizinkan dengan alasan "itu kepercayaan lokal". Bahkan ada bisik-bisik menyebut: "seperti tahayul". Ya, sudahlah.
"Apakah nanti setelah mencoblos, jari tangan saya juga dicelupkan ke tinta?" tanya saya ke petugas, setelah urusan panggil-memanggil selesai dengan damai. "Tentu saja, itu peraturan," jawab petugas. "Kalau Bapak tidak mencelupkan jari tangan ke tinta, nanti Bapak dikhawatirkan mencoblos lagi di tempat lain."
Saya katakan tak mungkin, bukankah surat panggilan hanya satu? Petugas semangat membantah, "Bisa saja ada orang yang tak jujur, surat panggilan dibuat dobel untuk Bapak. Atau Bapak sendiri yang tidak jujur, ke TPS lain dengan membawa KTP dan menyebut tak ada nama dalam daftar, lalu ngotot mencoblos. Tinta di jari itu untuk mengatasi ketidakjujuran."
"Kalian menghina," jawab saya tegas. "Pemilu selalu didengungkan dengan asas jurdil, jujur dan adil. Tapi kalian dan seluruh penyelenggara pemilu mengajarkan orang untuk menghina kejujuran itu. Ini pemilu yang primitif, sistem pemilu di negara yang tak berkembang, negeri yang jauh dari kemajuan teknologi. Di negeri lain, orang sudah memilih dengan sistem elektronik, dan penyelenggaraan pemilu ditangani lembaga statistik sejenis Biro Pusat Statistik. Ini pemilu boros dan rumit, ada KPU, ada Bawaslu, ada DKPP. TPS dijaga banyak orang masih perlu saksi-saksi, ada lembaga pemantau. Semua ini karena kejujuran itu tak ada, atau kejujuran itu sudah sejak awal dipastikan tidak ada untuk semua orang, termasuk kaum pendeta. Itu kan menghina?"
Eh, saya terbangun. Saya sudah berusaha membalik bantal, konon dengan cara itu saya bisa tidur pulas lagi dan melanjutkan mimpi. Tapi tak bisa. Saya penasaran, apakah saya jadi mencoblos dalam mimpi itu atau tidak?
Dalam terjaga, saya teringat ucapan almarhum Guru Nabe saya, "Pendeta tak perlu mencoblos." Alasannya? Guru dengan bijak menjawab, "Ini jawaban yang gampang supaya tak berdebat, pendeta tak lagi berurusan dengan duniawi. Yang benar adalah soal nama dan kejujuran yang disangsikan dengan mencelupkan jari ke tinta. Apalagi tinta itu bukan barang suci bagi pendeta karena sudah dipakai banyak orang."
Untunglah pendeta Hindu tak sampai dua ribu di negeri ini, apalah artinya ke-golput-an mereka. Dan kalaupun mimpi saya bersambung, saya tahu apa ending-nya.
Putu Setia
Hari pencoblosan masih beberapa hari lagi. Tapi saya sudah bermimpi mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Apakah ini mimpi buruk atau mimpi baik, tak ada jawaban di buku Primbon Mimpi. Penyusun primbon kurang update menerangkan soal mimpi, tak mengikuti kemajuan zaman.
Ada yang tahu apa arti mimpi saya itu? Baik, saya ceritakan. Siang itu, dengan surat panggilan di tangan, saya mendatangi sebuah TPS. Lama sekali menunggu, tak juga dipanggil. Orang yang datang belakangan malah sudah selesai mencoblos, saya tetap duduk di kursi. Tak sabar, saya datangi petugas, kenapa saya tak dipanggil. "Lo, nama Bapak sudah saya panggil sejak tadi, tidak dengar, ya?" jawab si petugas.
Wow, saya baru sadar, nama yang dipanggil adalah nama saya yang lama. Tentu sesuai dengan surat panggilan. Paguyuban pendeta Hindu pernah mempersoalkan kemungkinan pergantian nama untuk pendeta ke Catatan Sipil. Supaya nama di KTP dan paspor menjadi "nama pendeta". Sebagai bukti ada perubahan nama adalah ada ritual yang bernama "seda angga", ritual kematian yang dikukuhkan dengan surat resmi Parisada Hindu, sehingga ada "kelahiran kedua" dengan nama baru. Tapi Catatan Sipil, konon setelah berkonsultasi ke pusat, tak mengizinkan dengan alasan "itu kepercayaan lokal". Bahkan ada bisik-bisik menyebut: "seperti tahayul". Ya, sudahlah.
"Apakah nanti setelah mencoblos, jari tangan saya juga dicelupkan ke tinta?" tanya saya ke petugas, setelah urusan panggil-memanggil selesai dengan damai. "Tentu saja, itu peraturan," jawab petugas. "Kalau Bapak tidak mencelupkan jari tangan ke tinta, nanti Bapak dikhawatirkan mencoblos lagi di tempat lain."
Saya katakan tak mungkin, bukankah surat panggilan hanya satu? Petugas semangat membantah, "Bisa saja ada orang yang tak jujur, surat panggilan dibuat dobel untuk Bapak. Atau Bapak sendiri yang tidak jujur, ke TPS lain dengan membawa KTP dan menyebut tak ada nama dalam daftar, lalu ngotot mencoblos. Tinta di jari itu untuk mengatasi ketidakjujuran."
"Kalian menghina," jawab saya tegas. "Pemilu selalu didengungkan dengan asas jurdil, jujur dan adil. Tapi kalian dan seluruh penyelenggara pemilu mengajarkan orang untuk menghina kejujuran itu. Ini pemilu yang primitif, sistem pemilu di negara yang tak berkembang, negeri yang jauh dari kemajuan teknologi. Di negeri lain, orang sudah memilih dengan sistem elektronik, dan penyelenggaraan pemilu ditangani lembaga statistik sejenis Biro Pusat Statistik. Ini pemilu boros dan rumit, ada KPU, ada Bawaslu, ada DKPP. TPS dijaga banyak orang masih perlu saksi-saksi, ada lembaga pemantau. Semua ini karena kejujuran itu tak ada, atau kejujuran itu sudah sejak awal dipastikan tidak ada untuk semua orang, termasuk kaum pendeta. Itu kan menghina?"
Eh, saya terbangun. Saya sudah berusaha membalik bantal, konon dengan cara itu saya bisa tidur pulas lagi dan melanjutkan mimpi. Tapi tak bisa. Saya penasaran, apakah saya jadi mencoblos dalam mimpi itu atau tidak?
Dalam terjaga, saya teringat ucapan almarhum Guru Nabe saya, "Pendeta tak perlu mencoblos." Alasannya? Guru dengan bijak menjawab, "Ini jawaban yang gampang supaya tak berdebat, pendeta tak lagi berurusan dengan duniawi. Yang benar adalah soal nama dan kejujuran yang disangsikan dengan mencelupkan jari ke tinta. Apalagi tinta itu bukan barang suci bagi pendeta karena sudah dipakai banyak orang."
Untunglah pendeta Hindu tak sampai dua ribu di negeri ini, apalah artinya ke-golput-an mereka. Dan kalaupun mimpi saya bersambung, saya tahu apa ending-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar