Dayu Komang
Cerpen Fadmi Sustiwi
Dimuat di Kedaulatan Rakyat 12/05/2004 Telah Disimak 836 kali
''DAYU....'' Suara lembut Ktut Sawer itu terasa bagai geledek di telinga Dayu Komang. Wajahnya langsung pias, ketika matanya bertemu dengan mata laki-laki Sudra itu. Mata beningnya memancarkan ketakutan. Mata itupun menari ke sana ke mari, khawatir ada orang yang melihat pertemuan di supermarket tersebut. Ia tak sanggup, bila harus berlama-lama di situ, bertemu dan memandang Sawer, lelaki yang bukan hanya dicinta namun juga sangat dipuja.
Sawer menatap perempuan di depannya dengan hati-hati. Wajah cantik Komang yang sayu membuatnya menarik nafas panjang. Ada duka yang tak bisa ditutup di wajah perempuan cantik di depannya. Komang habis menangis. Semalam, Ibu dan Aji menegur kedekatannya dengan Sawer. Bisik-bisik di luar griya memang telah sampai ke telinga Ibu dan Aji, Ida Ayu Komang memiliki seorang kekasih dari kasta Sudra. Darah mereka berbeda, dan ini telah membuat Ibu dan Aji murka. Dayu Komang seorang putri dari kasta Brahmana, tidak pantas berdekatan dengan Ktut Sawer, seorang Sudra dari desa.
Mereka bertemu, tapi tak mampu berkata-kata. Sorot mata keduanya memancarkan rindu dan tanya. ''Haruskah sistem kasta dihapus, kalau ini hanya akan membuat banyak orang menderita dan berduka?''
***
MATAHARI belumlah sepenggalah. Dayu Komang sudah ke luar rumah tangan membawa sesajen. Setiap hari ia harus menghaturkan sesajen kepada leluhur, para dewa dan sebagainya. Sebuah tangkih diletakkan di pintu masuk, sebelum ia harus berkeliling ke seluruh tempat yang harus diberi sesaji dan berakhir di Pura. Tampak sangat khusuk ketika ia harus sembahyang di depan Pura Keluarga. Hyang Widhi, inikah perjalanan yang harus tiang lalui. Apa nama hidup yang harus tiang jalani ini jika tiang hidup untuk menderita dan berduka. Kau ciptakan cinta dalam kehidupan, namun cinta itu terlarang bagiku. Seringkali tiang harus bermain kucing-kucingan untuk mendapatkan cinta itu... cinta seorang lelaki Sudra....
Seleret mutiara bening meluncur di pipinya yang putih, menunjukkan dukanya yang mendalam. Namun ia tak mampu menipu diri sendiri. Cintanya pada Sawer sangat membuncah di dadanya. Dengan lelaki itulah ia mengenal hidup dan kehidupan. Berdekatan dengan Sawer, sudah membuat tubuhnya selalu merasa panas dingin. Wajah gantengnya yang menawan banyak perempuan, tidak menunjukkan jika dia seorang Sudra, kasta paling rendah di dunia ini.
Tapi cinta itu terlarang, bahkan sangat terlarang. Perbedaan di antara keduanya sangat luar biasa. Jika ia berani nyerot ia akan terbuang dari keluarga dan mungkin juga akan kehilangan nama, keluarga dan segala-galanya yang dimiliki sekarang. Inikah hidup yang harus tiang jalani? Haruskah tiang hidup hanya untuk menunggu laki-laki bangsawan yang siap menjadikan tiang sebagai istrinya. Karena tiang perempuan, tiang tidak boleh bebas memilih siapapun yang harus mendampingi hidupku? Karena tiang perempuan, tiang tidak boleh bebas ke sana ke mari, untuk menentukan siapa laki-laki yang harus kucintai dan mendampingi hidup tiang?
Wangi dupa mulai tercium. Komang merasa, arwah leluhur mulai datang dan mendengar sedu-sedannya. ''Dayu jangan melamun... Ia hanya laki-laki Sudra, darahnya juga tidak sama dengan darah kebangsawananmu....'' Suara itu kian membuat aliran air matanya kian deras saja.
''Ratu''
Komang cepat-cepat mengusap air mata. Ada rasa sedih mendengar Sawer memanggilnya: Ratu. Panggilan itu terasa kian menjauhkan dirinya dengan lelaki yang dicinta itu. Dan sosok kokoh di luar pagar yang memandanginya dengan sorot mata tajam. Wibawa kelelakian yang dilihat membuat wajahnya tertunduk. Sekilas, bulir bening muncul di matanya. Dia berjalan meninggalkan Pura dan Ktut Sawer menatap semua itu dengan sakit. Ada luka yang menganga. ''Hyang Jagat!'' pekik Sawer dalam hatinya, ''mengapa Engkau ciptakan cinta kalau itu hanya membuat luka?''
***
HAMPIR empat tahun Dayu Komang tidak pernah bertemu lagi dengan Ktut Sawer. Bukan berarti hal itu membuatnya lupa. Cintanya pada laki-laki itu tidak pernah terkikis. Dalam setiap pemujaan, selalu disisipkan doa untuk Ktut Sawer. Sampai ia tidak tahu lagi, apa yang mesti diminta pada Hyang Widhi Wasa. Di manakah sebenarnya ketenteraman dan kebahagiaan bermuara? Ia tak tahu di mana sebenarnya dan siapa yang menghuni pikirannya selama ini? Cinta yang ditawarkan Ida Bagus Ananta tidak mampu menghilangkan pikiran tentang Sawer. Hyang Widhi, sangat ingin rasanya tiang begini saja, sampai ajal menjemput. Biarkan tiang dengan cinta ini..
Hatinya terasa perih. Tapi kepedihan itu dinikmati. Karena dengan kepedihan itu bisa mengenang Sawer, cintanya, wibawanya dan juga nafas kelelakiannya yang selalu menemani setiap malam dan dalam setiap desahnya. Semua menumbuhkan kenikmatan yang memburatkan senyum. Sampai akhirnya ia harus menerima kenyataan ketika muncul wajah yang lain, Ananta. Laki-laki yang dengan sabar mendekati, menyintai dan mengharapkannya. Laki-laki yang bukan hanya gagah, namun juga memiliki darah kebangsawanan dan menawarkan dunia nyata yang indah.
''Apa salahnya engkau menerima Ananta? Pendidikannya tinggi dan darahnya juga tidak berbeda dengan kita?''
''Tiang tidak menyintainya Aji''.
''Cinta? Apa kamu akan cukup makan dan hidup dengan cinta saja? Cinta yang sesungguhnya bukan hanya lahir dari emosi menggebu, tapi ia rela berkorban, rela untuk tidak memiliki. Apalagi kalau derajatnya berbeda.''
Kata-kata Aji menusuk hati. Perih tak tertahankan. ''Hyang Jagat!'' pekik Komang tertahan, ''tiang'' hanya cinta Sawer, tapi tiang kini tidak tahu dimana dia berada. Kalaupun tahu, adakah jembatan yang bisa menghubungkan kami?''
''Bagaimana Jegeg?''
Ada luka lain yang menganga di hati Komang. Perih rasanya. Jiwanya rapuh dan ia tidak berani lari mengejar cintanya, nyerot. Bukan hanya takut aib, menurunkan derajat kebangsawanan namun juga mencemarkan leluhur. Dan ia tidak sanggup.
'Nikahkan tiang dengan Bli. Antana, Aji.'' Semburat kebahagiaan memancar di wajah ayahnya yang renta.
Griya dan Pura mulai dibersihkan. Undangan telah disebar. Dayu Komang mencoba gembira. Bersama Bagus Ananta, tampak sibuk ikutserta membantu menyiapkan upacara. Besuk kehidupan baru akan dimulai bersama.
***
TERIAKAN Luh Darmi sore itu mengagetkan semua orang. Koman berlari ke luar dari kamar, ternganga melihat tubuh Ida Bagus Antana tergeletak, di pangkuan Luh Darmi. ''Dayu, kemarilah mendekat padaku. Ciumlah aku....''
Tubuh Komang limbung, mendekati Bagus Antana yang lemas tergeletak di pangkuan Luh Darmi. Didekati tubuh laki-laki tampan yang selama ini menyuguhkan secawan cinta dan kesetiaan. Ada sesal yang dalam, mengapa selama ini ia mengabaikan Bagus Antana. ''Tiang datang Bli...,'' katanya sambil menciumi pipi.
Ciuman yang menyesakkan dada Antana. Bertahun-tahun menunggu Komang, untuk bersedia dinikahi. Kebahagiaan itu hampir menjadi miliknya. Senyum memburat di bibir tipisnya, pasrah untuk dipanggil Sang Hyang Widhi Wasa.
Ada yang meledak di hati Komang, meluluhlantakkan perasaannya. Ingin rasanya Komang berteriak, melepaskan kesumpekan, kepedihan hatinya. Liang lukanya kembali menganga, perih. ''Hyang Jagat!'' pekiknya dalam hati, ''karma siapa yang tiang tanggung selama ini?''
Ada rasa sakit luar biasa di hati. Haruskah ia menggugat Sang Hyang Widhi, Sutradara yang mengatur hidup dan kehidupan?'' (terinspirasi dari pertemuan dengan Dayu Komang di Sanur, 2004). ***
Keterangan:
Griya: nama tempat tinggal bangsawan, kasta Brahmana.
Sudra: orang kebanyakan, rakyat jelata, kasta terendah.
Dayu: berasal dari kata Ida Ayu, gelar bangsawan perempuan Bali.
Tangkih: alat upacara yang terbuat dari janur.
Tiang: saya.
Ratu: panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali.
Aji: ayah.
Bli: saudara laki-laki.
Jegeg: cantik.
Nyerot: perempuan bangsawan yang kawin turun kasta..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar