Ahok
Sabtu, 26 April 2014 | 23:05 WIB
Putu Setia
Pada saat orang ramai mencari calon wakil presiden yang bermutu-seolah calon presiden yang ada sudah bermutu-saya menjagokan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bukan sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Joko Widodo, Aburizal Bakrie, maupun Prabowo. Ahok sebagai presiden.
Bahwa ini di luar kebiasaan, itu sudah pasti. Presiden Indonesia, meski tak pernah ditulis dalam konstitusi, tentu "tak biasa" kalau bukan beragama Islam. Bahkan masih dianggap "kurang biasa" kalau bukan dari Jawa. Apalagi "jauh dari biasa" jika keturunan Tionghoa. Orang bisa berpidato bahwa tak ada lagi dikotomi Jawa dan luar Jawa, militer dan sipil, muslim dan nonmuslim, apalagi dikotomi usang: pribumi dan non-pribumi. Tapi itu masih semu.
Ahok sudah meninggalkan jauh-jauh dikotomi itu. Ia sudah jadi "manusia Indonesia" yang sebenarnya. Kamis pekan lalu, pada perayaan Paskah yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI, Ahok berkata: "Kita ini masih beragama tapi tidak bertuhan." Alasannya? Kelakuan kebanyakan manusia Indonesia, apakah dia pejabat atau bukan, tidak sesuai dengan tuntunan agama. Kalau boleh saya perpanjang (dan menafsirkan), banyak orang sekarang tak lagi mengindahkan ajaran yang diwahyukan Tuhan, tetapi tetap bangga menyebut beragama. Korupsi merajalela, suap, dan kecurangan terjadi di mana-mana, tetapi label agama dengan bangga masih dipakai. "Ahok pemimpin yang Islami," tulis Akhmad Sahal, kandidat doktor di University of Pennsylvania Amerika, di Twitter.
Ahok memang ceplas-ceplos-tapi tidak haha hehe. Di hadapan umat Kristen, dia berkata ihwal sikap yang harus sejalan dengan agama. "Tapi kalau kelakuannya enggak Kristen, copot saja salibnya. Bikin saya malu. Atau KTP-nya dikosongkan saja," katanya. Maksud Ahok tak usah mencantumkan agama di KTP kalau perilaku tak sesuai dengan ajaran agama. Saya dua ribu persen setuju. Agama selama ini lebih sering dijadikan aksesoris belaka. Bukan dihayati.
Seperti jam tangan. Benda ini lebih hanya menjadi aksesoris, bukan sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari. Jam tangan yang mahal itu hanya untuk menambah percaya diri pemakainya-jadi, betapa mereka merasa hina tanpa jam tangan yang mahal. Dan Ahok pun jujur mengaku, jam tangannya berharga Rp 20 juta bermerek Tag Heuer. Ada yang lebih mahal, merek Richard Mille, dengan harga Rp 1,4 miliar. Astaga, tapi asli. Adapun Richard Mille yang palsu harganya cuma Rp 5 jutaan dan dipakai Jenderal Muldoko, Panglima TNI. Karena palsu, jam itu pun dibanting di depan wartawan. Nah, itulah aksesoris, bisa dibanting, ditanggalkan, dipakai lagi. Seperti orang beragama tapi bukan bertuhan.
Berapa harga jam tangan Anda? Sepuluh tahun lalu saya membeli arloji mahal, harganya Rp 150 ribu. Tapi sudah lima tahun saya tak lagi memakai jam tangan. Saya merasa tak perlu aksesoris yang bernama jam. Saya punya handphone, punya "tablet" yang memang berguna untuk sehari-hari. Semuanya ada penunjuk waktu. Di rumah, setiap ruangan ada jam dinding. Di mobil juga ada. Untuk apa lagi tangan harus digelayuti jam, padahal handphone yang ada jamnya tak pernah lepas di era keranjingan ber-Twitter ini.
Di dunia materialistis, orang mengejar aksesoris. Seorang istri pejabat dengan bangga memakai tas Hermes, ratusan juta harganya. Saking mahalnya, dia tak berani menitipkan tas itu kepada orang lain, takut hilang. Tapi dia rela menitipkan anaknya kepada pembantu. Ini satu ciri lagi manusia yang beragama tapi tidak bertuhan. Tas Hermes lebih berharga daripada anak sendiri. Ahok, mana Ahok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar