3.06.2019

BENDE MATARAM Karya: Herman P Episode 1 Seri 2




BENDE MATARAM
Karya: Herman P
Episode 1
Seri 2


PADA petang hari, tibalah dia di Dusun Butuh. Dia harus melintasi Kali
Bergata. Dari sana ia
akan sampai di Karangtinalang. Dengan mendaki bukit dan menyeberang hutan,
dalam beberapa hari akan sampai di jalan raya Magelang—Kedungkebo.


Petang hari itu, hujan turun rintik-rintik. Sisa musim hujan belum juga
habis. Itulah sebabnya, air sungai masih saja mencapai tepi tebing. Perahu
tambang tidak tampak lagi. Penduduk mulai mengungsikan kepenatannya di
tengah keluarganya masing- masing. Maka terpaksalah Wirapati mencari sebuah
gardu untuk menginap. Tapi gardu di Dusun Butuh tidak dapat diketemukan.


Sebagai seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang biasa dilatih berkelana
berbuat kebajikan, ia tak mengeluh. Segera ia menyeberang ladang dan
mencari gubuk peronda tetanaman.


Ditemukan sebuah gubuk reyot. Tanahnya agak basah, tetapi ada seonggok
jerami kering yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya untuk
keperluan berjaga malam. Jerami itu kemudian dijajamya rapi. Tatkala hendak
merebahkan badan, tiba-tiba didengarnya di jauh sana suara tapak-tapak
ringan. Ternyata mereka adalah rombongan penari tadi.


Mereka berhenti di tepi pengempangan sawah. Kemudian berbicara dengan logat
Banyumas.
Wirapati melongok dari gubug sambil memasang telinga.


"Bagaimanapun juga kamu harus bersikap sopan kepadanya," kata yang tinggi
jangkung.
"Mereka itu adalah manusia seperti kita. Pasti bisa diajak berbicara."


"Aku sudah mencoba berbicara. Kucoba membeli benda itu. Kucoba meminjam. Kucoba
menyewa. Kucoba ... ya kucoba segala tata-santun. Tapi usahaku sia-sia,"
bantah yang gemuk pendek. "Mereka tetap mempertahankan benda itu. Akhirnya
kucoba merebutnya dengan paksa.


Bangsat betul mereka ... cuh! Mereka pandai berkelahi. Pandai
mempertahankan diri dan
menyerang. Karena merasa takkan menang, aku lari memanggil kawan-kawan.
Apakah sudah cukup keteranganku tentang mereka?"


"Tapi ini soal nyawa," bentak yang tinggi jangkung. "Bagaimanapun juga kita
harus
menghindari suatu pembunuhan. Ini pendirianku. Dan aku adalah pemimpin
kalian. Kalian harus tunduk dan patuh kepadaku. Siapa membantah lagi?"


Tidak ada di antara mereka yang berani berbicara. Nampak benar betapa besar
pengaruh si tinggi jangkung. Tetapi sejurus kemudian, yang pendek gemuk
berkata hati-hati.


"Tetapi andaikata ... andaikata mereka tetap bertekad mempertahankan benda
itu dan ternyata kita kalah, apa yang akan kaulakukan?"


"Masa kita kalah melawan dua orang laki-laki saja?"
"Siapa tahu, mereka sekarang memanggil penduduk dusun untuk membantu dan
benar-benar mereka jadi tangguh."
"Kalau memang begitu ... nanti kupertim-bangkan. Tapi sekarang, tujuan
membunuh harus dihindarkan sejauh mungkin. Pekerjaan ini jangan sekali-kali
menjadi perhatian umum."


Si gemuk pendek diam. Kesenyapan yang mengerikan mulai terasa. Kemudian
terdengarlah suara si jangkung tinggi.
"Nah ... kita berangkat. Ingat ya, kalian semua harus dapat membawa diri
sebagai rombongan
penari yang sesungguhnya. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan orang, pasti
akan menggagalkan pekerjaan besar ini.


Kalau sampai gagal, apa kamu berani mempertanggungjawabkan kepada
sang Dewaresi?"
Seperti saling memberi isyarat, mereka menarik napas panjang. Wirapati
merasakan sesuatu pengaruh ucapan kata-kata sang Dewaresi. Apakah orang itu
pemimpin mereka di Banyumas? la menajamkan pendengarannya. Tapi mereka
tidak menyinggung nama itu lagi. Sebentar kemudian mereka berangkat dengan
hati-hati. Mereka mendekati tebing sungai. Beban ditumpuk menjadi undukan.
Setelah itu mereka berunding dengan berbisik-bisik.


Wirapati tertarik pada sepak-terjang mereka. Segera ia menguntit dari jarak
dua puluh langkah, kemudian mendekam di atas tanah. Malam gulita melindungi
dirinya, karena itu tak perlu dia takut akan ketahuan.
Pada saat itu, di tebing sungai terjadilah suatu pemandangan yang menarik.
Mereka menyusun sebuah jembatan darurat. Empat orang memapah tiang-tiang
gamelan. Dan yang lain membantu pekerjaan dengan sangat cepat. Kepandaian
menyusun beban hingga menjadi sebuah jembatan darurat, sungguh
mengherankan. Seandainya mereka tidak mengalami latihan tertentu, bagaimana
mungkin mereka bisa melakukan hal itu untuk menyeberangi sungai yang deras
arusnya.


DUA tiga orang lari berputaran. Mereka melintasi jembatan darurat dengan
gesit. Kaki mereka menjejak ujungnya. Sekejap saja terapunglah tubuh mereka
tinggi di udara dan tiba di seberang dengan selamat.


"Bagus," Wirapati memuji dalam hati. "Meskipun aku tak kalah dibandingkan
dengan kecakapan mereka, tetapi kecekatan seperti itu jarang terjadi.
Mengapa memusuhi seseorang tak dilakukan dengan terang-terangan?


Bukankah cukup kepandaian mereka untuk mencapai maksud tertentu?"
Teringatlah dia akan kata-kata si tinggi jangkung.
"Ingat ya, kalian semua harus dapat membawa diri sebagai rombongan penari yang
sesungguhnya. Sedikit menimbulkan kecurigaan orang, pasti akan menggagalkan
pekerjaan besar ini."


Pekerjaan besar apakah yang sedang dikerjakan? Wirapati menebak teka-teki
mereka, karena macam benda yang hendak diperebutkan tak pernah disinggung
dengan jelas. Meskipun demikian, samar-samar dia mendapatkan kesan tertentu.


Pastilah mereka bukan orang-orang baik. Kalau mereka bermaksud baik kenapa
harus
menyamar sebagai rombongan penari, pikir Wirapati. Agaknya benda yang akan
diperebutkan, cukup berharga untuk sebuah peristiwa pembunuhan.


Wirapati adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Dia dididik sebagai kesatria
berjiwa luhur dan diajar
juga membela kepentingan umum sebagai suatu kebajikan yang diwajibkan. Tak
heran, kalau rakyat jelata yang seringkali menderita karena perbuatan kejam
tuan-tuan , tanah dan para bangsawan banyak memperoleh pertolongan
murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Itulah sebabnya, begitu Wirapati mendengar
kata-kata pembunuhan, hati nuraninya yang luhur lantas saja berontak. Tak
sampai hati ia membiarkan persoalan pembunuhan itu berbicara seenaknya.


"Masih ada waktu satu bulan, rasanya takkan kasep aku menerima ajaran Ilmu
Mayangga Seta.
Kutaksir, soal ini akan dapat kuselesaikan paling lama sepuluh hari."
Dengan ketetapan hati, segera ia mencurahkan perhatiannya ke mereka. Ia
melihat, mereka
semua telah berhasil melompat ke seberang.


Kini tinggal empat orang yang berdiri menjadi
penyangga jembatan darurat. Dengan cekatan mereka mengikat perutnya
masing-masing pada tiang gamelan, kemudian mundur lima langkah. Dilemparkan
tiang gamelan tinggi ke udara dan mereka menjejak tanah. Sekaligus
terbanglah mereka melintasi sungai.


Ah, mereka bukan orang-orang lemah, Wirapati memuji lagi. Sudah kuduga
mereka akan
berlaku demikian, tetapi perbuatan itu sendiri dapat diputuskan dengan
cepat. Baiklah aku harus berhati-hati mengikuti mereka.


Wirapati mengangkat kepalanya. Mereka telah menghilang di tengah kegelapan
tanpa berisik.
Dan ketika suara langkah mereka tak terdengar lagi, segera ia berdiri.
Kemudian menghampiri
tebing sungai. Diselidiki jejak mereka dan dengan diam-diam ia heran
memikirkan ketangkasan orang-orang itu. Ternyata tanah sekitar sungai becek
serta berlumpur. Seketika itu juga, tahulah dia apa yang akan mereka
lakukan manakala telah memutuskan hendak membunuh orang.


Memiliki kecakapan demikian, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang sulit jika
mau membunuh orang. Mengapa mereka menyamar sebagai rombongan penari? Apa
mereka hanya mau mengelabui orang-orang yang berpapasan atau karena akan
menghadapi lawan tangguh?


Tak sempat lagi, Wirapati menebak-nebak teka-teki itu. Segera ia menjejak
tanah dan terbang
meloncati sungai. Ternyata mereka tak nampak batang hidungnya. Dapatlah
diduga bagaimana mereka dapat bergerak dengan cepat. Tetapi Wirapati adalah
murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat. Meskipun kecakapannya masih kalah
dua tiga tingkat daripada ketiga orang kakak seperguruannya, namun
menghadapi peristiwa demikian tidaklah merasa kecil hati.


Dia telah memiliki ilmu penciuman dan ketangkasan tubuh. Maka sekali loncat
tubuhnya telah hilang melintasi kegelapan malam. Sebentar saja dia sudah
berhasil mengejar mereka. Sekonyongkonyong
terdengarlah bentakan keras.
"Siapa?"
"Apa kalian kawan-kawan dari Banyumas?" sahut seseorang yang berdiri
menghadang mereka.
Tak jeias siapa dia, tetapi suaranya terang seorang iaki-iaki yang berusia
dua puluh tahunan.


BERSAMBUNG..


























































































































































































Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar