3.27.2019

@bende mataram@ Bagian 18




@bende mataram@
Bagian 18


Rukmini terdiam. Air matanya meleleh. Ia benci laki-laki itu. Tetapi ia tak
berdaya melawannya. Tenaganya terasa hilang sebagian karena peristiwa yang
maha dahsyat baginya.


"Sekarang dengarkan!" kata Kodrat lagi, "Kalian kupanggul lagi. Tetapi jika
anakmu menangis, terpaksa kalian berdua kuajak jalan kaki. Kau bisa
memikirkan akibatnya. Langkahku panjang dan cepat. Kalian akan kupaksa
jalan berlari-larian. Dan kalau anakmu rewel di sepanjang jalan, kubunuh
dia. Kaupaham ini?"


Rukmlni diam tak menyahut. Hatinya hambar, la bertekad ingin ikut mati
juga, jika anaknya dibunuh.


"Hai dengarkan lagi!" kata Kodrat mengesankan. "Mulai sekarang kau harus
tunduk pada semua perintahku. Membantah sedikit atau mengingkari atau
mengkhianati, tanggung sendiri akibatnya. Aku terpaksa membunuhmu."


Rukmini memalingkan muka. Anaknya didekapnya erat. Pandangnya mengarah ke
jauh sana ke arah desanya. Hatinya terguncang manakala teringat akan nasib
suaminya yang mati di tengah rumah. Tadi ia tak melihat nyala api membakar
rumahnya. Seandainya dia melihat itu, belum tentu dia sanggup berdiri lagi.


Pada saat itu, ia dan anaknya dinaikkan lagi ke dalam kotak penyangga
gambang. Kali ini, Kodrat tak meringkusnya. la membiarkan bebas, hanya saja
mereka dipaksa agar berbaring. Dengan demikian takkan menimbulkan
kecurigaan orang.


Kotak penyangga gambang itu kemudian dipanggulnya dan ia meneruskan
perjalanan. Langkahnya dipercepat. Tujuannya ke Desa Selakrama. Pikirnya,
kalau aku berhasil mencapai batas daerah Banyumas sebelum fajar hari,
amanlah sudah. Tapi kalau si jahanam itu tiba-tiba mengejarku... Apa yang
harus kulakukan?


Otaknya lantas saja bekerja. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pamannya yang
bertempat tinggal di Desa Segaluh. Pamannya bernama Jaga Saradenta. Dia
bekas seorang kepala pasukan tentara Banyumas dalam perang Giyanti. la
benci kepada Belanda. Benci juga kepada semua yang berbau Kerajaan
Susuhunan Surakarta. Maklumlah, sebagai salah seorang prajurit Pangeran
Mangkubumi ia berpaham memusuhi Susuhunan Paku Buwono II. Dia terkenal
berani, tangkas dan sakti. Setelah perang selesai, ia diangkat menjadi
Gelondong Segaluh.


Kodrat adalah seorang laki-laki yang berotak licin. Pikirnya, aku adalah
bawahan sang Dewaresi yang bekerja sama dengan Belanda. Tapi kalau aku bisa
menempatkan diri, pamanku pasti mau menjadi pelindungku. Lebih baik aku ke
sana saja. Kalau si jahanam datang, biarlah Paman yang menghadapi.


Mendapat ide seperti itu, bangkitlah semangatnya. Dikerahkan tenaganya
sekuat-kuatnya. Dan menjelang jam dua, sampailah di rumah Jaga Saradenta.


Pintu rumah segera digedornya. Ia mengancam Rukmini juga agar bersikap
membantu apa yang dikatakan. Belatinya diperlihatkan. Bisiknya tajam,
"Awas! Inilah bagianmu."
Kodrat pandai bermain sandiwara. Begitu ia melihat pamannya membuka pintu,
lantas saja dia berlutut dan merangkul kedua lututnya. Katanya dengan
menangis sedu-sedan, "Tolong, Paman tolong!"


"Hai, kenapa!" Jaga Saradenta kaget. Dua tiga tahun, dia tak pernah bersua
dengan kemenakannya. Tahu-tahu, ia diratapi demikian rupa. Hati siapa yang
tak terguncang.


"Aku dihina orang. Aku dikejar orang. Aku mau dibunuhnya."


"Ah, siapa berani menghinamu. Siapa berani mengejar. Dan siapa yang mau
membunuhmu, hamba Adipati Banyumas. Tidak ada yang berani kurang ajar padamu."


"Dia orang asing, Paman. Dia mengenakan pakaian pendeta. Tetapi pendeta
cabul. Pendeta begundal kompeni Belanda yang menjual dirinya menjadi
mata-mata."


Kena betul permainan ini di dalam hati Jaga Saradenta. Segera ia membawa
kemenakannya duduk di kursi. Pada saat itu isterinya ikut terbangun pula.
Melihat kemenakannya me¬nangis sedu-sedan, sibuklah dia tak keruan.
Buru-buru ia menyalakan lampu besar. "Kena¬pa, kenapa," katanya.


"Biarlah dia bicara, Bu," kata Jaga Sara¬denta.


Kodrat memanggut-manggut cepat. Isaknya dinaikkan dan ia berlutut lagi di
hadapan pamannya.


Melihat itu, isteri Jaga Saradenta tahu diri. Segera ia mengundurkan diri,
memasuki dapur memasak air teh.


"Nah, katakan!" desak Jaga Saradenta.


"Tetapi apa Paman mau menolong?" ujar Kodrat. "Celakalah nasibku, kalau
Paman tak peduli."


"Terangkan dulu. Biar kupertimbangkan." Jaga Saradenta terpengaruh.
"Tadi sore aku dolan ke rumah pelara-lara . Di sana aku berjumpa dengan
seorang perempuan cantik yang berasal dari Wonosobo. Perempuan itu membawa
anaknya ..."


"Hm ... macammu!" bentak Jaga Saradenta. "Kalau ibumu masih, bagaimana kamu
berani memandang mukanya. Apa untungnya mengumbar nafsu birahi begitu rupa?
Bedebah!"


"Dengarkan dulu Paman," rengek Kodrat mengambil hati. "Sebenarnya tak biasa
aku dolan ke rumah pelara-lara. Aku datang ke sana semata-mata karena suatu
laporan. Katanya di rumah itu ada seorang perempuan yang dirundung nasib
buruk terpaksa menjual diri. Ternyata laporan itu setengah benar. Perempuan
dan anaknya itu sebenarnya terculik oleh seorang bangsat yang membutuhkan
uang. Dia lantas dijual kepada pengurus rumah pelara-lara. Menyaksikan
perlakuan itu, aku tak bisa tinggal diam. Kemudian, perem¬puan dan anaknya
itu kurampas dan kulindungi. Tetapi pengurus rumah pelara-lara itu bilang,
kalau perempuan itu disediakan untuk kepentingan serdadu-serdadu Belanda.
Sebentar malam, mereka akan datang, pengantarnya telah dikirimkan terlebih
dahulu."


"Lantas!" Jaga Saradenta tak sabar. Darahnya mendidih mendengar kisah
rekaan itu.


"Aku bilang tak takut dan kubawa perem¬puan dan anaknya itu. Niatku mau
kuantarkan ke Wonosobo. Mendadak aku dikejar seorang yang berpakaian
pendeta. Si begundal kompeni. Aku diancam, dihardik dan akhirnya kutempur
dia sebisa-bisanya. Jahanam betul dia kuat seperti kerbau. Lenganku hampir
dipatahkan."


"Ah!" potong Jaga Saradenta. Darahnya meluap. Tetapi pikirannya dapat
berjalan tenang. la melemparkan pandangan melihat Rukmini dan Sangaji, ia
menuding, "Apa dia yang kaumaksudkan?"


"Ya ... dialah gara-gara peristiwa ini. Tapi niatku pasti. Bagaimana pun
juga, akan kuantarkan dia sampai ke kampung halamannya."


"Apa betul?" teriak Jaga Saradenta kepada Rukmini.


Pandang mata Rukmini bergetaran. Ia ragu-ragu. Kemudian ia melihat mata
Kodrat menyala tajam. Tangannya meraba hulu hatinya. Maka dengan
terpaksalah ia mengangguk.


"Janganlah Paman desak begitu rupa!" Ko¬drat menyesali. "Peristiwa yang
menimpa dirinya, sudah cukup menghina kehormatannya."


Jaga Saradenta menunduk dalam. Pikirnya, benar juga ujar bocah ini. Tak
sopan aku mendesak dia agar bicara.


"Sekarang di mana pendeta bangsat itu?" katanya kepada Kodrat.


"Tadi dia mengejar-ngejarku. Pasti dia segera datang ke sini."


"Hm ..." Jaga Saradenta berpikir keras. "Dia seorang pendeta, katamu? ...
hm, mustahil dia berbuat begitu. Mustahil dia di rumah pelara-lara."


"Aku bilang dia mengenakan pakaian pendeta. Apa dia benar-benar seorang
pendeta, hanya iblis yang tahu. Bukankah seorang begundal kompeni bisa saja
mengenakan pakaian yang dikehendaki."


Kata-kata Kodrat masuk akal. Maka orang tua itu benar-benar terjebak.
Serentak ia berdiri sambil berkata memerintah. "Bawalah dia masuk! Biar dia
istirahat di bilik sebelah. Lantas kauikut aku keluar."


"Paman! Biarlah aku bersembunyi di dalam saja ... A a aku takut benar pada
bangsat itu..."


"Kucing!" maki Jaga Saradenta. "Bagaimana mungkin aku punya kemenakan yang
licik?"


Tetapi Kodrat tak mengenal malu. Sudah terlanjur basah kuyup. Permainan
tidak boleh berhenti di tengah jalan. Segera dia berkata minta belas-kasih.
"Bunuhlah aku di sini saja, daripada menanggung malu di depan pendeta
cabul. Tadi dia telah memakiku begitu rupa, sampai-sampai nama bapak-ibu,
Paman dan ia semuanya ... semuanya diseret-seret. Mulut pendeta cabul itu
begitu kotor!"


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar