Dari: <suhardono@gmail.com>
> Maaf copas artikel lama.
>
> Kang Sejo Melihat Tuhan
>
> oleh Mohammad Sobary
>
>
> DOA KANG SUTO
>
> Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat
> mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak
> selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain.
>
> Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di
> rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok
> orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan
> bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.
>
> Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme.
> Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah
> pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat.
> Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
>
> Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak
> hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini?
> Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca
> sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba
> jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia,
> stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi
> saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus
> diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di
> kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
>
> Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati
> keadaan. Sering ustad menasihati, "Hiasi dengan bacaan
> Quran, biar rumahmu teduh."
>
> Para "Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang
> seperti kemarok terhadap agama.
>
> Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul
> Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia
> ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak
> tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan,
> setapak demi setapak.
>
> Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,
> biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya,
> "Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak
> diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma
> tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita
> tak sia-sia."
>
> Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai.
> Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang
> Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa
> menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak
> ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain.
>
> "Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
>
> "Ngain," kata Kang Suto.
>
> "Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad.
>
> Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang
> runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru
> ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto
> diajarinya baca Al-Fatihah.
>
> "Al-kham-du ...," tuntun guru barunya.
>
> "Al-kam-ndu ...," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang,
> "Salah."
>
> "Alkhamdulillah ...," panjang sekalian, pikir gurunya itu.
>
> "Lha kam ndu lilah ...," Guru itu menarik napas. Dia merasa
> wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan.
> Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah
> arti Quran.
>
> Kang Suto takut. "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya.
>
> Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah,
> minta pandangan keagamaan saya.
>
> "Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang
> bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh
> buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan
> Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan
> mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka
> semua, dan surga isinya cuma Arab melulu."
>
> Kang Suto mengangguk-angguk.
>
> Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang
> tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. "Biarkan,
> Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan
> lidahnya."
>
> "Sira guru nyong," (kau guruku) katanya, gembira.
>
> Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa.
> Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang
> Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir,
> "Arokmanirokim," (Yang Pemurah, Pengasih).
>
> Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami
> salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia
> membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
>
> "Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini.
> Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas
> ..."
>
> Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya,
> mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan
> kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...
>
> ---------------
> Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
>
>
>
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar