12.12.2013

Air Susu Dibalas Air Tuba


Dari: "A.Syauqi Yahya"

> Guru TIK, Air Susu Dibalas Air Tuba
>
> Tujuh tahun lalu, ketika Kementerian Pendidikan menerapkan kurikulum KBK ada hal yang 'maju'. Dalam struktur kurikulum berbasis kompetensi itu terdapat mata pelajaran baru yang bernama Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dikatakan 'maju' karena ketika itu pelajaran TIK adalah hasil 'pencomotan' ekstrakurikuler komputer kemudian diganti baju menjadi mata pelajaran wajib, bernama TIK.
> Sontak terjadi kegagapan di lembaga sekolah. Dua hal yang serta merta harus dpersiapkan oleh sekolah adalah:
> Pertama, sarana pembelajaran dalam hal ini komputer dan ruang yang representatif. Sebagian sekolah mulai mengadakan sarana tersebut dengan menggali dana dari wali murid melalui komite sekolah. Karena saat itu komputer masih relatif mahal, komputer second menjadi solusi, semua demi pembelajaran TIK dapat berlangsung dengan layak. Pada awal kemunculannya dan hingga kini, mapel TIK menjadi mapel primadona bagi sebagian besar anak. Maklum, sebagian besar mereka berasal dari kalangan 'biasa', sehingga hanya di sekolah mereka bisa merasakan 'memegang' komputer. Rebutan dan berdesakan adalah pemandangan yang selalu terjadi di ruang komputer setiap jam pembelajaran TIK berlangsung.
> Kedua, guru yang kompeten. Ini menjadi kendala utama, yang mungkin luput dari pemikiran para penentu kebijakan. Mereka 'lupa' atau 'tidak tahu' bahwa saat itu belum ada satupun LPTK (baca, kampus guru) yang membuka jurusan pendidikan TIK. Sehingga ketersediaan guru TIK saat itu bisa dikatakan 0% diseluruh Indonesia. Bagaimana mungkin mapel di wajibkan di dalam struktur kurikulum, tetapi ketersediaan guru sama sekali tidak ada. Sebuah kebodohan atau kecerobohan? Namun, apapun yang terjadi pembelajaran TIK harus tetap berjalan, demi amanat kurikulum, dan demi kemampuan 'IT' anak-anak. Disinilah muncul istilah guru 'pengantin' (pinjam istilah teroris), yaitu guru yang rela 'mengorbankan diri' demi anak-anak dan pendidikan di Indonesia. Ya, guru-guru TIK ketika itu adalah guru dengan berbagai latar belakang pendidikan. Ada yang S1 Geografi, Ekonomi, Sejarah, Matematika, dan lain-lain. Mereka dengan kerelaan hati bersedia 'mengupgrade' kemampuannya dengan membekali diri ilmu komputer. Ada yang ikut kursus-kursus, pelatihan, workshop, membeli komputer sendiri di rumah dan membeli buku-buku yang relevan, yang ketika itu masih minim sekali dan relatif mahal. Saya yakin keikutsertaan mereka atas inisiatif dan pendanaan sendiri. Semua semata-mata demi anak-anak yang sangat antusias pada mapel TIK. Ini mestinya mendapat APRESIASI. Usia yang sudah tidak muda lagi serta dana yang tidak melimpah (ketika itu belum ada tujangan profesi) tidak dihiraukannya. Mereka dengan inisiatif sendiri berburu beraneka ilmu komputer. Dalam perkembangaanya 'guru TIK' menjadi identitas mereka. Ya mereka guru TIK, bukan guru Sejarah, bukan guru Geografi dan juga bukan guru Matematika.
> Sertifikasi guru menjadi angin segar bagi sebagian guru, termasuk guru TIK. Dalam aturan keberangkatan sertifikasi guru dalam jabatan, ada tiga hal terkait dengan mapel sertifikasi: pertama, dalam menentukan mapel yang akan diikuti, guru harus linier antara mapel yang diambil dengan latar belakang pendidikannya. Kedua, apabila tidak linier dapat mengambil mapel yang serumpun, dan ketiga apabila tidak linier atau serumpun, dapat mengambil mapel lain yang tidak sesuai dengan pendidikannya asalkan sudah mengampu mapel tersebut sekurang-kurangnya 5 tahun. Simpelnya, harus linier - jika tidak linier harus serumpun - jika tidak serumpun harus sudah mengampu lebih dari 5 tahun. Bagi guru TIK poin ketiga menjadi pintu hukum untuk memilih mapel. Jelas latar belakang pendidikan mereka bukan TIK, namun sudah mengampu lebih dari 5 tahun (dibuktikan dengan SK Mengajar), maka hampir semua guru TIK mengambil mapel TIK ketika mendaftar sertifikasi. Apa arti semua itu? Bahwa secara de jure ketidak linieran mapel dan latar belakang pendidikan guru TIK ini adalah 'benar' dan 'boleh' menurut aturan. Secara 'de facto' mereka mengampu mapel TIK di sekolah, mereka adalah guru TIK dan berhak mengikuti sertifikasi sesuai tugas yang diembannya. Kini mereka profesional. Keprofesionalan mereka dibuktikan dengan dimilikinya sertifikat pendidikan TIK. Predikat profesional itu mereka peroleh dengan menempuh semua prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri, yaitu melalui PLPG atau Portofolio, yang ternyata tidak semua guru lulus dari proses itu. Siapapun tidak bisa menggugat status ini.
> Kemunculan K-2013 bagai 'geledek di siang bolong', tak menyangka sama sekali dalam struktur K-13 mapel TIK dihapuskan. Dihapusnya TIK sama dengan 'membunuh guru TIK'. Apa arti keprofesionalan mereka jika tidak ada mapelnya? Sudah banyak masukan, kritik, uji publik atau apapun namanya, tapi semuanya tak menggoyahkan niat pembesar negeri ini untuk menghapus mapel TIK sekaligus 'membunuh karir guru TIK'.
> Hem, pantaslah kalau kami bergumam : 'Air susu di balas air tuba'. Inikah balasan pemerintah kepada guru yang dengan sukarela 'mengorbankan diri' demi suksesnya kebijakan pemerintah ketika itu dan demi masa depan anak-anak Indonesia? Dimana hati nuranimu Pak Menteri?
>
> Dibaca : 17 kali
> Penulis : Purwanto Hadi
>
> --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar