Dari: "syauqiyahya"
> Monumen
>
> Senin, 16 Desember 2013
>
> - untuk Hanung Bramantyo
> Tokoh sejarah rata-rata mati dua kali. Pertama kali ia dimakamkan. Kedua kali ketika ia dibangun sebagai monumen. Mandela akan mengalami itu, seperti halnya Sukarno. Sebuah monumen berniat mengekalkan, tapi akhirnya membekukan. Sang tokoh akan dianggap telah selesai, tinggal dipuja.
> Di tahun 1924 di Rusia, negeri yang menegakkan monumen di hampir tiap kota, satu acara resmi dibuka untuk merayakan hari kelahiran Penyair Pushkin, pencipta puisi novel Eugene Onegin yang termashur itu. Untuk acara itu Mayakovski menulis sebuah sajak. Pada suatu malam, demikian penyair itu bercerita, ia copot patung Pushkin dari pedestalnya di Trevsrakay bulvar, Moskow. Ia ajak sang penyair abad ke-19 itu berjalan-jalan, bertukar-pikiran.
> Bagi Mayakovski, tiap monumen, juga yang dibangun untuk dirinya, harus diledakkan dengan dinamit. "Begitu benci aku kepada tiap benda mati/Begitu gandrung aku kepada tiap bentuk hidup!"
> Tapi ia sendiri mati dua kali. Pertengahan April 1930, penyair berumur 37 itu menembak dirinya sendiri. Ditinggalkannya satu catatan: "Jangan salahkan siapapun karena kematianku, dan mohon jangan bergosip. Orang yang sudah mati sangat tak menyukai itu..."
> Gosip tak bisa dicegah - juga pertanyaan kenapa Mayakovski bunuh diri. Lunacharski, tokoh kebudayaan Revolusi Oktober, seorang penelaah puisi yang jernih pandangnya, berbicara tentang dualisme dalam diri dan puisi Mayakovski: yang satu keras bagaikan logam dan yang lain lembut. Mungkin akhirnya dualisme itu tak dapat diatasinya lagi. Mungkin ada cinta yang gagal. Mungkin Mayakovski -- penyair revolusioner ketika revolusi Rusia sedang mengkosolidasikan kekuatannya -- mulai melihat ada yang membeku dalam dirinya -- juga dalam tahap revolusi itu.
> Kita tak akan pernah tahu. Mayakovski sudah jadi seorang pemuda komunis yang ditahan polisi Tsar pada umur 15. Dengan antusias ia sebut Revolusi Oktober 1917 sebagai "revolusiku". Ia melihat awal masa depan yang serba baru.
> Lima tahun sebelumnya, dalam usia 19 tahun, bersama sejumlah seniman lain ia mengeluarkan "Manifesto Futuris". Judulnya menantang, "Tamparan ke Selera Masyarakat". Di sana dinyatakan bahwa pernyatan itu adalah suara "semangat zaman". Di sana juga diserukan agar para sastrawan lama dibuang jauh-jauh. "Lemparkan Pushkin, Tolstoi, Dostoyevski, dll., ke luar dari Kapal Modernitas!".
> Mungkin itu cara anak muda cari perhatian: menantang raksasa. Mayakosvki sendiri memulai penampilannya ke dunia kesenian dengan muka dicat dan jas panjang warna limun. Tapi di luar itu, ia memang berbakat istimewa. Bila ia memakai begitu banyak tanda seru dalam puisinya, bila ia selalu mendamik dada (seperti "aku" Chairil Anwar), ia tak sekedar berteriak minta dilihat. "Itu dia sukmaku/serpih-serpih mega yang tercabik/di langit yang terbakar/di atas salib berkarat/ di menara lonceng/".
> Puisi panjangnya di tahun 1915, "Awan dalam Celana", segera mendapat sambutan. Dengan cepat ia dapat posisi terkemuka. Ia duta puisi Sovet untuk dunia. Boris Pasternak, yang kelak akan menerima Hadiah Nobel untuk novelnya, Dr. Zhivago, punya tilikan yang tajam atas Mayakovski yang dikenalnya di tahun-tahun itu.
> Penyair asal Georgia itu, tulis Pasternak, "seorang muda rupawan", dengan "suara seorang penyanyi mazmur dan tinju seorang pegulat". Puisinya adalah puisi yang diraut dengan baik oleh seorang seniman, nadanya arogan, "diabolik", liar gelap seperti suara setan, dan pada saat yang sama nasibnya "telah terpateri, tersesat selamanya, seakan-akan menjerit meminta tolong."
> Pasternak benar: puisi itu tanpa disadari penyairnya tersesat dalam sebuah zaman politik yang tak mau memahami keliaran dan kompleksitas kata. Zaman Stalin.
> Desember 1935, datang kematian Mayakovski yang kedua: ketika ia oleh Stalin dinobatkan sebagai "penyair terbaik dan paling berbakat di masa Soviet".
> Orang ragu benarkah Stalin menyukai puisinya. Sebab di antara penobatan itu Stalin merumuskan doktrin "Realisme Sosialis". Sejak itu, dengan kendali Partai, ekspresi artistik ditertibkan. Karya ala Mayakovski, yang sibuk dengan "aku", yang arogan, liar dan gelap, akan dianggap "kontrarevolusi".
> Salah satu suara "kontrarevolusi" itu teman kerja Mayakosvki: Meyerhold. Ia sutradara teater eksperimental yang karya-karynya mengungkapkan masa yang resah untuk pembaharuan itu. Juni 1939, ia ditangkap. Ia dituduh jadi mata-mata Jepang dan Inggris. -- dan ditembak mati.
> Di antara penangkapan dan kematian seperti itu, Uni Sovet bergema dengan titah Stalin: Mayakovski harus dikenang. Tak menghormatinya adalah "sebuah kejahatan". Maka orang pun berduyun-duyun membaca sajak-sajaknya di sekolah, di tempat pertemuan, di semua kesempatan resmi. Di saat itulah Pasternak, yang menolak untuk diberi sanjungan resmi apapun, menulis: Mayakovskiditumbuhkan dengan paksa "seperti kentang di zaman Katerina Agung" -- dan itu adalah "kematiannya yang kedua."
> Pada kematian kedua itu, sebuah patung didirikan di Triumfalnaya Ploshchad di Moskow. Mayakovski jadi monumen.
> Untunglah cerita tak berhenti. Sebuah monumen tak perlu diledakkan; ia bisa direbut. Sejak Stalin mangkat, dan kebekuan kreatif mencair, para penyair dan anak-anak muda menggunakan taman di sekitar patung itu untuk membaca sajak -- seakan-akan mereka bercengkerma kembali dengan Mayakovski, karena ini Mayakovski mereka, bukan Mayakovski di atas pedestal yang ditegakkan seperti berhala.
> Goenawan Mohamad
>
>
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar