Dari: "Boediono"
>
>
> Matematika Korupsi Jadi Berantakan
> 
>
> Sumber: Kompasiana
>
>
>
> Penangkapan Atut Chosiah mengingatkan saya pada sebuah diskusi hitung-hitungan untung rugi korupsi beberapa tahun lalu. Dimana seorang teman harus me-rekalkulasi profit margin penjualannya, sehubungan dengan makin meningkatnya kinerja KPK. Saat itu, rata-rata koruptor diganjar hukuman penjara rata-rata 2 hingga 4 tahun penjara saja.
>
> Rekalkulasi profit margin ini, memasukkan komponen "asuransi" ditangkap KPK. Yang mengcover biaya pengacara, biaya markus, serta biaya orang yang ditahan. Karena teman saya bertanya dan berdiskusinya sama saya, maka saya coret biaya markus. Karena KPK tidak bisa dimainkan. Jadi, biaya tambahan hanya pada komponen pengacara dan orang yang ditahan.
>
> Dampak dari adanya profit margin tambahan yang mengcover dua komponen ini, menjadikan harga lebih tinggi, atau "diskon" lebih rendah. Maksudnya begini: jika pagu anggaran belanja negara adalah 10 miliar, lalu instansi minta 40%, maka supplier tidak bisa lagi memberikan 40%, karena baik supplier maupun Pejabat Pembuat Komitmen harus dicover masing-masing setidaknya 10% dari pagu belanja, sehingga permintaan 40% tidak bisa lagi dipenuhi, dikurangi jadi 20%.
>
> Biaya pengacara mudah dimengerti. Lalu apakah biaya orang yang ditahan?
>
> Begini,
>
> Biaya orang yang ditahan adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menanggung biaya Penanggung Jawab Proyek yang ditahan. Dalam hal ini, Penanggung Jawab Proyek dimaksud adalah orang yang pasang badan agar atasannya tidak terlibat korupsi dan tidak ditahan KPK. Terdiri dari gaji, lembur (tinggal di tahanan dianggap dinas dengan lembur) serta bonus. Sehingga, angka minimal yang "pantas" diterima oleh Penanggung Jawab Proyek adalah setidaknya 4 kali lipat gajinya. Jika seorang sales bergaji 25 juta sebulan, maka jika dia ditahan, perusahaan harus membayar Rp. 100 juta per bulan selama masa tahanan.
>
> Untuk saat itu, dimana masa tahanan rata-rata koruptor adalah 2 hingga 4 tahun penjara, maka dibayar Rp.100 juta per bulan atau Rp. 1,2 miliar setahun untuk tinggal di penjara adalah angka yang tidak buruk-buruk amat.
>
> Lalu saya mengaplikasikan hasil diskusi saat itu kepada diri saya sendiri. Maukah saya dibayar Rp.1,2 miliar untuk tinggal di penjara, terpisah dari keluarga saya, terpisah dari anak-anak saya? Jawabannya mudah sekali buat saya. Saya tidak mau. Bagaimanapun, saya beruntung, customer-customer saya bukan pemerintah.
>
> Dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen, atau Pejabat yang ditangkap KPK, tentu saja hitung-hitungannya juga harus profit. Jika yang dikorupsi dikurangi yang disita KPK masih untung, maka korupsi oke-oke saja lah.
>
> Hitung-hitungan profit margin ini bisa terjadi, karena ditangkap KPK adalah bagian dari resiko pekerjaan. Dan tinggal dipenjara adalah bagian dari kedinasan. Inilah sebabnya ada yang menebar senyum dan melambaikan tangan saat ditangkap KPK. Karena tinggal di tahanan KPK adalah tindakan heroik, pasang badan agar bukan atasan atau kawan-kawan yang ditahan KPK. Pahlawan.
>
> Superman – Superwoman berjaket orange inilah yang kemudian anda lihat menebar senyum melambaikan tangan sambil memasuki mobil tahanan KPK. Siapa yang tidak bangga jadi pahlawan?
>
> Kecuali korupsi untuk dan atas nama diri sendiri, bukan pasang badan untuk orang lain, maka ditahan KPK bikin nangis, bukannya malah senyum-senyum bangga.
>
> Tapi, angin sudah berubah arah. Pengadilan Tipikor sekarang kejam-kejam. Terdakwa korupsi rata-rata diganjar di atas 10 tahun. Matematika Korupsi jadi berantakan. Profit margin tidak bisa lagi mengcover "kedinasan" di dalam tahanan.
>
> Masih untungkah dibayar miliaran untuk tinggal di penjara di atas 10 tahun? Saya rasa sudah tidak oke lagi pasang badan di atas 10 tahun buat atasan maupun kelompok dengan bayaran miliaran.
>
> Mari kita lihat angin berbisnis dengan pemerintah tahun depan. Apakah pengusaha jadi bertambah profitnya karena pejabat tidak mau menerima titipan yang sudah dianggarkan di tahun sebelumnya? Atau malah akan muncul laporan APBN tidak terserap meningkat?
>
> Let see.
>
> .
>
> - Esther Wijayanti -
>
>
> Dibaca : 286 kali
> Penulis : Esther Lima (kompasiana)
>
>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar