7.26.2015

Damai


From: A.Syauqi Yahya 



Damai

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/07/26/1832/damai

MINGGU, 26 JULI 2015 | 00:51 WIB
Putu Setia

@mpujayaprema
Ketika penyanyi dangdut Rhoma Irama mendeklarasikan Partai Idaman, saya langsung menduga Bang Haji sedang bungah dengan citranya sebagai pria yang diidam-idamkan wanita. Apalagi lambang partai itu adalah kedua tangan yang jari-jarinya membuat simbol hati, lambang cinta abadi. Sasaran partai ini para wanita, pikir saya spontan.
Ternyata saya kurang cermat. Idaman adalah akronim dari Islam Damai dan Aman. Wah, tentu ini sebuah partai serius. Ada kata Islam, agama mayoritas di negeri ini. Tak sebuah partai pun sejak Orde Baru berani mencantumkan label Islam dengan sejelas-jelasnya. Pada masa Orde Baru, asas partai pun tak boleh menggunakan nama agama dengan segamblang-gamblangnya. Bahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai yang bernapaskan Islam, tak boleh menggunakan lambang yang punya kaitan dengan idiom Islam. Presiden Soeharto hanya mengizinkan ketiga partai-itu pun Golongan Karya (Golkar) emoh disebut partai-mencomot lambang yang ada di dalam Pancasila, karena asas partai harus Pancasila. Partai Demokrasi Indonesia dengan kepala banteng, Golkar dengan beringin, dan PPP dengan bintang. Baru setelah Soeharto jatuh, PPP memakai lambang Ka'bah.
Kini, Rhoma Irama satu-satunya penyanyi, eh, politikus yang berani terang-benderang menyebut kata Islam. Bahkan di belakang kata Islam ada kata damai. Apakah selama ini partai yang berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB), tidak mementingkan kedamaian, saya kira bukan itu maksud Bang Haji. Simak pernyataan Rhoma saat deklarasi, partai ini bukanlah untuk umat Islam yang radikal. Mungkin karena itu perlu lagi kata aman, supaya lebih tegas. Bukankah radikal selalu dikaitkan dengan kerusuhan? Adapun jika Bang Haji melontarkan ucapan bahwa Partai Islam ini terbuka untuk umat nonmuslim (disebut ada pemain band yang beragama Kristen sudah bergabung), saya tak begitu tercengang. "Jualan" seperti ini sudah lagu lama, PAN dan PKB juga begitu pada awal berdirinya.
Akankah lahir Partai Hidaman (Hindu Damai dan Aman)? Atau Partai Katdaman (Katolik Damai dan Aman)? Atau Partai Budiman (Buddha Damai dan Aman)-akronim yang dipaksakan sudah biasa? Kalaupun muncul, saya tak boleh nyinyir karena ini sesuai dengan konstitusi. Barangkali memang sebatas itu kemampuan para politikus untuk memberikan cap pada sebuah gerakan politiknya. Tapi, andaikata partai seperti itu tidak muncul, saya akan lebih gembira. Alasan pertama: sembilan partai yang lolos ke parlemen sudah cukup membuat orang memaki karena wakilnya di DPR lebih mementingkan dana aspirasi ketimbang menyelesaikan undang-undang. Janganlah ditambah lagi, bikin mumet. Alasan kedua: agama itu sudah melekat dengan kedamaian. Saya kira tak ada sebuah agama yang mengajak umatnya untuk bermusuhan. Semua agama cinta damai, di kantor-kantor tentara saja banyak spanduk yang bertulisan: Damai Itu Indah.
Nasib Rhoma Irama juga bagus. Begitu partai Islam yang damai dideklarasikan, muncul kasus Tolikara. Bentrokan antara umat Islam dan Kristen. Sebuah masjid terbakar. Pada saat hiruk-pikuk ini, ada panggung bagi Rhoma untuk menegaskan bahwa Islam menjunjung perdamaian. Warga Jakarta memang resah, para petinggi negeri, politikus dan pengamat, sibuk merumuskan perdamaian di Tolikara. Padahal di Tolikara sendiri, pendeta GIDI (Gereja Injili di Indonesia) dan imam masjid sudah berdamai secara adat, khas Papua. Begitulah, kata damai tetap menjadi "dagangan" yang asyik.

--

7.19.2015

Jilid 2 BG vs KPK?

Jilid 2 BG vs KPK?

http://www.kompasiana.com/sutomo-paguci/jilid-2-bg-vs-kpk_55a79585b49273a911ada4fe

16 Juli 2015 18:29:09 Dibaca : 1,521

Posisi sebelumnya di atas angin jadi berbalik dan kedudukan Wakapolri Jenderal Budi Gunawan (BG) terancam. Tentunya ini tidak main-main. Sangat serius. Kira-kira demikianlah efek politis-hukum dari rekomendasi Komisi Yudisial (KY) yang memutuskan pemberian sanksi skors selama enam bulan terhadap Hakim Sarpin.

Makanya Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Budi Waseso (Buwas) segera bertindak cepat. Dua Komisioner KY tak lama kemudian langsung ditersangkakan. Sebab, kalau tidak, efek lanjutannya bisa gawat. Indikasinya di situ.

Diputuskannya Hakim Sarpin telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY adalah bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada kesalahan di balik putusan pencabutan status tersangka terhadap BG. Kita tentu dapat membayangkan apa potensi dampak hukum-politis bagi status BG sebagai pribadi sekaligus Wakapolri. Bisa-bisa menyusul mantan Walikota Makassar.

Dari konstruksi ini terlihat bahwa yang bertarung sebenarnya sangat mungkin bukan antara Komisioner KY Suparman Marzuki Cs melawan Hakim Sarpin, melainkan pertarungan antara BG melawan arus besar gerakan pemberantasan korupsi termasuk KPK di dalamnya. Buwas hanya pion saja, tapi perannya sangat vital. Masuk akal bila ada yang menilai lembaga Polri telah dibajak untuk kepentingan pribadi.

Andai saja pion tsb dicopot, BG sangat mungkin kesulitan mencari pengganti yang 100% loyal padanya. Bisa saja Kapolri "bermain" cantik turun tangan dalam proses penggantian tsb. Kapolri akan mengisi Kabareskrim baru yang loyal padanya dan institusi Polri sebagai bagian penting penguatan institusi. BG tersisih pelan-pelan. Setidaknya BG kehilangan pion utama untuk memukul.

Itulah mengapa reaksi Buwas terhadap pernyataan Buya Syafii sekarang dan dulu berbeda. Pernyataan keras Buya Syafii agar Buwas dicopot bukan kali ini saja, tetapi reaksi Buwas yang over baru kali ini. Persis setelah Hakim Sarpin direkomendasi KY untuk diberi sanksi skorsing. Dulu, saat Buya Syafii mengusulkan Buwas dicopot, Buwas kalem saja.

Mungkin saja analisa saya di atas keliru. Tetapi untuk saat ini agak sulit mencari kemungkinan lain motif dari akselerasi mendadak penetapan tersangka terhadap Komisioner KY Suparman Marzuki Cs. Berbanding terbalik, misalnya, dengan lambannya proses penanganan kasus lebih kurang serupa terhadap Farhat Abbas atau "orang biasa" lainnya.

Karena itu, sulit dipercayai ucapan Buwas, bahwa penetapan tersangka terhadap Suparman Marzuki Cs sebagai murni penegakan hukum. Agak naif untuk percaya penetapan "orang besar", pimpinan lembaga tinggi negara, sekelas Komisioner KY, sebagai tersangka kasus ecek-ecek, sebagai murni penegakan hukum.

Kasusnya sederhana. Hanya pencemaran nama baik. Namun di balik kasus itu yang sangat serius. Pertarungan hidup mati seorang jenderal dan mungkin para politisi partai di belakangnya. (*)

SUTOMO PAGUCI